Mengharukan! Taufiq Ismail:Palestina, Bagaimana Bisa Melupakanmu?
Suasana perang yang dialami rakyat Palestina, begitu memprihatinkan banyak kalangan. Perlawanan kelompok Hamas terhadap Israel, dibalas dengan bombardir tan berperikemanusiaan. Rumah sakit dijadikan sasaran, ibu-ibu dan anak-anak tewas menjadi korban perang.
Ada kisah dari seorang perawat Rumah Sakit Al Shifa di Kota Gaza. Dia menggambarkan perjuangannya menghadapi gelombang besar orang-orang terluka yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Banyak pasien yang mengalami luka dan harus dijahit tanpa anestesi. Seorang pria Palestina meratapi jenazah yang tewas akibat serangan Israel di Rafah, Jalur Gaza selatan, Selasa (7 November 2023), dalam lanjutan perang Hamas vs Israel terbaru.
Gadis kecil itu menangis kesakitan dan berteriak, "Mumi, Mumi", memanggi ibunya.
Sementara perawat menjahit luka di kepalanya tanpa menggunakan obat bius apa pun, karena saat itu tidak ada obat bius yang tersedia di Rumah Sakit Al Shifa di Kota Gaza.
Itu adalah salah satu momen terburuk yang dapat diingat perawat Abu Emad Hassanein ketika dia menggambarkan perjuangannya menghadapi gelombang besar orang-orang terluka yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kelangkaan obat pereda nyeri sejak perang di Gaza dimulai sebulan yang lalu menambah pilu. “Kadang-kadang kami memberi beberapa di antaranya kain kasa steril (untuk digigit) untuk mengurangi rasa sakitnya,” kata Hassanein, seperti dilansir dari Reuters.
“Kami tahu bahwa rasa sakit yang mereka rasakan lebih dari yang dibayangkan orang, melebihi apa yang dialami orang seusia mereka,” katanya, mengacu pada anak-anak seperti gadis yang mengalami luka di kepala.
Sesampainya di Al Shifa untuk mengganti balutan dan mengoleskan desinfektan pada luka di punggungnya akibat serangan udara, Nemer Abu Thair, seorang pria paruh baya, mengatakan bahwa ia tidak diberikan obat pereda nyeri saat luka tersebut pertama kali dijahit. “Saya terus mengaji sampai mereka selesai,” ujarnya.
Perang dimulai pada 7 Oktober 2023 ketika kelompok Hamas menerobos pagar perbatasan Jalur Gaza dengan Israel selatan.
Israel mengeklaim Hamas membunuh 1.400 orang dan menculik 240 orang, terbesar dalam sejarah Israel. Israel membalasnya dengan serangan udara, laut, dan darat terhadap wilayah padat penduduk yang dikuasai Hamas, yang menurut para pejabat kesehatan di Gaza telah menewaskan lebih dari 10.800 warga Palestina.
Mohammad Abu Selmeyah, direktur Rumah Sakit Al Shifa, mengatakan ketika sejumlah besar orang yang terluka dibawa ke rumah sakit pada saat yang bersamaan, tidak ada pilihan selain merawat mereka di lantai, tanpa obat pereda nyeri yang memadai.
Kejadian sesaat setelah ledakan di Rumah Sakit Al Ahli Arab pada 17 Oktober, ketika dia mengatakan sekitar 250 orang yang terluka tiba di Al Shifa, yang hanya memiliki 12 ruang operasi.
“Jika kami menunggu untuk mengoperasi mereka satu per satu, kami akan kehilangan banyak korban luka,” kata Abu Selmeyah.
“Kami terpaksa melakukan operasi di lapangan dan tanpa anestesi, atau menggunakan anestesi sederhana atau obat penghilang rasa sakit yang lemah untuk menyelamatkan nyawa,” katanya.
Prosedur yang dilakukan staf Al Shifa dalam keadaan seperti itu antara lain mengamputasi anggota badan dan jari, menjahit luka serius, dan mengobati luka bakar serius, kata Abu Selmeyah.
Keprihatinan Sastrawan Indonesia
Penyair Indonesia, Taufik Ismail (lahir 1935) di antara menyampaikan keprihatinannya dengan puisi. Kepeduliannya terhadap dunia Islam, terutama bagi bangsa Palestina dalam perjuangan melawan kolonialisme dia tunjukkan oleh sebuah puisi berjudul “Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu?” yang ditulis pada tahun 1989.
Puisi yang sudah dialihbahasakan dalam bahasa Inggris, Persia, dan Arab ini pernah dibacakan dalam perkumpulan para sastrawan Islam di Ismailiyah, Mesir tahun 2014. Juga pada malam kenegaraan jelang KTT Luar Biasa OKI soal Palestina dan Al-Quds Al-Syarif di Jakarta, tahun 2016.
Berikut teks lengkap puisi karya Taufiq Ismail.
Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu?
Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamar tidurku bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu yang berdarah.
Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan, lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam file lemari kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas mereka.
Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatu-sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun yang silam, di bawahnya ada kolam ikan yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi airmataku.
Palestina! bagaimana bisa aku melupakanmu?
Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka, menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit?!! serasa anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka.
Tapi saksikan tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka.
Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi;
‘Allahu Akbar!’ dan ‘Bebaskan Palestina!’
Ketika pabrik tak bernama, 1000 ton sepekan memproduksi dusta, menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara, membangkangit resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia, membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat dan semua pejuang negeri anda, aku pun berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia:
“Doakan, doakan, doakan kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang menapak jalanNya! yang ditembaki dan kini dalam penjara, lalu dengan kukuh kita bacalah ‘laquwwatta illa bi-Llah!’, ‘laquwwatta illa bi-Llah!’, ‘laquwwatta illa bi-Llah!’”
Palestina! bagaimana bisa aku melupakanmu?
Tanahku jauh, tanah kami jauh bila diukur kilometer. Beribu-ribu kilometer jauh jaraknya, tapi adzan Masjidil Aqsa yang merdu serasa terdengar di telingaku, serasa terdengar di telinga kami, di Indonesia.