Mengenal Lebih Jauh Gunung Anak Krakatau
Setiap gunung berapi memiliki tipe dan karakteristik letusan. Ada yang jika aktif tak lama kemudian meletus hebat, seperti Gunung Kelud. Ada yang kadang aktif lalu meletus kemudian tenang lagi seperti Merapi.
Ada yang meletus cukup hebat dalam jangka waktu cukup lama dan terus-menerus seperti Sinabung. Ada pula yang terus-menerus aktif dalam skala kecil kemudian pada saat tertentu meletus hebat seperti Anak Krakatau.
Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda kini dalam pencermatan serius Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) sejak letusan kuat pada Sabtu 22 Desember lalu, dan menimbulkan tsunami ke pesisir di lima kabupaten dan kota di Provinsi Banten dan Lampung.
Uniknya tsunami itu bukan dampak langsung letusan (vulkanik) maupun pergeseran lempeng bumi (tektonik), tetapi akibat longsor dan runtuhnya sebagian tubuh Gunung Anak Krakatau ke laut, seperti dideteksi oleh para ahli geologi.
Kalau dicermati dari sejarahnya, tipe dan karakteristik Gunung Anak Krakatau ini memang berbeda dengan umumnya gunung-gunung berapi lainnya. Letusan gunung di tengah laut itu setipe dengan induknya, Gunung Krakatau.
Gunung Krakatau yang waktu itu setinggi 813 meter di atas permukaan laut (mdpl) sirna karena letusannya sendiri pada 26-27 Agustus 1883.
Letusan dahsyat waktu itu menyebabkan awan panas dan tsunami yang menewaskan sekitar 36 ribu orang. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki (Jepang) di akhir Perang Dunia II.
Akibat letusan dahsyat pada 1883 itu, Gunung Krakatau dinyatakan hilang. Namun pada 1927 muncul gundukan dari dasar laut yang lokasinya masih di lokasi berdirinya Gunung Krakatau.
Kemunculan gundukan yang semakin hari makin besar dan tinggi di lokasi bekas Gunung Krakatau inilah yang kemudian diidentifikasi sebagai gunung dan kemudian disebut Gunung Anak Krakatau. Anak Krakatau memiliki karakteristik yang selalu aktif dengan mengeluarkan letusan-letusan kecil disertai debu, pasir, dan kerikil.
Ada catatan yang menyebutkan aktivitasnya itu menyebabkan semakin banyak material yang tertumpuk ke sekitar kaldera bekas Gunung Krakatau. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 0,5 meter per bulan. Dengan demikian setiap tahun dia menjadi lebih tinggi sekitar enam meter dan lebih lebar 12 meter.
Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar empat centimeter (cm) per tahun dan jika dihitung maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Krakatau mencapai 190 meter lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya.
Pertambahan materialnya terus terjadi seiring dengan letusan-letusan kecil secara terus-menerus. Kadang berhenti sejenak, lalu meletus lagi secara terus-menerus.
Kalau sedang aktif dengan letusan kecil dan terus-menerus, sebagian orang menyebut Anak Krakatau sedang "batuk". Saking seringnya "batuk", maka fenomena itu pernah dianggap sebagai "hal biasa".
Susut Tetapi letusan pada 22 Desember itu benar-benar luar biasa karena menyebabkan longsor dan tubuhnya runtuh ke dasar laut yang menyebabkan gelombang besar. Dari sini, terlihat tipe dan karakteristik Anak Krakatau relatif sama dengan induknya, Gunung Krakatau.
Kalau letusan Krakatau pada 1883 menyebabkan gunung itu lenyap, letusan Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 menyebabkan susutnya ketinggian dan volume tubuhnya. Susutnya ketinggian dan volume tubuh Anak Krakatau diperoleh dari analisis visual oleh PVMBG, Badan Geologi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
PVMBG pada 30 Desember 2018 menyebutkan, volume Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda mengalami penyusutan antara 150 sampai 180 juta meter kubik (m3) akibat letusan dan kegempaan vulkanik selama beberapa pekan lalu.
Penyusutan volume itu sampai 60 persen atau dua per tiga dari volume awal, kata Kepala Sub Bidang Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM Agus Solihin.
Berdasarkan analisis visual, Gunung Anak Krakatau yang semula tingginya 338 mdpl, kini terkikis menjadi 110 meter. Selain itu, Anak Krakatau juga menjadi lebih rendah dibandingkan Pulau Sertung yang 182 mdpl.
Pulau Sertung adalah salah satu dari gugusan pulau di Selat Sunda. Pulau ini letaknya berdekatan dengan sejumlah pulau lainnya dalam gugusan pulau di Selat Sunda yang memisahkan Pulau Jawa dengan Sumatera, yakni Pulau Panjang, Pulau Rakata, Pulau Sebesi dan Pulau Sebuku.
Penyusutan volume Anak Krakatau yang mencapai 180 juta meter kubik dipastikan menyisakan antara 40 sampai 70 juta meter kubik. Sebagiannya longsor hingga ke laut dan menimbulkan tsunami.
Saat ini, status Anak Krakatau adalah Siaga atau Level III yang artinya masih terus-menerus meletus. Laporan yang setiap hari diumumkan PVMBG menunjukkan letusan Anak Krakatau masih terjadi.
Karena itu, masyarakat tidak boleh mendekati gunung tersebut dalam radius lima kilometer. Sedangkan BMKG meminta masyarakat menjauhi pantai Selat Sunda dalam radius 500 meter.
Secara rutin PVBMG menyampaikan informasi teraktual dari Anak Krakatau. BMKG juga menyampaikan perkembangan cuaca dan gelombang di Selat Sunda.
Daya Tarik Jauh sebelum adanya letusan pada 22 Desember 2018, Anak Krakatau seolah tak berhenti mengeluarkan lava pijar dan material panas (berapi) dari dalam perut bumi. Semburan lava pijar berapi menyembul ke atas seperti kilat dan kembang api.
Jika malam kilatan dan semburan api terlihat jelas dari pesisir Banten, khususnya wilayah Carita, Anyer dan Tanjung Lesung. Pemandangan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan nasional maupun mancanegara.
Sekilas mengerikan, namun bagi sejumlah wisatawan, momen-momen itu adalah saat terbaik untuk dinikmati di malam hari. Letusannya menjadi magnet untuk mengunjungi lokasi wisata sepanjang pesisir Banten yang menghadap Selat Sunda.
Peningkatan arus kunjungan wisata tentu saja menjadi alasan bagi pemerintah dan pelaku bisnis untuk mengembangkan lebih serius kawasan sepanjang pesisir Banten yag menghadap Selat Sunda. Berbagai sarana dan infrastruktur wisata tumbuh di kawasan itu.
Pemerintah pun menetapkan Tanjung Lesung di Kabupaten Pandeglang sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Selain pelabuhan, juga sedang direncanakan adanya bandar udara serta adanya peningkatan infrastruktur penyeberangan di lintas Merak (Banten)-Bakauheni (Lampung Selatan).
Dilihat dari sisi geografis, letak Krakatau dan Anak Krakatau memang dekat dengan wilayah Banten. Karena itu, kawasan yang pantainya berkembang pesat adalah wilayah Banten.
Kendati sebenarnya Anak Krakatau berada di garis perbatasan wilayah Banten dengan Lampung, namun dari sisi administrasi pemerintahan dan kependudukan, warga di pulau sekitar Anak Krakatau masuk wilayah Provinsi Lampung, misalnya warga Pulau Sebesi yang tercatat sebagai warga Kabupaten Lampung Selatan.
Pacu Lampung Mungkin karena menyadari bahwa selama ini pesona Anak Krakatau lebih memacu perkembangan wisata di pesisir Provinsi Banten, padahal secara kewilayahan masuk Lampung, maka Provinsi Lampung pun berusaha menarik pengunjung dengan menjadikan gunung itu sebagai salah satu destinasi wisata.
Hal itu dilakukan dengan menyiapkan infrastruktur untuk memudahkan kunjungan wisatawan dari Lampung ke Anak Krakatau. Awal dekade 1990-an program itu mulai dijalankan melalui survei wilayah pesisir Kota Kalianda sebagai tapak untuk mengunjungi Anak Krakatau.
Perencanaan pengembangannya dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Lampung. Sekitar tahun 1992-1993 secara intensif dirancang pengembangan pariwisata dengan destinasi Anak Krakatau.
Dimulai dengan peningkatan dan pembenahan dermaga rakyat di Canti Kalianda serta penyiapan paket-paket kunjungan. Maka mulai ada paket-paket kunjungan wisata ke Anak Krakatau.
Pada skala yang lebih terpadu diselenggarakan Festival Krakatau. Festival itu pun kemudian menjadi agenda pariwisata nasional hingga kini.
Bahkan tahun ini, Pemerintah Provinsi Lampung tetap akan menggelar Festival Krakatau 2019, kendati kawasan pesisir Lampung Selatan telah dilanda tsunami akibat letusan Anak Krakatau.
Hal ini karena Festival Krakatau merupakan agenda rutin Pemerintah Provinsi Lampung, bahkan sudah masuk kalender pariwisata nasional.
Penyelenggaraan festival ini tampaknya juga sebagai upaya memulihkan objek wisata di Provinsi Lampung yang sempat hancur akibat tsunami agar kembali bangkit dan berkembang seperti sedia kala.
Salah satu agenda festival ini pada tahun-tahun sebelumnya adalah mengunjungi aktivitas Anak Krakatau dari jarak cukup dekat tetapi pada radius yang aman.
Letusan skala kecil yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya merupakan pesona dan sensasi tersendiri untuk dilihat. Tapi untuk festival tahun ini, tentu saja tidak dengan mengunjungi Anak Krakatau karena sampai sekarang masih dalam kategori bahaya.
Festival ini tidak saja berisi agenda kunjungan ke Anak Krakatau, tetapi memiliki banyak agenda yang diselenggarakan untuk memacu berkembangnya beragam destinasi wisata di Lampung.
Kalau Anak Krakatau yang saat ini dalam status Siaga (Level III) kemudian menurun aktivitasnya pada status Waspada (Level II) atau bahkan Normal (Level I) bukan tidak mungkin agenda festival ini juga mengagendakan kunjungan ke Anak Krakatau. Hanya saja tetap harus dikoordinasikan dengan PVMBG maupun BMKG.
Sambil menunggu perkembangan letusan, waktu akan menjadi petunjuk apakah akan ada perkembangan yang baik atau tidak dari Anak Krakatau. (Sri Muryono/Ant)
Advertisement