Waspada Sindrom Anak Tengah
Bagi orang tua yang memiliki anak lebih dari dua orang harus memahami masalah psikologis yang bisa menyerang salah satu dari anak mereka. Yakni middle child syndrome atau sindrome anak tengah.
Menurut Psikolog Rudi Cahyono, anak tengah yang mengalami sindroma biasanya sensitif terhadap perlakuan orang tua terhadap dia dan atau saudaranya. Kemudian, anak tengah cenderung memberikan reaksi tipikal seperti memberontak, menarik diri, marah, protes dan lain sebagainya. Anak juga akan berusaha menarik perhatian orang tua.
Dalam hal ini, pria yang biasa disapa Rudi mengatakan, perhatian orang tua adalah kunci untuk mencegah terjadi middle child syndrome pada anak tengah. Untuk mencegah hal tersebut, orang tua harus segera menyadari bahwa kehadiran anak ketiga mulai menarik perhatian kakak-kakaknya, sedangkan perhatian ibu mulai tercuri.
“Orang tua harus mengembalikan perhatian tersebut hingga sama rata,” terang dosen di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga ini.
Lanjut Rudi, anak tengah harus merasa orang tua memperhatikan semua haknya. Anak tengah harus dapat merasa disayang sebagaimana orang tua menyayangi saudara yang lain. Dia juga bisa kena marah sebagaimana saudara yang lain juga dimarahi.
Kemudian, orang tua dapat melakukan kegiatan bersama untuk menetralisir perasaan terabaikan dari anak tengah. Ayah, ibu, kakak, dan adik semua beraktivitas bersama.
Orang tua juga dapat memberikan penugasan untuk beraktivitas bersama dan berbagi tanggung jawab yang bisa berdampak timbal balik. Seperti, kakak bertugas membantu adik belajar. Kakak bisa membantu anak kedua atau anak tengah. Anak tengah diberikan tugas membantu adik kecilnya.
“Tetapi jangan lupa diapresiasi atau dimunculkan kesan bahwa pemberian tugas tersebut adalah karena kemampuan anak atau kepercayaan dari orang tua,” lanjutnya.
Apabila reaksi anak tengah sudah mengarah pada konflik keluarga seperti konflik anak tengah dengan orang tua atau konflik anak tengah dengan saudaranya, maka orang tua harus mengawali melakukan tindakan yang elegan. Orang tua bisa mengajak anak berbicara dengan suasana yang egaliter atau sederajat, dengan mengurangi tendensi untuk membahas persoalan tersebut.
Orang tua membangun suasana yang alamiah untuk mengobrol. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan ruang bagi anak untuk mengungkapkan apa yang dipikirannya atau dirasakannya.
“Dari situ orangtua bisa melakukan follow up dengan langkah pertama yang sangat ampuh adalah meminta maaf,” terang Rudi.
Orang tua menceritakan bahwa hal tersebut bukan suatu kesengajaan. Kemudian, orang tua berjanji untuk melibatkan semua anak seperti mengajak mengobrol, berbagi, termasuk untuk meminta pertimbangan.
Advertisement