Mengapa Hak Politik Koruptor Tidak Dicabut?
Oleh: Djono W. Oesman
Terbukti korupsi, eks Bupati Tabanan, Ni Putu Eka Wiryastuti divonis Pengadilan Tipikor Denpasar, penjara dua tahun. Hak politik tidak dicabut. Jaksa KPK banding, Senin, 29 Agustus 2022.
---------
Jubir KPK, Ali Fikri kepada pers, Senin, 29 Agustus 2022 mengatakan, vonis hakim itu tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Terutama, di saat Indonesia berupaya memberantas korupsi, sekarang.
Ali: "Vonis tidak sesuai semangat publik memberantas korupsi."
Ni Putu Eka Wiryastuti dinyatakan terbukti korupsi di perkara suap pengurusan dana insentif daerah (DID).
Hakim Ketua di Pengadilan Tipikor Denpasar, I Nyoman Wiguna, Selasa, 23 Agustus 2022, menyatakan:
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Ni Putu Eka Wiryastuti dengan pidana penjara selama dua tahun." Serta denda Rp50 juta.
Dalam pertimbangan majelis hakim, menyatakan bahwa Ni Putu Eka Wiryastuti dalam kapasitas Bupati Tabanan pada 2017 memberikan perintah kepada mantan staf khususnya, I Dewa Nyoman Wiratmaja soal proses pengurusan DID yang bersumber dari APBN.
Uang suap itu diberikan kepada dua pejabat Kementerian Keuangan, yakni Yaya Purnomo dan Rifa Surya (diadili terpisah). Suap diberikan oleh I Dewa Nyoman Wiratmaja.
Sejumlah Rp 600 juta dan USD 55.300. Diberikan bertahap sepanjang Agustus-Desember 2017.
Terdakwa dibebaskan dari tuntutan pencabutan hak politik. Atau, hak pilitiknya tidak dicabut. Alias, bisa jadi pejabat negara lagi di masa depan.
Sedangkan, tuntutan jaksa KPK, hukuman empat tahun penjara, dan pencabutan hak politik.
Jubir KPK: "Jaksa KPK banding, karena hukuman terlalu ringan. Terutama, hak politik terpidana tidak dicabut."
Vonis ringan dan hak politik koruptor di kasus ini, hanya satu contoh kecil. Dari banyak kasus serupa. Beberapa pejabat negara sekarang mantan terpidana korupsi. Bahkan, ada partai politik membolehkan caleg eks koruptor maju Pilkada.
Sesungguhnya, publik kurang peduli hak politik koruptor. Berdasar hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik 2020, rata-rata lama sekolah penduduk kita 8,7 tahun. Atau setara putus sekolah di kelas tiga SMP. Maka, mayoritas masyarakat kurang paham dampak korupsi.
Bahwa koruptor makan uang negara, orang tahu. Tapi banyak masyarakat bilang: "Mencuri uang negara biar aja, asal tidak mencuri uang saya."
Contoh lain, uang negara mestinya untuk kemakmuran rakyat, antara lain, membangun jalan bagus. Tidak rusak. Kalau jalan rusak, mengakibatkan pemotor kecelakaan, tewas. Setelah pemotor tewas, masyarakat bilang: "Bukan karena jalan berlubang, tapi karena sudah saatnya mati."
Kondisi begini, nyaris tak ada perlawanan publik terhadap koruptor. Maka pejabat tinggi negara harus memberi contoh anti-korupsi. Salah satu cara, tindak keras koruptor. Seperti di China, koruptor jumlah besar atau kecil, dihukum mati.
Dikutip dari The Atlantic, 15 September 2011, berjudul "A Former Premier of China Speaks", dijabarkan, di China semua koruptor terbukti, dihukum mati.
Zhu Rongji (Perdana Menteri China ke-5, 1998 dan 2003) ketika menjabat mengatakan: "Siapkan 100 peti mati buat koruptor. Yang 99 buat anak buah saya yang korupsi, satu buat saya jika saya korupsi."
Itu mirip slogan di Indonesia: "Katakan tidak, pada hal korupsi."
Tapi, di China koruptor memang dihukum mati. Zhu Rongji dikenal bergaya intimidasi, tanpa basa-basi. Ia dipuji sekaligus dimusuhi. Kalimatnya yang lain, begini:
"Anda (kader partai) tidak rajin atau mandiri. Anda pergi minum dan makan di jamuan makan, kemudian menyetujui proyek secara sewenang-wenang. Anda mengutamakan kroniisme, menumbuhkan guanxi (jaringan) di mana-mana, tidak peduli dengan uang dan aset negara. Ketika Anda duduk di sini melapor kepada ketua, bagaimana Anda bisa berharap orang-orang di bawah Anda tidak jijik?" (dikatakan di konferensi kerja keuangan Partai Komunis China, 1993)
Contoh konkrit koruptor China dihukum mati, terhadap Lai Xiaomin. Ketua perusahaan negara, China Huarong Asset Management Co,
Dikutip dari The Guardian, 5 Januari 2021, bertajuk "China Sentences Top Banker to Death for Corruption and Bigamy", Lai Xiaomin bankir top di sana, pengelola perusahaan negara tersebut di atas.
Lai Xiaomin dituduh meminta suap 1,79 miliar Yuan (USD 276,7 juta) selama 10 tahun, periode ketika ia juga bertindak sebagai regulator. Lalu ia diadili di Pengadilan Tianjin.
Putusan pengadilan, menyatakan, ia terbukti korupsi tersebut. Juga menggelapkan dana publik 25 juta Yuan. Atas putusan pengadilan, ia menerima.
Tidak menunggu lama. Dilansir dari Kantor Berita AFP, 29 Januari 2021, yang mengutip televisi milik negara China, CCTV, Lai Xiaomin dieksekusi mati di luar Kota Tianjin.
Dengan cara, terpidana berlutut, kedua tangan terikat di belakang. Algojo menembak kepala terpidana bagian belakang, dari jarak semeter.
Satu dekade lalu, eksekusi mati koruptor dipamerkan di depan publik. Kini, tidak begitu lagi. Dirahasiakan. Kini China merahasiakan jumlah koruptor terpidana mati. Mungkin, khawatir dikecam warga dunia. Bagi China, yang penting negaranya makmur, rakyat sejahtera.
Indonesia tidak bisa disamakan dengan China. Masyarakat kita tidak tegaan. Bahkan terhadap koruptor. Bahkan, hak politik koruptor tidak dicabut. Lebih gila lagi, mantan terpidana korupsi masih juga bisa menjabat lagi.
Bukti vonis Pengadilan Tipikor Denpasar itu, bahwa kita cenderung toleransi terhadap korupsi.
Ini pilihan yang ditentukan para pemimpin kita. Tepatnya, para pemimpin bidang penegakan hukum. Karena, sesuai undang-undang, pemimpin eksekutif dilarang intervensi di penegakan hukum. Kecuali di kasus Sambo.
*) Penulis adalah wartawan senior