Mengapa Remaja Bisa Membunuh?
Oleh: Djono W. Oesman
Pembunuhan ini membuat para orang tua prihatin. Tersangka anak, AP, 14, membunuh lalu memperkosa jenazah LS, 12. Mereka satu sekolah di sebuah SMP di Bengkalis, Riau. Pelaku adalah kakak kelas korban. Motifnya memperkosa.
—----------
MESKI kejadian di lokasi desa yang sepi, tapi menyimak usia pelaku yang masih tergolong remaja awal, sangat sadis. Lokasinya di Jalan Lintas Duri-Pekanbaru, RT 003 RW 004 Kelurahan Balai Raja, Kecamatan Pinggi, Kabupaten Bengkalis.
Kapolres Bengkalis, AKBP Setyo Bimo kepada wartawan mengatakan, pelaku sudah ditangkap dan ditahan untuk pemeriksaan. Sedangkan proses penyidikan masih dikonsultasikan dengan pihak terkait, sebab pelaku tergolong di bawah umur.
Berdasar pengakuan tersangka AP kepada penyidik, kronologi kejadian sangat singkat. Namun polisi masih menggali keterangan dan bukti-bukti yang ada. Kronologinya begini:
Sabtu, 2 September 2023 siang. SMP di tempat pelaku dan korban bubar. Semua siswa pulang. AP dan LS bertemu di tengah jalan desa di kawasan semak belukar.
AKBP Setyo Bimo: “Tersangka mengaku, mendadak ia bernafsu seks terhadap korban. Lalu tersangka menyeret korban ke semak-semak diajak berhubungan seks. Tapi korban ketakutan, berontak, melawan.”
Terjadi pergulatan di semak. Pelaku membanting lalu mencekik korban di tanah. Korban tetap berusaha keras berontak, melawan.
Akhirnya pelaku memukul kepala korban dengan sebatang kayu. Belum diumumkan, apakah kayu itu sudah ada di lokasi kejadian atau sudah disiapkan pelaku. Sebatang kayu itu berujung runcing.
Maka, ujung runcing ditusukkan ke kepala korban dengan keras. Menancap. Darah menyembur ke mana-mana. Pelaku mengakhiri pergulatan dengan mencekik sampai korban tak bergerak lagi.
Kemudian pelaku memperkosa korban yang sudah tidak bergerak. “Sebanyak dua kali,” ujar Kapolres Bengkalis.
Usai memperkosa, pelaku menyeret tubuh korban masuk lebih dalam ke semak. Pelaku kabur, pulang.
Sorenya, di hari itu juga, orang tua korban mencari anak mereka. Mendatangi rumah teman-teman LS, menanyakan keberadaan LS. semua yang didatangi mengatakan, hari itu LS masuk sekolah, pulang seperti biasa.
Ortu LS kemudian minta bantuan para tetangga, mencari LS. Hari sudah gelap. Mereka dengan penerangan senter, melacak jalan yang biasa dilewati LS setiap pulang sekolah.
Pukul 21.20 malam itu juga, warga menemukan LS tergeletak di semak. Masuk sekitar lima meter dari jalan desa. Mereka perkirakan LS sudah meninggal, dengan kepala tertancap kayu. Warga lapor polisi.
Polisi tiba di TKP. Melakukan olah TKP. Jenazah LS dikirim ke RS untuk otopsi.
Hasil otopsi, LS meninggal akibat cekikan. Tapi, tikaman kayu membantu pelaku mencekik korban lebih keras.
Hasil lain, memang terjadi perkosaan pada korban. Tapi pada dubur. Entah pelaku usia 14 itu belum mengerti, atau ia memang menyasar itu. Belum diungkap polisi.
Jenazah dimakamkan esoknya. Polisi segera mengidentifikasi terduga pelaku, yang langsung ditangkap di rumah pelaku di Kelurahan Balai Raja, Kecamatan Pinggir.
Remaja pria usia segitu memang rata-rata sudah aktif seksual. Tepatnya di tahun awal aktif seksual. Tapi keberanian memperkosa, bahkan membunuh dengan cara begitu, sangat jarang. Walaupun, belakangan ini jumlah remaja pelaku pembunuhan terus naik.
Mengapa remaja pria membunuh? Bagaimana menandai remaja pria berpotensi membunuh? Belum ada riset tentang itu di Indonesia.
Pengetahuan tentang itu penting, mencegah remaja jadi pembunuh. Sekaligus warning bagi calon korban.
Prof Jill Riethmayer dalam bukunya berjudul, Inside the Heart of a Teenage Killer:
What Kids Need in Order to Not Have to Kill (2004) mengulas itu dari sudut pandang psikologi pelaku.
Buku itu hasil riset psikologi-kriminologi terhadap sembilan remaja pria Amerika Serikat (AS) pelaku pembunuhan. Di antara mereka ada duet pembunuh berantai Eric David Harris dan Dylan Bennet Klebold.
Eric kelahiran 9 April 1981, Dylan 1 September 1981. Mereka sesama pelajar SMA di Columbine High School, Jefferson, Colorado, AS. Mereka melakukan pembantaian di sekolah mereka pada 20 April. 1999. Saat usia mereka 18. Mereka tewas ditembak polisi di tempat kejadian.
Dalam buku Prof Riethmayer, duo pembunuh itu diriset melalui wawancara dengan keluarga dan teman dekat mereka. Sedangkan, terhadap tujuh responden lain melalui riset dan wawancara terhadap pelaku.
Prof Riethmayer adalah guru besar ilmu psikologi di Psychology Department, Blinn College, Texas.
Disebutkan, problem individu bagi setiap pembunuh adalah perjuangan untuk mendapatkan rasa percaya diri yang kuat. Tepatnya, harga diri atau citra diri yang baik di mata masyarakat.
Semua remaja pria secara instingtif butuh kepercayaan diri yang kuat. Kepercayaan itu muncul dari hasil citra diri yang dianggap baik oleh teman sebaya mereka. Ini adalah kebutuhan dasar psikologis semua manusia. Sama halnya dengan kebutuhan dasar fisik manusia, yaitu makan dan minum.
Bagi remaja yang tidak mendapatkan kebutuhan dasar psikologis itu, tidak selalu jadi pembunuh. Lebih banyak yang tidak membunuh, dibanding jadi pembunuh. Tapi semua pembunuh yang diriset, tidak punya kepercayaan diri yang kuat. Akibat citra diri yang buruk di mata teman sebaya.
Kemudian, Riethmayer membikin lima dasar sebagai akar kekerasan yang ada pada kondisi psikologi pembunuh, Yakni: Pengabaian. Rasa malu. Kehilangan yang tidak disesali. Depresi. Kemarahan.
Ditarik garis mundur, semua bayi pria butuh enam kebutuhan dasar. Yakni, butuh penegasan atau validasi. Butuh sosok idola yang jadi panutan. Butuh punya kembaran atau sosok yang ia anggap setara dengan dirinya. Butuh pesaing dengan teman. Butuh perilaku yang berdampak. Butuh sahabat.
Kebutuhan psikologis itu melekat sejak bayi sampai akhir hayat. Enam kebutuhan dasar psikologis itulah yang membentuk lima kebutuhan dasar di saat pria tumbuh sebagai remaja.
Jika salah satu dari kebutuhan dasar itu tak terpenuhi, maka terjadi kekurangan psikologis. Ada yang lowong. Ibarat sistem mesin, ada komponen yang tidak berfungsi. Orang Jawa menyebutnya: Mesin jadi pincang atau dingklang (terseok-seok).
Tapi, lagi-lagi Riethmayer menyebutkan, tidak semua remaja pria yang kekurangan kebutuhan dasar psikologis itu otomatis jadi pembunuh. Sebaliknya, semua pembunuh yang diriset, tidak punya kebutuhan dasar psikologis itu.
Semua kebutuhan dasar psikologis itu mengerucut pada satu yang paling utama: Harga diri. Berarti, dari sudut pandang masyarakat, atau teman sebaya. Yang dipersepsikan oleh individu bersangkutan.
Orang yang merasa dirinya dihargai orang lain, ia mendapatkan kebutuhan dasar psikologis. Walaupun ada pula orang yang sudah dihargai masyarakat, tapi ia merasa tidak dihargai. Golongan terakhir ini termasuk mereka yang tidak punya kebutuhan dasar psikologis.
Dalam kehidupan manusia, harga diri awalnya didapat dari ortu. Ayah dan ibu. Jika sejak lelaki lahir tidak dihargai ortu, maka jelas ia sudah kehilangan harga diri sejak bayi.
Pada perjalanan usia selanjutnya, ia jadi merasa tidak percaya diri. Akibatnya, setelah ia remaja dan sudah dihormati orang lain, tapi ia merasa tidak dihormati sebagai individu.
Pria golongan inilah yang jadi pembunuh pada semua pembunuh yang diriset Riethmayer.
Jadi, intinya karakter pembunuh sudah tercetak sejak bayi. Melalui pengasuhan keluarga atau wali. Cuma, ortu atau wali tidak menyadari, apalagi bagi individu yang bersangkutan. Tiba-tiba jadi pembunuh.
Repotnya, Riethmayer menyatakan, tidak ada tanda-tanda fisik khusus pada individu yang kekurangan kebutuhan dasar psikologis. Penampilan fisiknya sama saja dengan remaja normal. Gaya dan perilakunya juga sama. Tapi secara psikologis ia merana. Ada kekosongan kebutuhan dasar psikologis. Dan, ia orang berbahaya.
Pastinya, pada kasus pembunuhan di Bengkalis penyidik tidak mengungkap faktor latar belakang psikologis pembunuhan. Sebab, hal itu memang bukan tugas penyidik.
Pada dasarnya semua manusia dilahirkan suci dan pasti berperilaku baik di tahun-tahun awal kehidupan (bayi). Seiring berjalan waktu, kebaikan bisa berubah jadi kejahatan. Tergantung bagaimana ia diasuh di usia dini.