Mengembangkan Kampung Sebagai Potensi Yang Mensejahterakan
Bulan Juli 2018 lalu, kota Surabaya meraih penghargaan kelas dunia yang digelar dua tahunan di Singapura "Lee Kwan Yew World City Prize". Selain Surabaya, tiga negara peraih penghargaan bergengsi lainnya adalah Hamburg (Jerman), Tokyo (Jepang) dan Kazan (Rusia).
Masing-masing kota dunia ini memiliki kekhasan. Surabaya, misalnya, sebagai kota besar, dinilai berhasil dalam menjaga eksistensi perkampungan sebagai bagian dari perkembangan kota. Perkampungan kota di Surabaya menjadi kekhasan kota Surabaya.
Dibandingkan dengan kota besar Jakarta, perkampungan di kota Jakarta telah tergusur oleh perkembangan dan modernisasi ibukota. Misalnya kawasan CBD, yang dulunya adalah kawasan perkampungan. Pun demikian dengan Kuningan, yang kini menjelma menjadi belantara bangunan otot kawat balung wesi (urat kawat, tulang besi).
Sekertaris pelaksana "Lee Kwan Yew World City Prize", Ng Lye Hock Larry mengatakan bahwa ketika kebanyakan kota di dunia menghancurkan kampung kampung demi perkembangan dan kemajuan, tapi di Surabaya kampung-kampung justru dijaga eksistensinya.
Alasannya adalah masyarakat kampung-kampung di Surabaya memiliki andil dalam sejarah perjuangan. Belum lagi, kampung-kampung di Surabaya terbukti menyimpan peradaban masa lalu, yang sayang jika tenggelam (hilang).
Jika diidentifikasi secara menyeluruh, maka banyak kampung-kampung di Surabaya yang menyimpan cerita dan kearifan lokal, khususnya kampung kampung yang berada di wilayah pusat kota.
Kampung Ketandan dan Kebangsren adalah salah satu contoh. Perkampungan ini berada di pusat kota, terhimpit oleh ramainya jalan Tunjungan jalan Embong Malang dan jalan Praban. Di tengah-tengah perkampungan padat penduduk ini terdapat makam leluhur kampung, yang disebut Makam Buyut Tondo. Dari kata "Tondo" (Tanda) inilah muncul kata Ketandan (Tertanda).
Di saat pecah perang di jalan Tunjungan, ketika terjadi peristiwa penyobekan bendera merah-putih-biru pada tahun 1945, banyak pemuda dan pejuang keluar dari kampung Ketandan. Selain itu, Ketandan juga menyimpan kekunoan. Kekunoan itu adalah keberadaan makam Mbah Buyut Tondo, leluhur warga Ketandan.
Kampung lainnya adalah kampung Maspati yang sekarang terkenal dengan nama “Kampung Lawas”. Kampung ini tidak jauh dari landmark kota Pahlawan.
Yakni Tugu Pahlawan. Kampung Lawas Maspati menawarkan rumah rumah lama, area permainan tradisional, produk UMKM, kreativitas warga dalam mendaur ulang sampah serta kreativitas seni dalam menyambut tamu.
Masih ada kampung-kampung lain di Surabaya yang layak diekspose dan dieksplore untuk dijadikan kampung pusaka dan budaya Surabaya. Yang terbaru adalah Kampung Lawang Seketeng di kelurahan Peneleh.
Soft lunching Lawang Seketeng sebagai Kampung Heritage pada 11 November 2019 memiliki obyek menarik seperti Langgar Duwur, Rumah Kayu, Rumah Jengki, Rumah Indies serta makam makam tua dan kuliner khas seperti rujak topak, martabak usus, lontong kikil dan sate manggul.
Kekhasan kuliner Lawang Seketeng ini secara natural dijual di beberapa titik di dalam kampung. Namun sejak dibukanya Lawang Seketeng sebagai Kampung Heritage ragam kuliner ini ditempatkan di satu sentra kuliner di depan Langgar kuno yang berangka tahun 1893.
Penanda angka tahun ini tertulis dalam bahasa Arab Pegon “Awitipun jumeneng puniko langgar tahun 1893 sasi setunggal”, yang berarti pembangunan langgar ini dimulai pada Januari 1893.
Kampung Heritage Lawang Seketeng yang baru soft launching (11/11/2019) ini akan ditindak lanjuti dengan grand launching oleh Walikota Surabaya, Tri Rismaharini.
Pertanyaannya adalah bagaimana geliat Kampung Hetitage sejauh ini dan bagaimana keberlanjutan Kampung Heritage Lawang Seketeng pasca grand launching oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini nanti?
Menurut warga Lawang Seketeng, Andy Kusuma Yudha, selama ini kampungnya sering dikunjungi oleh para tamu. Ketersediaan makanan khas Lawang Seketeng masih terus menghiasi sentra kuliner. Bahkan ada tambahan 2 stand makanan yang menjual ayam goreng dan sate manggul sehingga pengunjung memiliki variasi kuliner.
Jika, perihal kuliner ada yang mengawal, menyediakan dan menjual, bagaimana dengan keberadaan obyek-obyek bangunan dan benda bersejarah yang selama ini diandalkan? Adakah yang siap sebagai kurator atau pemandu untuk melayani para tamu?
Sapto Hari, pegiat sejarah dari komunitas Laskar Surabaya berpendapat bahwa di Kampung Heritage Lawang Seketeng harus memiliki agenda atraksi untuk menarik perhatian publik melihat potensi kampung. Agenda ini harus direncanakan dan disusun dengan baik sehingga menjadi calender of events yang bisa menjadi panduan kunjungan.
Komunitas Laskar Surabaya adalah komunitas yang turut menggali potensi Lawang Seketeng dan berkolaborasi dengan instansi pemerintah terkait sehingga menjadikan Lawang Seketeng sebagai Kampung Heritage. Kehadiran Kampung Heritage Lawang Seketeng ini menambah khasanah kampung bersejarah di Surabaya.
Meski sudah ditetapkan sebagai Kampung Heritage, yang esensinya adalah menjaga peninggalan peninggalan bersejarah yang ada di dalam kampung, komunitas ini tidak putus komunikasi dengan warga setempat.
Pada Minggu 2 Februari 2020, beberapa anggota komunitas Laskar Surabaya datang di sentra kuliner dan berdiskusi untuk menjaga hidupnya atraksi agar menarik perhatian publik.
Terciptanya atraksi dan agenda agenda kegiatan tidak luput dari partisipasi warga sendiri. Atraksi harus diciptakan. Warga harus kreatif agar menghasilkan produk produk atraksi yang layak dikunjungi. Jika Kampung Lawas Maspati bisa, mengapa Kampung Heritage Lawang Seketeng tidak bisa?
Semuanya berpulang pada sumber daya manusia (SDM). SDM tidak lain adalah peran warganya sendiri. Bagaimana warga Lawang Seketeng memanfaatkan potensi lokal yang telah dibuka untuk umum ini?
Anggota Laskar Surabaya, Cak Siswadi, mengingatkan jangan sampai kemonceran potensi ini menjadi meredup karena tidak adanya SDM yang peduli dalam memanfaatkan dan mengembangkan segala obyek dan potensi yang berhasil digali.