Mengeluhkan Volume Keras Suara Azan, Begini Hukumnya? (1)
Akhir-akhir ini publik ramai membicarakan kasus Meliana, warga Jalan Karya Lingkungan I, Tanjung Balai, Sumatera Selatan yang mengeluhkan volume suara azan masjid di dekat rumahnya. Tak terhindarkan pula pro dan kontra berkaitan dengan kasus yang menyedot perhatian publik ini di berbagai ruang, termasuk di ruang media sosial.
Untuk memperjelas hal itu, berikut ulasan Ustadz Ahmad Muntaha AM, Wakil Sekretaris PW LBM NU Jawa Timur:
Dari sini muncul beberapa pernyataan dari tokoh masyarakat berkaitan dengannya. Kasus serupa juga pernah terjadi di Aceh dan Tolikara.
Terlepas dari berbagai kasus tersebut muncul pertanyaan, “Apakah hukumnya mengeluhkan terlalu kerasnya volume azan melalui pengeras suara?”
Bila merujuk pada kitab-kitab Ahlussunah wal Jama’ah, akan kita temukan hadits-hadits yang memang menganjurkan azan dengan suara keras dan maksimal, sebagaimana diriwayatkan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ: أَنَّ أَبَا سَعِيدِ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لَهُ: إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الْغَنَمَ وَالْبَادِيَةَ.َ فَإذَا كُنْتَ فِي غَنَمِك -أَوْ بَادِيتِكَ- فَأَذَّنْتَ لِلصَّلاَةِفَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ المُؤذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَومَ الْقِيَامَةِ. قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: سَمِعْتُهُ مِنْ رَسولِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Artinya, “Diriwayatkan dari Abdullah bin Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah, bahwa Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata kepadanya, ‘Sungguh aku melihatmu menyenangi kambing dan daerah badui (pedalaman). Maka bila kamu sedang (mengembala) kambingmu atau sedang di daerah pedalamanmu lalu azan untuk shalat, maka keraskanlah suara azanmu. Sebab, sungguh tidak lah jin, manusia, dan makhluk apa pun yang mendengar ujung suara muazin kecuali akan menjadi saksi yang menguntungkan baginya di hari kiamat.’ Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata, ‘Aku mendengarkannya dari Rasulullah SAW,’ HR Al-Bukhari,” (Lihat Muhamad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, [Beirut, Daru Ibni Katsir: 1407 H/1987 M], juz I, halaman 221).
Namun demikian, apakah dengan adanya hadits seperti ini berarti otomatis mengeluhkan terlalu kerasnya volume suara azan melalui mikrofon atau pengeras suara adalah tidak boleh?
Dalam menjawab pertanyaan semacam ini setidaknya perlu dipertimbangkan beberapa hal sebagaimana berikut:
Watak Dasar Moderasi Agama Islam
Pertimbangan pertama adalah watak dasar moderasi agama Islam. Memang benar dalam agama Islam terdapat anjuran untuk mengeraskan suara azan dan mengoptimalkannya sebagaimana riwayat Al-Bukhari di atas. Tetapi hadits tersebut belum menjelaskan secara terang ketika dalam suatu kondisi volume azan melalui pengeras suara terlalu keras. Dalam konteks ini semestinya penggunaan pengeras suara diukur sesuai kebutuhan jamaah dan tidak berlebihan, seiring firman Allah SWT:
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْواتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (لقمان: ١٩
Artinya, "Dan biasalah dalam berjalanmu (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat dan kurangilah volume suaramu (tidak memaksakan diri untuk terlalu keras, namun sesuai kebutuhannya). Sungguh suara yang paling diingkari (paling jelek) adalah suara keledai (yang terlalu keras)," (Surat Luqman ayat 19).
Ayat ini secara tegas menunjukkan watak dasar moderasi agama Islam. Islam menganjurkan orang untuk berjalan dengan jalan yang sedang, tidak terlalu lambat maupun terlalu cepat. Islam juga mengajarkan agar manusia mengendalikan suaranya, yaitu agar bersuara dengan suara yang sedang, tidak terlalu pelan dan tidak terlalu keras.
“Disunnahkan mengeraskan suara azan bagi orang yang shalat sendirian di atas volume suara yang dapat memperdengarkan dirinya sendiri; dan bagi orang yang azan untuk jamaah di atas volume yang dapat memperdengarkan satu (1) orang dari mereka”.
Suara yang telalu keras dan memekakkan telinga dianggap sebagai suara yang paling tidak disenangi seperti suara keledai. Saat menjelaskan ayat ini pakar tafsir berdarah Cordova, Imam Al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam tafsirnya mengatakan:
لَا تَتَكَلَّفْ رَفْعَ الصَّوْتِ وَخُذْ مِنْهُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ. فَإِنَّ الْجَهْرَ بِأَكْثَرَ مِنَ الْحَاجَةِ تَكَلُّفٌ يُؤْذِي.
Artinya, “Janganlah memaksakan diri mengeraskan suara dan ambillah suara sesuai kebutuhan. Sebab, mengeraskan suara melebihi kebutuhan itu merupakan usaha memaksakan diri yang menyakitkan.”
Dalam lanjutan penjelasannya dikisahkan, Sayyidina Umar bin al Khatthab RA, Khalifah kedua setelah wafat Rasulullah SAW yang sangat terkenal ketegasannya pun pernah menegur muazin semasanya, yaitu Abu Mahdzurah Samurah bin Mi'yar RA, yang azan dengan memaksakan suara sekeras-kerasnya. Penuh ketegasan Sayyidina Umar RA menegur muazin itu:
لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَنْشَقَّ مُرَيْطَاؤُكَ
Artinya, "Aku khawatir perut bagian pusar hingga (tempat tumbuh) rambut kemaluanmu bedah," (Lihat Muhammad bin Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, [Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah: 1384 H/1964 M], juz XIV, halaman 71).
Mungkin ada yang bertanya, “Bukankah kekhawatiran Sayyidina Umar RA ini berkaitan dengan sakit atau bahaya bagi muazin ketika memaksakan suaranya secara sangat keras? Bukan terkait dengan bahaya yang menimpa orang lain?” Memang benar sekilas demikian. Tetapi, pesan utama dari kisah ini adalah hendaknya bahaya harus dihindarkan baik bagi diri sendiri maupun orang lain, selaras dengan semangat sabda Rasulullah SAW
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ. حَسَنٌ
Artinya, “Tidak boleh menyakiti orang lain dan tidak boleh membalas menyakitinya,” HR Ahmad dan Ibn Majah. Hasan. (Lihat Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’us Shaghir, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1415 H/1994 M], juz VI, halaman 566).
Kadar Volume Azan
Pertimbangan kedua berkaitan dengan kadar volume azan. Sebenarnya dalam fiqih Islam, pokok kesunnahan azan (ashlus sunnah) untuk jamaah shalat sudah terpenuhi dengan mengeraskan suara azan hingga terdengar lebih dari satu orang jamaah yang akan mengikuti shalat. Berkaitan dengan hal ini pakar fiqih Syafi’i asal Malabar India Selatan, Syekh Zainuddin Al-Malibari (w. 987 H/1579) menjelaskan:
يُسَنُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالْأَذَانِ لِمُنْفَرِدٍ فَوْقَ مَا يُسْمِعُ نَفْسَهُ ولِمَنْ يُؤَذِّنُ لِجَمَاعَةٍ فَوْقَ مَا يُسْمِعُ وَاحِدًا مِنْهُمْ...
Artinya, “Disunnahkan mengeraskan suara azan bagi orang yang shalat sendirian di atas volume suara yang dapat memperdengarkan dirinya sendiri; dan bagi orang yang azan untuk jamaah di atas volume yang dapat memperdengarkan satu (1) orang dari mereka” (Lihat Zainuddin bin Abdil Aziz Al-Malibari, Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 238).
Kemudian dalam penjelasannya diterangkan secara lugas, bahwa orang yang azan untuk jamaah disunnahkan memperdengarkan azannya kepada lebih dari satu orang calon jamaah. Sementara memperdengarkan azan kepada satu orang calon jamaah menjadi syarat azan yang tidak boleh ditinggalkan. (Lihat Abu Bakr bin As-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anah at-Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 238).
(bersambung)
Advertisement