Mengapa Ploso Mendukung Gus Ipul-Mbak Puti?
Barangkali banyak yang bertanya-tanya tentang langkah Masyayikh Al Falah Ploso Kediri Jawa Timur yang terang-terangan menampakkan diri memberikan dukungan pada Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur, Gus Ipul-Mbak Puti dan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Ganjar-Gus Yasin - putra dari seorang Kyai sepuh nan masyhur, SiMbah Kyai Maimoen Zubair.
Tak tanggung-tanggung, seluruh masyayikh Al Falah Ploso, mulai dari KH. Zainudin Djazuli, KH. Nurul Huda Djazuli, KH. Fuad Mun'im Djazuli dan para dewan kawagis (gus-gus) tampak hadir menyambut kedatangan "Cicit Pendiri NU dan Cucu Pendiri NKRI", Selasa (6/2/2018) kemarin.
Kyai Dah (panggilan akrab KH. Nurul Huda) menyampaikan dawuh di depan ribuan santrinya jika masyayikh Ploso untuk Jawa Tengah menginstruksikan untuk mendukung pasangan Ganjar-Gus Yasin dan Jawa Timur pasangan Gus Ipul-Mbak Puti.
Lantas kenapa kali ini Ploso dengan begitu terang-terangkan menyatakan dukungan? Bahkan dukungan tersebut banyak bertebaran di media sosial, online dan lainnya? Bukankah Al Falah adalah lembaga pendidikan pondok pesantren yang seharusnya netral dan independent dari unsur-unsur yang berbau politis?
Jangan salah. Ploso memang bukan lembaga politik. Tapi Ploso dihuni oleh orang-orang yang memiliki hak politik dan diatur serta dilindungi oleh undang-undang. Dan salah satu kewajiban dari warga negara yang baik adalah memberikan hak politiknya pada saat pesta demokrasi berlangsung. Mulai dari Pilpres, Pilgub, Pilkada dan pil-pil yang lainnya.
Sebagai seseorang yang pernah nyantri di sana, saya percaya pilihan atau dukungan nyata dari pada Masyayikh ini sudah melalui proses yang panjang. Baik proses penelahan lapangan secara menyeluruh maupun proses-proses yang bersifat spiritual semisal mujahadah, istikhoroh dan lain sebagainya.
Lalu apakah tidak terlalu berisiko bagi keberlangsungan pondok pesantren? Dan bagaimana jika ternyata pasangan yang didukungnya tersandung masalah hukum?
Begini, sebagai sebagai seseorang yang pernah mengecup samudera ilmu di sana, kita sama-sama yakin jika para Kya-Kyai Ploso secara ke seluruhan mampu menerawang berbagai dimensi. Bahkan yang tidak bisa diukur oleh akal dan logika sekalipun. Contoh, selama dua periode pasangan Pakde Karwo dan Gus Ipul memimpin Jawa Timur, Ploso terlibat aktif mendukung pasangan itu. Sampe ke duanya mulus menahkodai Jawa Timur. Dan selama dua periode memimpin Jawa Timur, ke duanya tidak pernah berurusan dengan hukum. Diciduk KPK seperti Gubernur Jambi Zumi Zola, misalnya. Ini adalah bukti jika penelaahan baik secara lahir maupun batin para Masyayikh Ploso itu sangat-sangat luas.
Pada Pilgub Jatim sebelumnya, jika boleh saya menelaah, dukungan Ploso sejatinya bukan untuk Pak Karwo. Melainkan Gus Ipul. Kenapa demikian? Relasi hubungan antar pesantren salaf. Diakui atau tidak meski bukan lembaga politik, pondok-pondok salaf di Indonesia, wabil khusus di tanah Jawa adalah kunci pemegang kendali perpolitikan di Indonesia. Gus Ipul adalah cicit dari salah seorang Kyai pendiri NU dan pendiri Pondok Pesantren Mambaul Ma'arif Denanyar Jombang, Al Magfurlah KH. Bisri Syansuri. Sebagai bagian dari NU, Ploso dan Denanyar memiliki kedekatan emosional yang tak bisa diejawantahkan.
Banyak putra-putra dari pondok Denanyar yang mondok di Ploso. KH. Abdussalam Sohib salah satunya. Begitupun sebaliknya. Tak sedikit pula generasi-generasi Ploso yang menimba ilmu di Pondok Denanyar. Bahkan hubungan ke dua pondok salaf itu diperkuat dengan hubungan pernikahan. Gus Salam --sapaan akrab KH. Abdussalam Sohib mempersunting Neng Neli, putri dari salah seorang Kyai Nyentrik, Masyayikh Polosi Pendiri Pondok Pesantren Queen Al Falah, Alm. Al Magrfurlah KH. Munif Djazuli.
Lantas untuk pasangan Ganjar-Gus Yasin? Jawabannya kurang lebih sama. Relasi hubungan antar pesantren. Kita tahu Gus Yasin adalah putra dari seorang Kyai Sepuh, SiMbah Kyai Maimoen Zubair Pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang Rembang Jawa Tengah. Mbah Moen adalah sosok yang sangat-sangat dihormati dan ditakdzimi di kalangan ulama-ulama pesantren salaf. Termasuk Masyayikh Ploso. Tentu dukungan tidak tertuju pada Ganjar, melainkan Gus Yasin. Hanya karena ke duanya sudah menyatu, maka dukungan Ploso menjadi ke duanya.
Akhir-akhir ini siklus politik di Indonesia sedang mengarah pada arus yang tidak sehat. Pasca kisruh politik dalam rangkaian Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu yang kental dengan masalah SARA, politik identitas identitas di Indonesia semakin menguat. Teringat politik Indonesia diawal-awal kemerdekaan, Masyumi, PKI, PNI, bahkan NU (Nahdlatul Ulama) pun sempat terlibat disiklus pokitik tanah air kala itu dengan menjadi PNU yang amat kuat di arah politik identitas.
Politik identitas adalah nama untuk menjelaskan situasi yang ditandai dengan kebangkitan kelompok-kelompok identitas sebagai tanggapan untuk represi yang memarjinalisasikan mereka di masa lalu. Identitas berubah menjadi politik identitas ketika menjadi basis perjuangan aspirasi kelompok (Bagir, 2011: 18).
Dan saya pribadi yakin Masyayikh-Masyayikh Ploso juga paham dan sadar betul dengan kondisi tersebut. Tanggungjawab moral yang luar biasa besar beliau-beliau adalah mengembalikan siklus politik di Indonesia menjadi sehat kembali. Dan kali ini Ploso benar-benar turun gunung untuk memperlihatkan pengaruhnya.
Sebagai seseorang yang pernah nyantri di sana, sami'na waato'na (manut dan taat) pada perintah Kyai-Kyainya adalah ideologi utama. Sebab relasi hubungan santri dan Kyai tidak semata soal hal-hal yang bersifat syar'i. Tapi kehidupan secara utuh. Keyakinan adalah kunci utamanya. Mati urip melu dawuhe Kyai. Jangankan untuk sekadar memberikan hak suara untuk pasangan Gus Ipul-Puti di Jatim dan Ganjar-Gus Yasin di Jateng, bahkan jika nyawa diminta sekalipun akan kita berikan. Dan untuk pasangan Gus Ipul-Puti dan Ganjar-Gus Yasin, jangan pernah mencoreng kepercayaan Masyayikh Ploso.
Penulis: Imam Mudofar.
Alumni Pondok Pesantren Queen Al Falah Ploso.
Ketua Umum Pengurus Pusat AL AQSA (Alumnus Al Falah Queen Silatul Arham)