Mengeluhkan Volume Keras Suara Azan, Begini Hukumnya (2)
Sebelumnya dijelaskan, secara lugas, bahwa orang yang azan untuk jamaah disunnahkan memperdengarkan azannya kepada lebih dari satu orang calon jamaah.
Untuk memperjelas hal itu, berikut ulasan Ustadz Ahmad Muntaha AM, Wakil Sekretaris PW LBM NU Jawa Timur:
Sementara memperdengarkan azan kepada satu orang calon jamaah menjadi syarat azan yang tidak boleh ditinggalkan. Karenanya, mengeluhkan terlalu kerasnya volume azan melalui pengeras suara bukan berarti mengeluhkan azan secara total, namun hanya berarti mengeluhkan kadar volumenya yang dalam teknis fiqih Islam berarti membatasi praktik kesunahan secara maksimal yang tentu saja boleh, sebagaimana kebolehan seseorang azan dengan volume di bawah suara maksimalnya.
"Berkaitan dengan azan menggunakan pengeras suara, tentu aspek sosial kemasyarakatan menjadi pertimbangan yang sangat penting. Terlebih dalam masyarakat yang berbeda kesibukan seperti di perkotaan yang mobilitasnya sangat tinggi dan memerlukan konsentrasi dalam aktivitas.|
Dalam konteks seperti ini Imam Ahmad pernah meninggalkan shalat dua rakaat sebelum Maghrib meskipun dalam pandangannya hukum sebenarnya adalah sunnah. Kenapa bisa demikian? Tiada lain karena masyarakat belum memahami dan justru mengingkarinya. Pakar hadits mazhab Hanbali asal Baitul Maqdis Palestina, Ibn Muflih Al-Maqdisi (708-763 H/1308-1362 M) menjelaskan:
وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا
Artinya, “Imam Ahmad pernah meninggalkan shalat dua rakaat sebelum Maghrib karena masyarakat mengingkarinya,” (Lihat Abdullah Muhammad ibn Muflih Al-Maqdisi, Al-Adabus Syar’iyyah, [Beirut, Mu’assasatur Risalah: 1419 H/1999 M], cetakan ketiga, juz II, halaman 47).
Aspek Sosial Kemasyarakatan
Pertimbangan ketiga, aspek sosial kemasyarakatan. Berkaitan dengan azan menggunakan pengeras suara, tentu aspek sosial kemasyarakatan menjadi pertimbangan yang sangat penting. Terlebih dalam masyarakat yang berbeda kesibukan seperti di perkotaan yang mobilitasnya sangat tinggi dan memerlukan konsentrasi dalam aktivitas. Kondisi orang sakit, balita dan lansia yang perlu istirahat penuh ketenangan.
"Kondisi lingkungan masyarakat yang plural, berbeda latar belakang agama, dan adat istiadat juga patut dipertimbangkan."
Kondisi lingkungan masyarakat yang plural, berbeda latar belakang agama, dan adat istiadat juga patut dipertimbangkan. Tentu berbagai kondisi ini sangat penting dipertimbangkan sebagai bentuk pemenuhan hak-hak dalam bertetangga, seiring sabda Rasulullah SAW:
خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ الله خَيْرُهُم لِصَاحِبِهِ، وَخَيرُ الجِيرَان عِنْدَ الله خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ. حم ت ك عَنِ ابْنِ عُمَرَو. إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ
Artinya, “Teman terbaik di sisi Allah adalah orang terbaik bagi temannya dan tetangga terbaik di sisi Allah adalah orang terbaik bagi tetanggnya,” HR Ahmad dalam Al-Musnad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim. Sanadnya sahih,” (Lihat Abdurrauf Al-Munawi, At-Taisir bi Syarhil Jami’is Shaghir, [Riyadh, Maktabah Al-Imam As-Syafi’i: 1408 H/1988 M], cetakan ketiga, juz I, halaman 1065).
Terlebih berkaitan dengan non-Muslim, di mana asas hubungan antara Muslim dan non-Muslim bukan hubungan konflik, namun hubungan perdamaian dan hidup berdampingan secara harmonis. (Keputusan Bahtsul Masail Maudlu’iyyah Konferwil PWNU Jawa Timur 15-16 Dzulqa’dah 1439 H/28-29 Juli 2018 tentang Kerukunan Antarumat Beragama dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara).
Dari beberapa pertimbangan di atas setidaknya dapat dimaklumi bahwa mengeluhkan terlalu kerasnya volume azan melalui pengeras suara adalah boleh, sebab bukan berarti mengeluhkan atau keberatan terhadap azan secara total, namun hanya berarti mengeluhkan kadar volumenya. Namun demikian, keluhan juga harus disampaikan secara santun dan penuh kebijakan serta jauh dari cara-cara provokatif yang justru dapat menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Dreemikian pendapat penulis.
Selain itu, tentu terdapat berbagai pertimbangan lain yang belum terkover dalam tulisan ini. Sebagaimana tulisan menarik dari Zain bin Muhammad bin Husain Al-‘Idrus yang berjudul I’lamul Khash wal ‘Amm bi Anna Iz’ajan Nas bil Mikrofun Haram maupun tulisan-tulisan lainnya.
Karenanya penulis berharap, kajian isu ini dapat diperdalam dalam berbagai forum bahtsul masail, baik di pesantren yang mempunyai rekam jejak jelas berbahtsul masail, dalam bahtsul masail antarpesantren seperti Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) se-Jawa Madura dan bahtsul masail NU di berbagai level, sehingga menghasilkan simpulan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan serta berdasarkan analisis yang komprehensif. (habis)
Wallahu a’lam. (adi)