Mengenal Wapres Kita
Sudah cukup lama saya kenal dekat dengan Kiai Prof Dr Ma’ruf Amin dan mulai semakin dekat ketika beliau mengendalikan kegiatan dakwah Nahdlatul Ulama (NU) pada era Kiai Hasyim Muzadi. Saat itu Indonesia sedang menghadapi konflik Ambon dan Poso serta awal infiltrasi Al-Qaeda ke Indonesia dan awal kebangkitan JI atau Al-Jamaah Al-Islamiah akhir dekade 1990-an. Saya sejak itu sering diikutsertakan dalam kegiatan deradikalisasi di lingkungan NU dengan tujuan utama agar NU tidak disusupi kelompok radikal tersebut.
Hampir dalam setiap kegiatan Lembaga Dakwah PBNU, Kiai Ma’ruf Amin mengajak saya (sebagai orang NU yang menjabat Waka BIN) dan tugas saya adalah menjelaskan hal ihwal tentang ekstremisme dan terorisme, sebagai dampak dari ekspansi Al-Qaeda yang ketika sedang berada di puncak kejayaannya. Sesuai kesepakatan Konferensi Intellijens Negara-Negara Islam, terorisme sebaiknya bukan hanya dihadapi dengan pendekatan “hard ware", tetapi juga “soft ware” dengan cara menyertakan ormas agama. Atas dasar itu, maka Kepala BIN Prof. Dr A.M. Hendropriyono mengajukan “Rencana kebijakan strategis” seperti di atas kepada Presiden Megawati.
Walhasil berlangsung kerja sama BAKIN - DEPLU - NU setelah pembahasan antara Menlu Hassan Wirajuda, Ka BAKIN AM Hendropriyono dan Ketum PBNU Kiai Hasyim Muzadi. Lahirlah ICIS (Islamic Conference of Islamic Scholers), yang pertama berlangsung di Jakarta dihadiri oleh ulama dari beberapa negara dan Indonesia. Kemudian setiap dua tahun sekali, ICIS digelar di kota lain di Indonesia.
Saya semakin mengenali kapasitas Kiai Ma’ruf selama mengisi dakwah, baik di Jakarta dan di kota-kota lain. Beliau bukan sekadar ulama yang mumpuni, tetapi juga seorang intelektual, ahli ekonomi syariah yang hebat dan bahkan seorang politisi yang cerdik dan halus. Watak dan pembawaan beliau berwibawa, tenang sehingga meneduhkan umat.
Mencari Figur Rais Aam PBNU
Ada sekelumit pengalaman, ketika saya menjalankan perintah Rais ‘Aam PBNU Kiai Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (almaghfurlah) untuk bersilaturahmi ke sejumlah kiai senior. Tujuannya adalah untuk mengetahui kesiapan, siapa di antara kiai yang paling siap mengganti beliau karena kesehatannya yang menurun. Beliau menyebut beberapa nama kiai dan salah satunya adalah Kiai Ma’ruf Amin. Sejak belum dewasa saya sering bertemu Kiai M.A. Sahal Mahfudh umumnya di rumah Pak De saya Kiai Baedlowi Siraj (almaghfurlah) yang masih famili dengan Kiai Sahal Mahfudh (almaghfurlah).
Salah satu kiai yang saya temui adalah Kiai Abdurahman Wahid (almaghfurlah). Presiden RI keempat itu menjawab secara tidak langsung dengan mengajukan pertanyaan. Apakah ada kiai yang mempunyai jabatan sosial, agama, politik, ekonomi dan lainnya yang lebih banyak dari Kiai Ma’ruf Amin? Kemudian beliau menjawab,”tidak ada". Hal itu cukup bagi saya untuk menggambarkan bahwa sikap dan pikiran Kiai Ma’ruf Amin diperlukan oleh bangsa.
Kemudian pada “aksi sejuta umat di Monas yang terkenal aksi 411” timbul kekhawatiran akan berubah menjadi anarkhis. Saya tahu dari yel-yel dan lagu atau syair yang biasa dikumandangkan oleh mereka yang dekat kelompok pendukung terorisme. Kehadiran Ketua MUI Kiai H. Ma’ruf Amin menghadirkan suasana menjadi teduh dan yang terjadi adalah Aksi Sejuta Umat yang damai. Saya tahu benar ketua FPI Habib Rizieq Syihab sangat menghormati Kiai Ma’ruf Amin.
Figur yang teduh, penuh kalkulasi dan cerdik seperti beliau ini, memang sering diabaikan dan kurang mendapat perhatian. Namun pada situasi dan kondisi yang tidak menentu, figur atau tokoh seperti beliau ini, biasanya justru dituntut perannya, yang dalam sejarahnya selalu berhasil.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Advertisement