Mengapa Saya Tidak Percaya Andi Mallarangeng Korupsi?
Andi Mallarangeng sudah keluar dari penjara. Dia bebas hari Jumat (21/4) pekan lalu dengan status CMB (cuti menjelang bebas) selama tiga bulan. Bulan Juli mendatang dia bebas penuh, bebas dari hukuman penjara selama 4 tahun sesuai vonis majelis hakim Tipikor.
Dia sekarang sudah bebas. Karena itu saya berani menuliskan beberapa kesan serta kesaksian saya tentangnya. Apapun yang saya tuliskan sama sekali sudah tidak akan memperngaruhi seluruh proses hukum yang dijalaninya, sebab Andi sudah selesai menjalani hukumannya. Ini persoalan etika saja, etika jurnalistik sekaligus etika hukum.
Sebagai sahabat sekaligus salah satu staf saya perlu menegaskan keyakinan saya dari dahulu sampai saat ini bahwa Andi Mallarangeng tidak korupsi satu rupiahpun dari yang disangkakan. Inilah kesaksian saya.
Di mata saya, Andi Alifian Mallarangeng adalah orang yang sudah selesai. Dia bukan tipe orang yang tak pernah selesai, terutama masalah keuangan. Tidak sedikit orang yang selalu saja merasa kurang dalam hal keuangan. Mereka itu sudah memiliki harta yang jauh lebih banyak dari yang semula diperkirakannya sendiri, tetapi masih tetap saja selalu kurang. Keinginan untuk memiliki uang tak pernah selesai. Andi bukan tipe orang yang demikian.
November 2005, saya mulai bergabung dengan Andi Mallarangeng. Dia sebagai Staf Khusus Presiden SBY merangkap Jubir Presiden. Ketika itu SBY ingin memiliki official website kepresiden, untuk menginformasikan kepada rakyat semua kegiatan yang dilakukan Presiden. Juga menginformasikan apa saja yang menurut presiden penting untuk disampaikan kepada rakyat.
Sebagai penanggungjawab website itu, Andi Mallarangeng kemudian mengundang sekelompok anak muda yang sebelumnya sukses membantu masyarakat Aceh dengan membuka jaringan internet sehari setelah terjadinya mega tsunami 26 Desember 2014. Mereka tergabung dalam kelompoik Air Putih, kebanyakan adalah lulusan Fakultas Elektro Universitas Brawijaya Malang. Kelompok ini tadinya berbentuk yayasan, kemudian berkembang menjadi usaha berbadan hukum.
Kepada mereka Andi minta untuk dibuatkan website kepresidenan dengan domain www.presidensby.info . Mereka diminta untuk mendisain sekaligus mengelola dan menjaga sisi IT website ini. Setelah dihitung-hitung, anggaran yang diperlukan total Rp 87 juta, antara lain untuk disain, hosting termasuk sewa server di Telkom. Anggaran inilah yang kemudian dilaporkan kepada Presiden.
Bayangkan, membuat website untuk Presiden RI hanya dengan anggaran Rp 87 juta, bukan milyaran sebagaimana yang sering dilakukan oleh orang lain. Presiden SBY sendiri ketika itu kaget melihat anggaran yang diajukan Andi. “Delapan koma tujuh atau delapan tujuh juta Ndik?” tanya Presiden. “Delapan puluh tujuh juta rupiah, Pak Presiden,” jawab Andi.
Sebelumnya, Andi juga sudah merekrut empat orang untuk mengisi konten, termasuk saya. Tim kecil inilah yang secara bergantian akan memberitakan semua kegiatan presiden baik kegiatan di dalam istana maupun di luar istana. Website kepresidenan ini diadakan bukan saja untuk menginformasikan apa saja kegiatan presiden kepada mamsyarakat luas, tetapi juga memfasilitasi media-media daerah yang tidak menempatkan wartawannya di istana karena juga memuat foto-foto kegiatan presiden. Foto-foto kegiatan presiden kami peroleh dari para fotografer Biro Pers Istana.
Barang-barang apa saja yang diperlukan, tanya Andi kepada kami. Kami menyebutnya antara lain laptop, kamera saku dan tape recorder. Saya diminta membuat daftar kebutuhan itu, kemudian menyerahkan kepadanya.
Setelah membaca barang yang kami perlukan, Andi segera mengangkat telpon, mengontak adiknya, Rizal Mallarangeng. “Chel, tolong belikan saya barang-barang ini ya. Kalau saya minta ke bagian rumah tangga istana nanti berbelit dan belum tentu seminggu bisa disediakan. Saya minta kamu aja tolong belikan, besok suruh antar orangmu ke istana,” kata Andi disambung menybutkan barang apa saja yang kami perlukan.
Keesokan harinya seseorang mengantarkan barang-barang itu ke ruangan kami, yang saat itu berada di Wisma Negara yang letaknya di tengah diantara Istana Merdeka dan Istana Negara. Dikemudian hari, ruang kerja kami pindah ke Bina Graha, di bekas ruang kerja almarhum Presiden Suharto.
Selama hampir lima tahun bekerja di bawah Andi Mallarangeng bersama staf yang lain, saya tidak pernah sekalipun melihat atau mendengar Andi Mallarangeng memiliki atau mengerjakan pekerjaan yang sifatnya sebuah proyek dengan pembiayaan istana maupun dari Setnneg. Misalnya penerbitan buku, atau majalah dan tabloid, atau proyek lainnya.
Padahal sebagai Staf Khusus Presiden merangkap Jubir, dia yang lebih banyak mendampingi SBY memungkinkan sekali untuk mengusulkannya. Biasanya usul apapun dari Andi selalu disetujui Presiden. Tapi dia tak pernah lakukan itu, dia sudah merasa cukup hanya makan dari honor yang diterima sebesar Rp 5 juta/bulan, ditambah dengan uang saku bila harus mendampingi Presiden SBY melakukan kunjungan kerja ke luar kota atau luar negeri.
Pada periode keduanya (2009-2014), Presiden SBY menarik Andi masuk ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Saya diajak Andi untuk ikut dengannya ke Kemenpora, yang dengan senang hati langsung saya terima.
Dua hari setelah dilantik jadi Menpora 22 Oktober 2019, di ruangan Menpora di lantai 10 Gedung Kemenpora di Senayan, Andi Mallarangeng dibantu beberapa staf kemenpora sedang mengatur tata letak barang-barang di ruang kerjanya. Hadir pula adiknya, Andi Zulkarnain Mallarangeng yang akrab dipanggil Choel.
Gaya Choel amat berbeda dengan kakaknya. Dia main perintah saja, dan Andi melihat ada kalimat-kalimat Choel yang tidak nyaman didengar staf kemenpora. Andi kemudian menengahi.
“Sudahlah Choel, kau jangan ikut-ikut mengatur,” kata Andi pada adiknya. Choel maunya membantah, tapi malah Andi menegur adiknya dengan nada lebih tinggi.” Sudahlah, kau pulang saja. Mereka lebih tau dari kau. Kau pulang dan jangan lagi datang ke sini,” kata Andi. Adiknya langsung terdiam kemudian duduk di sofa. Tak lama kemudian diam-diam dia keluar ruangan.
Struktur besar di Kemenpora terdiri dari menteri dibantu sekretaris menteri dan lima deputi setingkat dirjen. Masing-masing deputi itu memiliki 5 asisten deputi, sehingga di kemenpora total terdapat 25 asisten deputi sebagai staf eselon II. Mereka itulah penggerak roda kementerian. Ketika itu, masing-masing deputi memiliki website sendiri, ditambah tiga lainnya dari unit lain, sehingga di kemenpora saat itu memiliki 8 website.
Setelah Andi jadi menteri, dia langsung minta kedelapan website itu ditutup, digabung dalam satu website saja dengan domain www.kemenpora.go.id. Saya bersama tiga waratawan mengelola website resmi ini secara professional, menginformasikan tidak saja mengenai kegiatan menpora tapi juga para deputi dan para asisten deputi.
Saya sering mengikuti kunjungan kerja Menpora ke manapun. Dia tak pernah minta diistimewakan. Tidur di hotel tanpa bintangpun tidak menjadi persoalan. Duduk di kelas ekonomi dalam penerbangan sering kali dia lakukan. Fasilitas dan layanan yang disediakan untuk menteri kadang justru lebih sederhana dibanding untuk satu atau dua orang deputinya.
Saya pernah bertiga dengan Menpora dan ajudannya duduk berhimpitan di kelas ekonomi Lion Air, saat terbang dari Surabaya ke Mataram. Pihak protokol yang mengurusinya dan sudah lebih dahulu tiba di Mataram naik Garuda, berkali-kali minta maaf saat menjemput kami di bandara. Kata Andi, “Sudahlah, terbang pakai apa saja ya tetap bergoyang. Yang penting selamat,” katanya.
Menurut saya, Andi adalah salah satu dari sedikit menteri yang benar-benar makan gaji, tidak mencari-cari tambahan dari sumber lain. Total gaji yang diterima setiap bulan pastinya Rp. 19.400.000, ditambah uang saku perjalanan sebagaimana yang diatur Peraturan Dirjen Perbendahaan Kementerian Keuangan.
Sebagai seorang menteri dia juga diperbolehkan mengelola DOM (Dana Operasional Menteri) yang besarnya Rp 100 juta tiap bulan. Banyak menteri yang langsung mengambil DOM ini, tetapi Andi menyerahkan pengelolaan DOM kepada Tata Usaha yang dalam struktur berada di bawah Sekretaris Menteri.
DOM Menpora lebih sering digunakan untuk membelikan tiket pengurus-pengurus OKP yang tidak bisa pulang selesai mengikuti kegiatan organisasinya di Jakarta. Sering juga dipakai untuk membantu atlet-atlet yang sakit. Pihak tata usaha seringkali mengembalikan sisa DOM ke Biro Keuangan Kemenpora karena tidak habis terpakai.
Saya percaya Andi Mallarangeng bersih, karena dia tipe orang yang sudah selesai. Penghasilan resminya mungkin tidak banyak, tetapi bagi dia tidak kurang. Apalagi Fitri, istrinya, adalah seorang doktor dan juga seorang profesional. Memiliki pengahasilan yang lumayan besar.
Karena itu saya, bersama sebagian masyarakat Indonesia sangat terkejut ketika hari Kamis sore tanggal 6 Desember 2012, Abraham Samad, Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengumumkan secara resmi ditetapkannya Menpora Andi Mallarangeng sebagai tersangka kasus proyek P3SON (Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional yang berada di Desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Bagi Andi dan keluarganya penetapan ini tentu tidak mudah diterima. Malam harinya di suatu gedung di Jalan Proklamasi Jakarta, dia mengundang keluarga serta beberapa staf di Kemenpora. Saya yang baru mendarat di Jakarta dari Surabaya langsung merapat ke Jalan Proklamasi.
Di sana sudah hadir antara lain istrinya, Fitri Cahyaningsih, dua adiknya yaitu Andi Rizal Mallarangeng dan Choel Mallarangeng. Hadir pula tiga orang deputi serta dua asisten deputi dari Kemenpora. Nampak juga sespri serta beberapa orang kerabat. Tanpa bisa mengucapkan apa-apa, saya merangkul Andi. Sungguh momen yang sangat tidak saya inginkan.
Andi kemudian menjadi pusat perhatian. “Oleh KPK saya sudah ditetapkan sebagai tersangka, dan besok pagi-pagi saya akan lapor kepada Bapak Preside sekaligus menyampaikan surat pengunduran diri saya sebagai Menpora. Pukul 10.00 di kantor kita akan konferensi pers untuk menyatakan pengunduran diri saya,” katanya sambil menatap ketiga deputinya.
“Saya minta semua deputi besok ikut mendampingi saya. Kemenpora sebagai sebuah organisasi harus tetap berjalan, tidak terpengaruh oleh pengunduran diri saya. Saya mohon maaf kepada semuanya,” tambahnya.
Andi mengucapkan kalimat itu dengan tegar. Tapi agak tersendat. Seperti ada yang mengganjal di kerongkongannya. Istrinya menitikkan air mata. Juga sebagian lain yang hadir.
“Sudah begitu saja. Tapi sebelumnya saya mau nanya pada Rizal dan Choel, apakah kalian pernah terima uang dalam proyek Hambalang?” Tanya Andi pada kedua adiknya.
Rizal menggelengkan kepala. Choel pun menggeleng sambil berkata, “Demi Allah saya tidak menerima,” katanya. Baik kalau begitu, kata Andi. Kami satu persatu sekali lagi berpelukan dengan Andi. Pukul 21.30 kami semua keluar dari gedung yang persis berada di depan Patung Proklamasi itu.
Keesokan harinya, Jumat 7 Desember 2012, pagi-pagi saya sudah di kantor. Saya lihat banyak sekali orang, termasuk pegawai Kemenpora yang bergerombol di lobi lantai 1. Di bagian barat lobi ada dua ruangan untuk wartawan, salah satunya adalah ruangan yang biasa digunakan oleh menteri maupun para pembantunya menggelar konferensi pers.
Pagi itu saya lihat jumlah wartawan yang hadir jauh lebih banyak dari biasanya. Tripot untuk kamera sudah berjajar-jajar di depan podium. Rencana konferensi pers Anndi sudah menyebar dengan cepatnya. Ini berita besar. Dan langka. Seorang pejabat langsung mengundurkan diri begitu ditetapkan sebagai tersangka.
Semua berkerumum ke arah pintu lift yang berada di tengah-tengah lobi. Pukul 10.05 Andi keluar dari pintu lift sebelah timur. Hampir semua yang ada di lobi berebut ingin menyalaminya, termasuk para wartawan. Sambil berjalan ke pers room Andi bersalam-salaman dan saling menyapa, didampingi beberapa stafnya.
Di podium Andi berdiri didampingi kelima deputinya serta para staf ahli. Semua berwajah muram, kecuali Andi Mallarangeng. Dengan kalimat yang jelas dan tegas dia menceritakan pagi tadi sudah bertemu Presiden SBY untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai Menpora.
“Saya menjelaskan kepada Presiden mengenai situasi yang terkait dengan saya, dan beliau memahami penjelasan saya serta menerima pengunduran diri saya. Bagi saya jabatan adalah amanah dan pengabdian. Saya sangat ingin membantu bapak Presiden SBY untuk menjalankan pemerintahan, tapi dengan diumumkannya saya sebagai tersangka oleh KPK, saya tidak mungkin lagi menjalankan tugas-tugas saya secara efektif,” ujar Andi.
Andi mengatakan dirinya menghormati dan akan mengikuti proses hukum dari KPK terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dalam proyek Hambalang yang merugikan negara Rp 243,6 miliar.
Tidak hanya mengundurkan diri sebagai Menpora, Andi juga mengatakan dirinya telah mengundurkan diri dari jabatan sebagai sekretaris dan anggota Dewan Pembina serta sekretaris dan anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Usai konferensi pers, Andi di damping para deputi dan staf ahli segera masuk ke lift dan naik ke lantai 10. Mereka masuk ke ruang kerja Andi. Di dalam sudah ada salah seorang adiknya, Rizal Mallarangeng. Sekali lagi Andi berpamitan kepada para stafnya. Saya juga ikut duduk dalam pertemuan itu. Sebagaimana yang lain, saya juga berdiam diri tidak mengatakan apa-apa.
Setelah melalui proses pemeriksaan hampir setahun, tanggal 17 Oktober 2013 Andi ditahan di tahanan KPK Kuningan. Saya beberapa kali menjenguknya. Tanggal 10 Maret 2014, Andi menjalani sidang perdana di PN Tipikor yang juga berada di Jl. Rasuna Said Kuningan. Dari persidangan yang mengadili Andi ini akhirnya terungkap bahwa Choel menerima uang dari proyek Hambalang.
Rupanya saat Andi sebagai menpora melakukan kunjungan kerja ke daerah, Choel secara diam-diam datang ke ruang kerja kakaknya di lantai 10 kantor kemenpora. Fakta ini diungkap oleh hakim anggota Sutio Jumadi pada persidangan 11 Maret 2014.
Sutio Jumadi menyebutkan, pada sekitar bulan September-November 2010, Choel Mallarangeng mengundang, Seskemenpora Wafid Muharam, Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar dan Fahrudin staf khusus menpora.
"Dalam pertemuan tersebut Choel Mallarangeng mengatakan, “Kakak saya kan sudah setahun jadi Menteri, masak belum ada apa-apa ke saya. Tolong backup dia dong, dan jangan lupa bantu kami',” kata Sutio Jumadi membacakan BAP.
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan itu, Choel yang mengatasnamakan kakaknya akhirnya menerima uang sebesar 550 ribu Dolar AS ditambah Rp 2 milyar dari PT Global Daya Manunggal sebagai subkontraktor proyek Hambalang.
Setelah masalah ini kemudian terungkap di pengadilan, Choel segera menyerahkan uang itu kepada negara melalui KPK tahun 2013. Dalam persidangan Tipikor tanggal 22 Januari 2014 yang mengadili Kepala Biro Keuangan Dedy Kusdinar, Choel sebagai saksi mengakui dirinya memang menerima 550 ribu Dolar AS dari mantan Sesmenpora Wafid Muharam, dan Rp 2 milyar dari PT Global Daya Manunggal.
“Saya mengaku khilaf saat menerima uang itu. Kekhilafan saya adalah saya tidak pernah bicarakan dengan kakak saya, malah kemudian menyeret kakak saya. Kakak saya akhirnya guilty in association, kesalahan saya menjadi kesalahan dia. Padahal kakak saya orang jujur," jelas Choel.
Penyesalan Choel sudah tidak berarti. Akibat ketidakjujurannya, kakak sulungnya harus menebus dengan hukuman penjara empat tahun ditambah denda Rp 200 juta subside 2 bulan penjara sesuai vonis yang dijatuhkan majelis hakim Tipikor tanggal 18 Juli 2014.
Setelah divonis, Andi didampingi tim pengacara yang dipimpin Luhut Pangaribuan juga mengajukan banding. Tapi bandingnya ditolak Pengadilan Tinggi. Kemudian Andi mengajukan kasasi, juga ditolak oleh Mahkamah Agung. Majelis hakim tingkat banding dan kasasi memperkuat vonis tingkat pertama, tidak menambah atau mengurangi hukuman.
Beda dengan terpidana korupsi lainnya yang setelah mengajukan banding atau kasasi, justru mendapatkan hukuman lebih berat dari pada putusan sebelumnya, putusan untuk Andi tidak ditambah.
Dalam persidangan tingkat banding 15 Oktober 2014, majelis hakim Pengadilan Tinggi yang diketuai Syamsul Bahri memiliki alasan mengapa putusan untuk Andi beda dengan terpidana korupsi lainnya.
“Yang jadi pertimbangan kami antara lain karena secara kesatria Andi Mallarengeng langsung mengundurkan diri dari jabatan Menpora begitu ditetapkan sebagai tersangka. Hal itu kami nilai sebagai bentuk loyal dia terhadap hukum. Itu sikap kesatria yang jarang dimiliki pejabat kita, " kata Syamsul Bahri.
Tulisan ini cuma kesaksian pribadi yang sifatnya sangat subyektif, tapi setidaknya diharap dapat menghadirkan nuansa dari sisi lain. Andi Mallarangeng sudah menjalani hukuman untuk kesalahan yang menurut dia dan menurut saya tidak dia lakukan.
Bahwa ada pendapat lain, tentu juga saya hormati. Bahwa ada yang tetap berteriak koruptor kok dibela, teriakan demikian juga saya hormati. Ini hanya sisi lain dari opini yang memang sudah memberi stigma koruptor kepada Andi Alifian Mallarangeng. Dengan kesaksian saya inipun, stempel itu tidak juga akan hilang. Tapi saya percaya Andi bukan orang yang menyerah pada stigma. (M. Anis)
Advertisement