Mengapa Interpol Tolak Permohonan Polri?
SAYA menulis di akun Facebook menanggapi penolakan Interpol, badan kerjasama kepolisian internasional yang juga disebut sebagai National Central Bureau atau NCB, yang berpusat di Lyon, Perancis, dan memiliki sekretariat nasional di negara-negara yang menjadi anggota-anggotanya atas permohonan “Red Notice” untuk penangkapan (arrest warrant) terhadap seorang WNI yang berada di luar negeri.
Hari ini (16/6) beredar kabar, karena permohonan ‘Red Notice” ditolak maka Polri mengganti permohonan ini menjadi “Blue Notice”. Bila berita ini benar, maka kemasygulan, kesedihan, rasa-malu saya sebagai WNI atas tindakan ‘amateurism’ lembaga penegak hukum semakin bertambah.
Sebelum kita masuk ke substansi, saya ingin memberi penjelasan pengantar dulu. Di dalam artikel yang menjadi viral sebelumnya berjudul “Amateurism”, saya mengenalkan diri sebagai orang yang sedikit mengenal apa itu “Interpol/NCB”. Beruntung, dalam perjalanan karir di pemerintahan saya berhubungan dengan kelembagaan Interpol, baik dalam kapasitas saya menjadi Ketua Delegasi RI dalam berbagai perundingan kerjasama penanggulangan terorisme dan kejahatan-terorganisir, maupun ketika bertugas di PBB New York, di mana Interpol/NCB setiap tahunnya melaporkan kegiatannya ke PBB, sebagai tanggung-jawab pelaksanaan mandatnya secara transparan.
Tentu saja, dalam pekerjaan di pemerintahan ini saya juga erat berhubungan dan bekerjasama dengan Polri, termasuk yang ditugaskan di Sekretariat Nasional Interpol/NCB yang berada di Markas Besar Polri. Transparansi organisasi-organisasi internasional — PBB dan berbagai organ-organ yang berada di bawahnya atau berafiliasi maupun dibentuk berdasarkan resolusi PBB—menjadi ulasan kedua nanti.
Interpol/NCB mengeluarkan berbagai ‘notice’ atau pemberitahuan kepada dunia mengenai status kriminal seseorang — baik yang masih hidup maupun sudah mati — dalam berbagai tingkatan dan jenis, namun tanpa mengubah jenis kejahatan apa saja yang menjadi yurisdiksi lembaga penegak hukum. ‘Interpol Notice’ adalah pemberitahuan internasional yang dikeluarkan oleh Interpol tentang informasi mengenai kejahatan, penjahat dan ancaman yang dikeluarkan oleh anggota-negara kepada mitranya di seluruh dunia.
Informasi yang disebarkan ke seluruh dunia melalui jaringan Interpol (juga melalui website) mengenai orang-orang yang dicari karena kejahatan serius, orang yang hilang, jasad yang tak-terindikasi, kemungkinan ancaman, pelarian dari penjara dan kriminal dan rencana kejahatan.
Untuk memperjelas berbagai kejahatan dalam tingkatan dan jenis yang dengan mudah dipahami, Interpol mengeluarkan identifikasi dalam warna berbeda-beda: merah, biru, hijau, kuning, hitam, oranye dan ungu. Yang paling populer tentu saja yang berwarna merah, atau “Red Notice”, seperti yang dimohonkan oleh Polri kepada Interpol baru-baru ini. Sebagai tambahan, atas permintaan Dewan Keamanan PBB, Interpol yang disebut ‘special Notice’.
“Notice” dterbitkan oleh Interpol sendiri atau atas permintaan negara-negara anggota NCB, atau atas permintaan khusus PBB atau Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Penerbitan status ‘notice’ ini dimuat di website, atas permintaan. “Notice” ini diterbitkan atas kondisi hukum dan memenuhi prosedur.
Sesuai Konstitusi Interpol, terlarang menerbitkan ‘notice’ dari kegiatan bersifat politis, militer, keagamaan, atau berkarakter rasial. Untuk itu, Interpol berhak menolak penerbitan ‘notice’ yang dipandang kontroversial atau bisa menimbulkan risiko bermasalah di kemudian hari. Menjadi pertanyaan kita apakah pencarian WNI karena perbuatan pidana —semisal memang memenuhi unsur-unsur KUHP/KUHAP— qualified dalam kategori ini?
Dari ‘Red’ menjadi ‘Blue’ apa masih ada warna-warna lain, dan apa makna ragam warna yang digunakan Interpol untuk penerbitan ‘notice’?
Warna merah (Red Notice), berarti mencari lokasi dan penangkatan terhadap seorang yang dicari-cari dalam yurisdiksi hukum atau peradilan internasional untuk diekstradisikan ke negara tersebut.
Warna biru (Blue Notice), berarti mencari, mengidentifikasi atau memperoleh informasi tentang orang-orang yang dicari dalam investigasi kriminal.
Warna hijau (Green Notice), berarti mempepringatkan tentang kegiatan kriminal seseroang, jika dia digolongkan sebagai ancaman yang dapat membahayakan keselamatan publik.
Warna kuning (Yellow Notice), berarti mencari orang yang hilang atau mengidentifikasi seseorang yang tidak mampu mengenal dirinya sendiri.
Warna hitam (Black Notice), berarti mencari informasi tentang penemuan jasad tubuh manusia yang tidak teridentifikasi.
Warna oranye (Orange Notice), berarti memperingatkan suatu kejadian, individu, atau obyek yang dipandang menjadi ancaman dan bahaya bagi orang-orang atau suatu properti.
Warna ungu (Purple Notice), berarti informasi tentang suatu rencana, prosedur, obyek, peralatan atau tempat sembunyi yang digunakan oleh penjahat.
Terakhir warna biru PBB (UN Special Notice) berarti menginformasikan kepada seluruh anggota Interpol tentang seseorang atau entitas yang terkena sanksi PBB.
Jadi, jika permohonan ‘Blue Notice” diajukan Polri sebagai ganti dari penolakan “Red Notice” untuk mencari, mengidentifikasi atau memperoleh informasi tentang WNI yang dicari dalam investigasi kriminal dengan harapan akan dipenuhi Interpol maka Indonesia keliru. Masalah ini diluar karakter kasus-kasus yang ditangani Interpol. Jelas itu.
Di dalam artikel saya di Facebook, saya menjelaskan tentang yurisdiksi hukum terhadap berbagai kejahatan yang ditangani oleh Interpol. Yang ecek-ecek dan remeh-temeh tentu ditolak. Ditolak atau diterima tidak ditentukan oleh subyektifitas, tetapi dalam Konstitusi Interpol sendiri, yang dengan tegas menyebutkan bahwa yang menjadi yurisdiksi dan kompetensi Interpol adalah jenis-jenis kejahatan bersifat terrorism, crimes against humanity, environmental crime, genocide, war crimes, organized crime, piracy, illicit traffic in works of art, illicit drug production, drug trafficking, weapons smuggling, human trafficking, money laundering, child pornography, white-collar crime, computer crime, intellectual property crime, and corruption. [atau terorisme, kejahatan kemanusiaan, kejahatan lingkungan, genosida, kejahatan perang, kejahatan terorganisir, bajak laut, perdagangan tidak-sah karya seni, produksi gelap narkotik, perdagangan gelap narkoba, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia, pencucian uang, pornografi anak, kejahatan perbankan, kejahatan komputer, kejahatan dalam hak intelektual, dan korupsi].
Di luar kategori kejahatan ini, teman-teman di PBB bilang “non-starter”, alias akan ditolak begitu diajukan. Jelas.
Apakah private-chatting antar-manusia termasuk dalam yurisdiksi Interpol? Tentu saja tidak, meskipun yang memintakan ‘Notice’ itu Dewan Keamanan PBB. Kenapa? Karena karakter aktifitas chatting tidak termasuk dalam yurisdiksi Interpol. Pure and simple!
Tentu saja, setelah menerima pengaduan maka Interpol akan memroses kasus yang diajukan. Apabila cacat prosedural (seperti terbukti bertentangan dengan KUHAP dalam konteks alat bukti tidak-sah, maka ini mempermalukan kita.
Mengapa Interpol tidak mau bertoleransi sedikit dan menghargai request Interpol/NCB Indonesia? Pertama, ini bukan pekerjaan main-main, Bung. Interpol yang setiap tahunnya menangani pencarian ribuan kasus pencarian orang bukan kurang kerjaan untuk menampung-nampung monitoring aktifitas pribadi manusia yang bahkan bisa dikualifikasi suatu kejahatan, dalam konteks mengganggu privasi dan kebebasan manusia (freedom of individual and civil liberties) yang menjadi masalah besar di negara-negara maju. Kita faham atas sensitivitas masyarakat Barat terhadap isu ‘individual or civil liberties’ yang tidak ada toleransi.
Kedua, sebagai organisasi internasional yang bertanggung-jawab kepada PBB dan negara-negara anggota Interpol harus menjaga netralitas sebaik mungkin, dan karena itu terlarang melakukan intervensi pada kasus-kasus pengaduan menyangkut kegiatan-kegiatan politik, militer, agama, berunsur rasial atau melibatkan diri sendiri di dalam sengketa perihal ini. Dalam pelaksanaan tugasnya, Interpol wajib menjaga dan bertanggungjawab secara prosedural karena menyangkut transparansi dalam penyelenggaraan mandat.
Ini bukan soal enteng. Negara anggota berhak menggugat pejabat-pejabat di organisasi internasional yang bujetnya dibayar dengan iuran negara-anggota apabila suatu organisasi internasional seperti Interpol tidak secara ketat berpegang pada Konstitusi dan semua prosedur yang telah ditetapkan sebagai ketentuan mengikat.
Dalam artikel saya di Facebook, keberatan saya berkaitan dengan citra Indonesia yang kian buruk dengan insiden ini. Citra positif yang dibangun Indonesia melalui diplomasi bahwa “Indonesia adalah negeri di mana Islam, demokrasi, dan pembangunan berjalan bergandengan-tangan” menjadi hancur lebur tidak saja di Islamic World tetapi di tingkat dunia, karena masalah ini menyangkut seorang ulama Islam, di samping cacat prosedural (KUHAP) tadi.
Citra sebagai negeri demokrasi terbesar ketiga pun akan dipertanyakan dunia. Citra sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia pun telah tergadai. Citra sebagai negara hukum apalagi. Citra sebagai negeri yang berniat membangun negeri dalam asas ‘good governance’ pun akan sirna.
Bahwa negara melindungi segenap rakyat Indonesia dan perlindungan WNI sepenuhnya di luar negeri sebagai salah satu prioritas politik luar negeri sekarang pun akan diragukan rakyat. Rakyat —terutama TKI, TKW—akan mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memberikan perlindungan terbaik kepada mereka.
Apakah pengajuan kembali “Blue Notice” tidak akan berujung pada penolakan Interpol kembali? Terus mau ke mana negeri ini dibawa?
Apakah kita membiarkan citra negeri indah ini hancur-lebur karena penanganan masalah-masalah menyangkut hubungan internasional yang amatiran dan asal-asalan? Begitukah cara kerja dengan asas profesionalisme yang ingin kita bangun? Dalam artikel terdahulu saya bertanya apakah kita membiarkan citra Indonesia sudah menjadi Korea Utara? Apakah kita membiarkan masalah ini menjadi kampanye orang-orang dan LSM atau organisasi advokasi yang memang kerjanya menjelek-jelekkan nama baik Indonesia?
Apakah kita sudi, negeri ini dianggap internasional sebagai Gulag yang dikutuk oleh Dr. Zhivago di zaman kebengisan tsar Rusia sebelum kemenangan rejim komunis Bolshevik Rusia di tahun 1917? Atau Indonesia digambarkan seperti karya George Orwell “1984” di mana rejim otoriter memata-matai rakyatnya yang tinggal di ‘animal farm’ dan ‘big brother is watching’ seperti yang kita alami di masa-masa lampau?
Yang paling berat adalah kehilangan kepercayaan rakyat yang sangat mahal ongkosnya. Dan, banyak pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan kepada pemerintah karena kejadian ini malah mempermalukan diri sendiri dan menjatuhkan nama baik Indonesia dalam pergaulan bangsa-bangsa terhormat. (Jakarta, 17 Juni 2017)
*) Penulis adalah pensiunan diplomat karir. Pernah menjadi Kepala Perwakilan RI di PBB dan mantan wartawan.