Mengenal Filosofi 1 Suro dalam Budaya Jawa dan Tetap Dilestarikan
Masyarakat Jawa menyebut Tahun Baru Islam sebagai malam 1 Suro. Tahun baru Islam atau 1 Muharram jatuh pada hari ini, Selasa 10 Agustus 2021. Pada malam 1 Suro, umumnya masyarakat Jawa melakukan laku tirakat atau tidak tidur semalam suntuk, dan tuguran atau perenungan diri sambil berdoa. Bahkan beberapa orang memilih melakukan tirakat di tempat sakral seperti laut, gunung, pohon besar, ataupun makam keramat.
Makna bulan Suro, bagi masyarakat Jawa dari petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id sebagai pengingat. Pada Bulan Suro, mereka memiliki keyakinan untuk tetap eling dan waspada. Eling disini berarti ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti sebagai manusia harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
Di berbagai daerah di Pulau Jawa memiliki tradisi dan karakteristik tersendiri dalam merayakan satu Suro. Seperti yang terjadi di Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Yang pasti dalam setiap perayaan malam 1 Suro di setiap daerah selalu terdapat sesi doa bersama. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal marabahaya.
Upacara perayaan satu Suro dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, introspeksi dengan yang dilakukan setahun sebelumnya dan mempersiapkan diri untuk menghadapi tahun yang akan datang.
Sejarah 1 Suro
Sejarah 1 Suro ada sejak Kerajaan Mataram Islam dan diciptakan oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645). Sultan ingin mengubah Kalender Saka (kalender Jawa dan Hindu) sesuai dengan penanggalan agama Islam. Konon Sultan memiliki niat untuk menyatukan dua kubu masyarakat Jawa yang terpecah akibat perbedaan keyakinan antara penganut Kejawen yang merupakan kepercayaan orang Jawa dengan Putihan (kepercayaan Islam).
Selain itu, mitos malam 1 Suro sebagai datangnya Aji Saka ke Pulau Jawa yang mampu melepaskan rakyat dari genggaman makhluk gaib. Kesultanan Yogyakarta, Kasunan Surakarta dan Kasepuhan Cirebon rutin mengadakan ritual setiap tahunnya pada malam 1 Suro.
Dalam ritual itu, tentu saja sebelum pandemi Covid-19, masyarakat akan mengelilingi keraton dalam diam, memandikan benda-benda pusaka, berendam di kali, mandi kembang hingga mengarak kerbau bule. Sebagian masyarakat percaya bahwa kerbau-kerbau tersebut merupakan turunan dari Kebo Bule Kiai Slamet yang dianggap keramat.
Masyarakat Jawa percaya bahwa ritual tersebut dapat membawa berkah. Di sisi lain, malam 1 Suro juga dipercaya dapat mendatangkan kesialan bagi mereka yang melanggar pantangan.
Mitos 1 Suro
1. Tapa bisu atau tak boleh berbicara
Beberapa orang Jawa memilih ritual pada 1 Suro, salah satunya adalah tapa bisu atau tidak boleh berbicara sama sekali. Ritual ini biasanya dilakukan saat mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta. Selain tak boleh bicara, orang tersebut juga tidak boleh makan, minum serta merokok saat melakukan ritual tapa bisu.
2. Tak boleh keluar rumah
Masyarakat Jawa percaya bahwa setiap malam 1 Suro lebih baik berdiam diri di rumah. Mitos yang dipercaya apabila melanggar aturan ini maka orang tersebut akan mendapatkan kesialan dan hal buruk.
3. Dilarang Pindah rumah
Berdasarkan primbon Jawa orang tidak disarankan untuk pindah rumah pada saat malam 1 Suro. Orang jawa percaya ada hari baik dan hari buruk.
4. Tidak menggelar pernikahan
Orangtua Jawa percaya bahwa menikahkan anaknya di bulan Suro akan mendatangkan kesialan. Namun beberapa orang mengatakan bahwa hal ini adalah mitos belaka. Alasannya, jika masyarakat mengadakan pesta pernikahan pada malam 1 Suro dianggap menyaingi ritual keraton yang akan dirasa sepi. Hal ini juga berlaku pada pesta-pesta lainnya seperti pesta sunatan atau pesta syukuran lainnya dan hal ini mash dipercaya oleh orang Jawa.
5. Pesta makhluk halus
Malam 1 Suro diidentikan sebagai pestanya makhluk halus, mereka disebut akan keluar di malam yang keramat ini.