Mengenal Sariamin Ismail, Novelis Perempuan Pertama dari Minang
Sosok perempuan mengenakan pakaian adat berwarna merah muda, Sariamin Ismail, sempat ditampilkan Google Doodle pada 31 Juli 2021. Momen itu bertepatan dengan hari ulang tahun Sariamin Ismail yang ke-112. Perempuan berpakaian adat Minang ini terlihat sedang menulis di bagian huruf O di kalimat Google.
Ilustrasi Sariamin Ismail merupakan hasil goresan ilustrator Indonesia Ayang Cempaka. Sariamin Ismail merupakan novelis perempuan pertama di Indonesia yang berasal dari Minang. Ia biasa dikenal dengan nama Selasih atau Seleguri.
Selama ini, Googel Doodle selalu menampilkan para tokoh penting yang menghiasi laman mesin pencarian. Ini adalah cara untuk menghormati, mengenang, sekaligus memperingati hari kelahiran tokoh penting. Mari simak ulasan tentang Sariamin Ismail berikut ini.
Nama Asli
Semasa kecilnya, Sariamin Ismail diberi nama oleh orang tuanya dengan nama Basariah, namun pemberian nama tersebut membuatnya sering sakit. Oleh karena itu, nama Basariah tersebut diganti dengan nama Sari Amin, kedua kata yang terpisah.
Namun, jiwa seninya mendorong untuk menggabungkan kedua kata tersebut menjadi satu kalimat, yaitu Sariamin. Tambahan Ismail merupakan nama dari suaminya. Sariamin menikah pada tahun 1941 dengan Ismail yang pada waktu itu merupakan seorang pokrol atau pembela perkara di landraad. Sariamin dan Ismail bertemu di Landraad sebab ia harus berurusan dengan Polisi Rahasia Belanda (PID) yaitu sebanyak tiga kali.
Perjalanan Karir
Sariamin Ismail telah menunjukkan bakat menulis sejak dini. Pada usia sepuluh tahun, ia telah menulis syair dan puisi. Sariamain Ismail menempuh pendidikan di sekolah guru perempuan Meisjes Normaal School (MNS) di Padang Panjang.
Dari kehidupan asrama yang dijalaninya sewaktu di MNS, ia menulis catatan dalam bentuk sajak di buku kecil yang dinamakan "sahabatku". Di sekolah, Sariamain Ismail sering mendapat hadiah dari perlombaan menulis karangan prosa dan puisi yang diikutinya. Bahkan ia tidak lagi diberi hadiah dari perlombaan meskipun mendapatkan juara lantaran sering memenangkan perlombaan tersebut.
Setelah lulus dari MNS, Sariamin Ismail mendapat tugas mengajar di Meisjes Vervolg School (MVS) Bengkulu dan bahkan diangkat sebagai kepala sekolah pada 17 Juni 1925. Sejak saat itulah, ia berpindah-pindah domisili mengikuti tugas mengajar.
Selain mengajar, Sariamin Ismail juga menjadi aktivis pergerakan dengan mengikuti kegiatan organisasi. Ia ditunjuk sebagau ketua perkumpulan pemuda Islam Jong Islamieten Bond bagian wanita untuk wilayah Bukittinggi pada 1928-1930.
Setelah pindah ke Padangpanjang, Sariamin Ismail mengetuai cabang SKIS dan menulis untuk majalah Soeara Kaoem Iboe Soematra, majalah yang dikelola oleh perempuan. Selain itu, ia membagi waktunya untuk mengajar di sekolah swasta Diniyah School dan menjadi pengasuh tetap "Mimbar Putri" di Harian Persamaan.
Menjelang akhir tahun 1930-an, Sariamin Ismail menjadi wartawan dan penulis yang cukup vokal di majalah perempuan Soeara Kaoem Iboe Soematra. Ia melaknat poligami dan menekankan pentingnya hubungan keluarga inti di Minangkabau lewat Soeara Kaoem Iboe Soematra.
Dalam Harian Persamaan, Sariamin Ismail mengkritik ketidakadilan peraturan gaji bagi pegawai wanita, terutama guru wanita. Ia terus menulis untuk menambah penghasilan sehari-hari dan membiayai kegiatan organisasinya dengan menggunakan beberapa nama samaran untuk mencegah kemungkinan ia ditangkap akibat tulisan-tulisannya.
Dari sejumlah nama samaran yang Sariamin pernah digunakan, ia lebih dikenal dengan nama Selasih yang ia gunakan dalam novel pertamanya. Sejumlah nama samaran lain yang pernah ia gunakan yaitu Seleguri, Sri Gunung, Sri Tanjung, Ibu Sejati, Bundo Kanduang, dan Mande Rubiah.
Pada pertengahan tahun 1930-an, Sariamin telah menulis untuk majalah sastra Poedjangga Baroe.
Terbit Novel Pertama
Sariamin Ismail menerbitkan novel pertamanya, Kalau Tak Untung pada tahun 1933, yang menjadikannya sebagai novelis perempuan pertama dalam sejarah Indonesia.
Inspirasi penulisan novelnya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka milik pemerintah, merupakan beberapa kejadian nyata dalam hidupnya yaitu tunangannya yang menikahi wanita lain, dan kisah dua sahabat kecilnya yang saling jatuh cinta namun tak bisa bersatu.
Sariamin Ismail kembali menerbitkan novel pada tahun 1937 berjudul Karena Keadaan. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, ia menghabiskan dua tahun sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wilayah Riau.
Sariamin tetap menulis dan mengajar di Riau hingga tahun 1968. Sebelum tahun 1986, ia telah mengeluarkan tiga antologi puisi dan sebuah cerita anak-anak. Ia menulis novel terakhirnya yang berjudul “Kembali ke Pangkuan Ayah” pada tahun 1986. Sebelum beliau meninggal dunia pada tahun 1995, Sariamin menerbitkan dua antologi puisi lagi dan sebuah film dokumenter tentang kisah kehidupannya.
Pindah Ikut Suami tapi Konsisten Menulis dan Mengajar
Sariamin Ismail akhirnya memutuskan untuk berhenti mengajar di Padang Panjang. Ia dituding aktif dalam politik oleh PID selama dua tahun. Ia pun mengabdikan diri menjadi guru bantu di MVS Payakumbuh.
Sariamin Ismail hijrah ke Teluk Kuantan, Riau pada 1942. Ia mengikuti sang suami yang bertugas. Awalnya, ia berencana menjadi ibu rumah tangga. Tapi siapa sangka tenaganya sebagai tenaga pendidik sangat dibutuhkan karena kondisi daerahnya tertinggal.
Sariamin Ismail pun diangkat menjadi kepala sekolah MVS pertama, karena saat itu baru berdiri di Teluk Kuantan. Kemudian sekolah tersebut membuka asrama yang diperuntukkan bagi murid di luar daerah. Asrama itu dibangun tepat di samping rumah Sariamin Ismail. Alhasil, Sariamin Ismail pun menjadi pengasuh asrama tersebut.
Setelah Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan pada 1945, Sariamin Ismail memutuskan menghabiskan dua tahun sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Wilayah Riau. Namun ia tetap menulis dan juga mengajar di Riau hingga 1968. Hebatnya, ia masih sempat menulis tiga antologi puisi.
Sebelum wafat di tahun 1995, Sariamin Ismail sudah menerbitkan dua antologi puisi lagi, dan juga sebuah film dokumenter yang berkisah mengenai kehidupannya.
Karya-Karya Abadi Sariamin Ismail
Perjalanannya menjadi penulis yang dimulai sejak kecil hingga wafat, benar-benar tetap dipegang teguh oleh dirinya dengan konsisten menulis juga aktif berorganisasi dan mengabdikan diri menjadi seorang guru. Karya-karya Sariamin Ismail tak akan pernah hilang dan akan selalu terkenang.
1. Kalau Tak Untung (1933)
2. pengaruh Keadaan (1937)
3. Puisi Baru (1946, Antologi Puisi)
4. Rangkaian Sastra (1952)
5. Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979, Antologi Puisi)
6. Panca Juara (1981)
7. Nahkoda Lancang (1982)
8. Cerita Kak Murai, Kembali Ke Pangkuan Ayah (1986)
9. Ungu : Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (1990)
Menurut Pandangan Kritikus Mengenai Karya Sariamin Ismail
Menurut pandangan salah satu kritikus sastra, Zuber Usman yang mengatakan bahwa karya Sariamin Ismail tidak seperti karya kontemporer lainnya. Karya-karya awal Sariamin Ismail yang berjudul Kalau Tak Untung dan Pengaruh Keadaan, tidak menyinggung konflik antargenerasi atau perbenturan nilai-nilai adat dan modern.
Menurut Zuber Usman, novel-novel karya Sariamin Ismail fokus mengenai kisah kasih tak sampai yang diakibatkan oleh keadaan sekitar, seperti adat dan agama, bertemu pada masa kecil, jatuh cinta, tetapi tidak pernah berhasil bersatu. Berbeda dengan novel-novel awal lainnya dari para sastrawan lain seperti novel populer karya Marah rusli berjudul Siti Nurbaya, karya Sariamin tidak mneyoroti anak dari keluarga kaya.
Sedangkan dalam novelnya Kalau Tak Untung lebih berkisah mengenai seorang anak dari keluarga miskin yang berasal dari pedesaan, lalu untuk novel berjudul Karena Kedaan menggambarkan seorang anak tiri yang jatuh cinta dengan gurunya.
Kritikus Bakri Siregar memiliki pandangan berbeda dengan Zuber Usman. Menurutnya, karya Sariamin Ismail sebagai penolakan tradisi. Novel-novelnya juga lebih menggambarkan sebuah perkawinan bahagia yang didasari oleh perasaan cinta, ketimbang diatur oleh orangtua dan tradisi.
Advertisement