Mengapa Mahasiswa Ditelanjangi di Kampus?
Oleh: Djono W. Oesman
Heboh di Universitas Gunadarma, Depok. Mahasiswa M, 22 tahun, diikat di pohon area kampus, ditelanjangi, diminumi air kencing, diunggah ke medsos. Diduga ia melecehkan mahasiswi kampus itu juga.
-----------
Itu trending di medsos. Pihak rektorat turun tangan, mengamankan M. Sebelum digebuki lebih parah. Lalu diserahkan ke polisi.
Tindak main hakim sendiri, mengapa terjadi? Apakah penegakan hukum pelecehan seks di Indonesia kurang tegak? Ataukah fenomena perilaku barbar generasi muda?
Konstruksi kejadian. Diunggah beberapa akun, Instagram dan Twitter. Isinya mirip dengan gaya bercerita berbeda-beda. Narasumber mahasiswi korban pelecehan. Dirangkum begini:
Terduga pelaku M dan korban sama-sama kuliah di Kampus G, Universitas Gunadarma. Mereka saling kenal.
Jumat 2 Desember 2022 pukul 10.27 tiba jam istirahat. Korban jalan ke Kampus E, karena di situ ada kantin, ia menuju kantin. Ternyata kantin penuh antrean. Ia batal ke kantin. Balik lagi ke Kampus G.
Pukul 11.40 HP korban menerima pesan dari M. Isinya mengajak ketemuan di Kampus G. Tidak dibalas korban. Tapi posisi korban tetap di Kampus G.
Pukul 12.01 M lewat di koridor Kampus G, kebetulan ketemu korban. Mereka ngobrol di dekat pintu. Lalu M mengajak korban ke Gedung G112. Korban ikut. Arahnya ke toilet.
Di bawah tangga, dekat toilet, mendadak M memepet korban ke tembok. Lalu M mencium korban. Spontan, korban berontak sehingga lolos dari pepetan tembok.
Korban mengumpat sengit: "Apaan sih... Goblok, ngga jelas banget. Tolol...."
M ketawa, menjawab: "Sekali-kali aja." Korban segera menyingkir, menjauhi M. Rangkaian kejadian selesai.
Di hari-hari berikutnya, beredar cerita itu di medsos. Kian lama kian banyak akun medsos yang mengunggahnya. Bahkan, disebutkan identitas pelaku, lengkap dengan fakultas dan tingkatan semester. Lama-lama viral.
Senin, 12 Desember 2022 pukul 15.00 di dalam kampus, terjadi kerumunan mahasiswa. Ternyata, terduga pelaku M sudah terikat di sebuah pohon. Pakaiannya dilucuti para mahasiswa. Satu per satu. Sampai celana dalam pun di lepas.
M dipaksa minum air kuning dalam botol, yang katanya air kencing. Mungkin ini menirukan kejadian serupa di Mabes Polri beberapa waktu lalu. M disoraki ramai-ramai.
Lalu, pihak rektorat mengamankan M. Ditahan sementara di pos Satpam, agar tidak dihakimi massa. Lantas, diserahkan ke Polres Depok.
Ada tenggang sepuluh hari, antara kejadian pelecehan seks M terhadap mahasiswi, dengan M ditelanjangi ramai-ramai. Karena tidak ada penyelesaian kasus. Ke mana pihak rektorat?
Melalui siaran pers, Rabu, 14 Desember 2022, Wakil Rektor 3 Universitas Gunadarma, Irwan Bastian, menuliskan: Mengakui, bahwa terduga pelaku dan korban sama-sama mahasiswa-i Gunadarma. Bahkan ada dua pelaku dan tiga korban, semuanya mahasiswa situ.
Dituliskan di siaran pers, begini:
"Di Minggu kemarin (11 Desember) bidang Kemahasiswaan proaktif membangun komunikasi dengan korban pertama."
Minggu, 11 Desember 2022 sekitar pukul 16.30 WIB hingga 19.45 WIB di Kampus E Universitas Gunadarma bidang Kemahasiswaan, memanggil terduga pelaku pertama. Untuk klarifikasi.
Senin, 12 Desember 2022 siang bidang Kemahasiswaan berkomunikasi dengan korban kedua dan ketiga. Tujuannya juga untuk klarifikasi.
Senin, 12 Desember 2022 pukul 15.00 di Kampus E, terduga pelaku diikat di pohon, ditelanjangi ramai-ramai.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Endra Zulpan menjawab pertanyaan wartawan, Rabu 14 Desember 2022 mengatakan, kasus pelecehan seksual di Universitas Gunadarma sudah berakhir damai. Korban tidak melaporkan pelaku ke polisi. "Karena korban malu," ujarnya.
Dari kronologi itu, kelihatan tindak main hakim sendiri akibat sepuluh hari kasus ini tanpa penyelesaian. Jadi liar di medsos. Berakhir begitu.
Tindak main hakim sendiri disebut Vigilante. Dari Bahasa Portugis, artinya penjaga. Kemudian berkembang, orang yang menjaga untuk mengamankan sesuatu disebut Vigilantos.
Dikutip dari makalah ilmiah Department of Psychology, University of Illinois, Amerika Serikat (AS), 22 Maret 2022 bertajuk: "Vigilantism is an identity for some people, researchers report", memuat riset tentang Vigilante.
Riset dilakukan tim pakar, dipimpin kandidat doktor psikologi University of Illinois, Fan Xuan Chen pada 2021 di AS, Selandia Baru dan India. Negara-negara itu dipilih, dianggap mewakili budaya Barat dan Timur.
Fan Xuan Chen: “Kami mengembangkan alat, skala identitas main hakim sendiri, atau VIS (the Vigilante Identity Scale), untuk menilai sejauh mana orang mengadopsi identitas main hakim sendiri,”
Pelaku Vigilante melihat diri mereka sebagai penghukum dan pemantau lingkungan. Biasanya, mereka bermoral baik. Sehingga berani menghukum orang lain bermoral buruk, yang tidak atau belum dihukum oleh aparat hukum yang sah.
Para peneliti mengevaluasi efek dari identitas main hakim sendiri dalam studi terpisah di Selandia Baru, India, AS, dan dalam survei online. Temuan termasuk langkah-langkah yang dilaporkan sendiri dan pengamatan anggota rumah tangga dekat (dalam studi Selandia Baru) dan majikan (di India).
Alhasil, sekitar satu dari lima orang sangat mendukung identitas main hakim sendiri. Atau sekitar 20 persen responden sangat mendukung tindakan main hakim sendiri. Dengan catatan, pelaku pelanggar moral tidak segera (atau belum) diberi sanksi hukum yang sah.
Bentuk hukuman terhadap pelaku pelanggar moral, dari hampir semua responden, adalah mempermalukan si pelanggar. Berupa sanksi lisan, bullying di medsos. Hanya sebagian kecil yang setuju hukuman fisik.
Di negara-negara yang diriset, semuanya melarang Vigilante. Tindakan main hakim sendiri, adalah illegal di semua negara tersebut. Kendati, masyarakat di sana masih main hakim sendiri, jika suatu pelanggaran moral tidak segera ditindak.
Juga, masyarakat responden menyatakan, akan main hakim sendiri jika mereka menilai, hukuman sah yang dijatuhkan kepada pelanggar hukum, dinilai masyarakat terlalu ringan. Sehingga tidak menimbulkan efek jera. Di sini, muncul rasa keadilan masyarakat.
Tapi, itu sekadar riset. Di negara yang jauh. Jauh lokasi, jauh budaya.
Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir muncul pembelaan terhadap kaum wanita yang dilecehkan pria. Mungkin, terpengaruh Gerakan Me Too, yang dimulai di AS, Oktober 2017. Atau karena faktor lain, yang belum pernah diriset.
Kendati, pemerkosa sembilan santriwati, pengasuh ponpes, Herry Wirawan, sudah divonis hukuman mati. Hukuman maksimal. Tapi, untuk korban wanita dewasa, masih belum maksimal. Apalagi, sanksi untuk pelaku begal payudara, yang dinilai 'lebih remeh' dibanding perkosaan.
Betapa pun, kasus Gunadarma jadi kejutan kampus. Bisa menimbulkan berbagai komentar.
*) Penulis adalah Wartawan Senior