Mengenal Tiga Istilah Kurban dan Hukumnya Menurut Islam
Perayaan Hari Idul Adha selalu dikaitkan dengan penyembelihan hewan kurban. Makanya, hari raya yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah ini dikenal sebagai Hari Idul Kurban.
Salah satu ibadah yang dianjurkan pada Dzulhijjah adalah kurban. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan kurban penting diketahui umat Islam. Berikut ini sejumlah istilah yang penting dipedomani Muslim untuk ibadah kurban:
Di antara persoalan tersebut adalah istilah. Dijelaskan Ustadz Yendri Junaidi, Lc MA, sebagaimana dilansir mui-digital:
Tiga Istilah
Sebenarnya istilah kurban kurang tepat untuk menyebut ibadah penyembelihan di hari Idul Adha. Istilah yang benar sesungguhnya adalah udhhiyyah (اْلأُضْحِيَّة), idhhiyyah (الْإِضْحِيَّة), atau dhahiyyah (الضَّحِيَّة). Secara bahasa, ketiga kata ini memiliki arti yang sama yaitu kambing yang disembelih di waktu dhuha atau di pagi hari Idul Adha.
Adapun secara istilah, udhhiyyah berarti:
مَا يُذَكَّى تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ تَعَالَى فِي أَيَّامِ النَّحْرِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوْصَةٍ
“Binatang yang disembelih di hari-hari an-Nahr (kurban ) untuk bertaqarrub kepada Allah SWT dengan syarat-syarat tertentu.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwait Jilid 5 hal 74).
Sementara istilah kurban (dalam bahasa Arab: القُرْبَان ) sesungguhnya memiliki arti yang jauh lebih umum daripada istilah udhhiyyah (yang sudah terlanjur diartikan ‘qurban’ dalam bahasa Indonesia). Secara bahasa, kurban berarti segala sesuatu yang dilakukan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT, baik berupa sembelihan atau ibadah-ibadah lainnya (ia semakna dengan taqarrub التَّقَرُّب ).
Jika kurban (pendekatan diri pada Allah SWT) yang dilakukan itu berupa sembelihan, maka dalam hal ini dia sama persis dengan udhiyyah. Tapi jika kurban yang dilakukan tidak berbentuk penyembelihan berarti dia berbeda dengan udhiyyah. Jadi makna kurban sesungguhnya lebih umum dan lebih luas daripada udhiyyah. Namun karena sudah menjadi istilah yang umum dipakai maka kita ikuti saja.
Kedua, hukum berkurban
Ibadah kurban hukumnya sunnah muakkadah. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ "Maka salatlah untuk Tuhanmu dan berkurbanlah." Juga hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Barra bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، مَنْ فَعَلَهُ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا، وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلُ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ، لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan di hari ini (Idul Adha) adalah sholat. Kemudian kita pulang lalu kita menyembelih qurban. Siapa yang melakukan seperti ini berarti dia telah mengamalkan sunnah kita. Tapi siapa yang telah menyembelih sebelum shalat berarti itu hanya daging biasa yang diberikannya pada keluarganya, tidak termasuk kategori ibadah qurban sedikitpun.” (HR Bukhari nomor 5545).
Sekilas ayat dan hadits di atas bisa saja dipahami sebagai dalil untuk kewajiban melakukan qurban. Tapi oleh mayoritas para ulama, nash ayat dan hadits tersebut tidak dipahami secara zhahir (tekstual). Karena ada hadits lain yang menjelaskan bahwa ibadah kurban hanya untuk siapa yang mau saja.
Seperti hadits:
مَنْ كَانَ عِنْدَهُ ذَبْحٌ يُرِيْدُ أَنْ يَذْبَحَهُ فَرَأَى هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ حَتَّى يُضَحِّي
“Siapa yang punya hewan sembelihan yang ingin dia sembelih, lalud ia melihat hilal Dzulhijjah maka janganlah dia memotong rambut dan kukunya sedikitpun sampai dia berkurban.”
Para ulama Syafi’iyyah mengatakan, ibadah kurban termasuk dalam kategori sunnah kifayah untuk satu keluarga. Artinya, jika sudah dilakukan oleh satu orang dalam satu keluarga maka tuntutan untuk berqurban terhadap anggota keluarga lainnya menjadi gugur.
Imam ar-Rafi’i mengatakan:
الشَّاةُ الْوَاحِدَةُ لاَ يُضَحَّى بِهَا إِلاَّ عَنْ وَاحِدٍ لَكِنْ إِذَا ضَحَّى بِهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتٍ تَأْتِى الشِّعَارُ وَالسُّنَّةُ لِجَمِيْعِهِمْ
“Seekor kambing hanya boleh untuk qurban satu orang. Tapi jika salah seorang anggota keluarga sudah berqurban maka syiar dan sunnah ibadah qurban telah mencakup seluruh anggota keluarga lainnya.”
Ibadah lain yang juga masuk dalam kategori sunnah kifayah adalah memulai mengucapkan salam, menjawab orang yang bersin dan sebagainya. Dalil yang menunjukkan bahwa ibadah kurban ini termasuk sunnah kifayah adalah hadits:
ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ قَالَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ
“Nabi SAW berqurban dengan dua ekor kibasy dan beliau berdoa. “Ya Allah, terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad.” Juga hadits dari Abu Ayyub al-Anshari, dia berkata:
كُنَّا نُضَحِّي بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ يَذْبَحُهَا الرَّجُلُ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ بَعْدُ فَصَارَتْ مُبَاهَاةً
“Kami biasanya berqurban satu ekor kambing saja. Kambing disembelih oleh kepala rumah tangga, untuk dirinya dan juga untuk keluarganya. Tapi kemudian manusia berbangga-bangga sehingga ibadah ini menjadi seperti perlombaan.” (HR Malik dalam kitab Muwaththa`, dan dihukum shahih oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu.’)
*) Ust Yendri Junaidi, Lc MA, Ketua Komisi Fatwa dan Hukum MUI Tanah Datar, Sumatra Barat. Bagian materi dari yang disampaikan dalam Mudzakarah Majlis Ulama Indonesia (MUI) Limapuluh Kota Sumatra Barat pada 2021.
Advertisement