Mengejar Inovasi Batik Trenggalek
Istilah gas pol rem pol ternyata tidak melulu berlaku bagi para sopir di dunia per-bemo-an, atau dunia kesusu alias buru-buru, tetapi juga berlaku dalam dunia kerajinan batik-membatik.
Simak saja Tiwi Poncowati, 49 tahun, dari Kabupaten Trenggalek. Juni 2016 lalu baru bersentuhan dengan batik. Itupun hanya 5 hari.
Belum lagi Juni 2017 alias setahun, omset batiknya hasil berguru lima hari itu sudah mendekati 200 lembar dalam sebulan.
Huihhh jelas bukan omset sedikit kalau perlembar batik harganya berkisar 400 ribu rupiah. Benar-benar gas pol rem pol dan berlari kencang ala Tiwi Poncowati.
Saat disambangi Tiwi Poncowati belum mandi dan dandan. Sekejab kemudian segera mandi dan segera terlihat cantiknya.
Tiwi mengisahkan, batik yang sedang digarapnya dengan metode “gas pol rem pol” ini tak lepas dari suport penuh Dinas Komindag Kabupaten Trenggalek.
Dia diikutkan program pelatihan membatik Dinas Komindag ke Bantul, Jogjakarta. “Program itu tak lama, hanya 5 hari. Namun sungguh efektif dan mampu mengubah cara berpikir saya tentang dunia batik,” kata Tiwi Poncowati.
Pulang pelatihan Tiwi langsung merencanakan sebuah aksi. Aksi aplikatif namanya. Bagi dia, benar atau salah itu tidak penting, yang penting langsung membatik.
Membuat sebuah berkarya. Kalau salah dibenahi, kalau sudah benar ditingkatkan kualitasnya. Itu prinsip nekat kata Tiwi, dan ternyata efektif bagi hidup matinya rumah batik yang dirintisnya.
Tiwi benar-benar berangkat dari nol. Tahu batik, biasa memakai kain batik, suka kain batik, tapi tidak bisa membatik. Dia juga juga bukan terlahir dari keluarga pembatik. Hanya, Tiwi memang memiliki para tetangga sekitar yang sejak lama berkecimpung di kerajinan batik.
Para tetangga inilah yang kemudian suport dalam bentuk lain yang mampu menopang kenekatannya untuk terjun dalam dunia batik.
Menurut Tiwi, produksi batik dari rumah batik miliknya sudah memiliki market yang oke. Orang juga sudah mulai berdatangan mencari brand batik Poncowati. Sebab itu dia mulai berpikir market secara profesional.
Dia memroduksi batik cap, semi cap yang artinya cap dikombinasi dengan batik tulis, dan murni batik tulis. Itu pun masih dibedakan lagi, memakai pewarna kimia dan pewarna alam. Masing-masing jenis produksi membedakan kelas dan membedakan harga.
“Batik saya harganya ditentukan oleh berapa warna dalam batik, cap atau tulis atau kombinasi keduanya. Setelah itu baru ditentukan memakai warna alam atau kimia."
Harga paling merakyat adalah batik cap. Untuk warna satu lorot harganya hanya 100 ribu rupiah, dua warna 210 ribu rupiah, sedangkan model kombinasi cap dan tulis adalah 175 ribu rupiah.
Batik tulis murni dan dua warna harga dikisaran 175 ribu rupiah. Batik tulis dengan pewarna alam dikisaran 400.
Kelas paling mahal adalah kelas premium, biasanya produk ini adalah batik tulis murni dengan motif pilihan dan memakai pewarna alam. Price-nya bisa di atas satu juta rupiah.
Ladang basah perbatikan Trenggalek membuat Tiwi Poncowati mesam-mesem dengan capaiannya sekarang. Istri Bupati Trenggalek, Arumi Bachsin, yang pernah terkenal jadi artis dan terkenal kecantikannya itu, getol menggandengnya untuk perbaikan batik Trenggalek.
Perbaikan mulai motif, pengayaan motif khas Trenggalek, hingga ke sasaran market. Tiwi juga aktif berada di barisan “kampanye” Batik Arumi yang dicetuskan istri Bupati Trenggalek untuk mengangkat Batik Trenggalek di kancah perbatikan Nasional.
“Dulu, identitas Batik Trenggalek hanya berkutat pada motif bunga cengkeh. Motif ini seakan menjadi keramat. Tafsir saya mungkin agak beda ya, boleh jadi motif ini menjadi seperti itu karena pembatiknya tidak mau bergeser dari motif tersebut."
Mungkin juga minim kreator. Nah, dunia perbatikan berubah, dunia mode juga berubah cepat, mode batik juga lagi menjadi trend luar biasa, maka saatnya Trenggalek mengusung motif yang lebih kreatif tanpa meninggalkan yang khas.
"Misalnya Turonggoyekso, motif batik dengan gambar kuda lumping namun kuda kepalanya adalah Buto alias raksasa. Ini kreatif anyar, dan mampu mendobrak pasar,” Pungkas Tiwi Poncowati yang kini mampu menghidupi 50 orang pembatik di Kabupaten Trenggalek. idi
Advertisement