Mengangkat Derajat Trenggalek Kota Gaplek
"Kutho Trenggalek, kinupenggang gunung-gunung. Duren lan manggis, wohe dedongkolan. Turine, kulture, tempene, alen-alen"
Gendhing berjudul "Kutho Trenggalek" mengalun sedikit keras dari tape recorder "lawas", menemani lima perempuan Dusun Kedekan, Desa Wonoanti, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek, Sabtu 22 September 2018 siang.
Lesehan di teras rumah milik Makrus Ali, 40 tahun, sebagian dari perempuan ini menghitung dan memasukkan ratusan tusuk sate ke dalam wadah plastik. Sebagian lagi memotong bambu, lantas memasukkan dalam mesin mencacah otomatis untuk membuat ratusan tusuk sate.
Rumah Makrus Ali, adalah satu dari belasan rumah sentra kerajinan tusuk sate di RW 08 Desa Wonoanti. Bagi para perempuan ini, membuat tusuk sate tak sekadar rutinitas turun-temurun, melainkan sebuah pekerjaan yang menghasilkan.
Warga Trenggalek lebih mengenal dusun ini sebagai kampung tusuk sate. Dari dusun inilah, para penjual sate di Trenggalek menggantungkan pasokan tusuk sate baik ayam maupun kambing. Tusuk sate dari kampung ini, juga menjadi langganan para pedagang hingga ke Tulungagung, Ponorogo bahkan Solo, Yogyakarta dan daerah lainnya.
Meneruskan usaha pembuatan tusuk sate dari sang ayah, Makrus memproduksi 2-2,5 kwintal tusuk sate per bulan dan bisa sampai 4 kwintal pada musim-musim tertentu seperti Lebaran Idul Fitri maupun Idul Adha.
Harga tusuk sate di dusun ini seragam Rp12.000 perkilogram (kg) untuk tusuk sate ayam dan Rp13.500 per kg untuk tusuk sate kambing. "Murah tapi alhamdulillah, kehidupan kami berkah. Hasil dari tusuk sate bisa menghidupi kami," kata Makrus.
Agar untung terjaga, pengiriman ke luar kota bisanya dengan menyewa sebuah pick-up dan membebankan ongkos kirim pada pembeli. Makrus mencontohkan, untuk pengiriman ke Yogyakarta dikenakan biaya pengiriman Rp800 per kg tusuk sate.
Tusuk sate buatan warga Wonoanti, rata-rata memiliki panjang 20 sentimeter (cm) sampai 22 cm. Ketebalan diameternya dibedakan antara tusuk sate kambing dan tusuk sate ayam. Tusuk sate kambing memiliki diameter 3 milimeter (mm), sedangkan ayam 2,5 mm. "Tusuk sate ayam sama dengan sate kelinci, kami bikin lebih tipis karena daging satenya lebih kecil," ujar Makrus.
Membuat tusuk sate memang menguntungkan, satu bambu seberat 1,5 kwintal bisa menghasilkan 1 kwintal tusuk sate. Kadang limbah sisanya juga bisa diproduksi lagi menjadi tusuk sate mini dengan panjang 15 cm. Biasanya tusuk sate ini dijual ke pedagang jajanan sekolah dasar (SD).
Pria tiga anak ini mengaku omset yang dihasilkan dalam sebulan mencapai Rp15-30 juta dengan laba bersih antara 15-20 persennya. "Kalau mau omset besar sebenarnya bisa bermain di tusuk gigi. Tapi sekarang tusuk gigi banyak dari Tiongkok, bahkan tusuk sate dari Tiongkok juga mulai beredar di pasaran," ujarnya.
Pada tahun 2000an, tusuk sate Trenggalek pernah mengalami kejayaan. Namun hadirnya tusuk sate Tiongkok membuat produksi mereka kini tidak mungkin lagi bisa ditambah. "Kami juga tidak bisa lagi menaikkan harga sembarangan karena tidak akan laku di pasaran," ujarnya.
Beruntung, para perajin saat ini sudah mampu menggunakan peralatan mekanik sederhana yang menghasilkan tusuk sate berkualitas halus setara dengan tusuk sate dari Tiongkok.
Untuk melawan dominasi Tiongkok, Makrus pernah berfikir minta label halal ke Majelis Ulama Indonesia. Sayangnya, label halal tidak disediakan untuk tusuk sate. "Kami punya akal, melawannya dengan menampakkan brand lokal dan bahan baku lokal. Alhamdulillah, penjual sate rata-rata orang beragama jadi tusuk sate bikinan kami tetap diutamakan karena kesuciannya terjamin," ujarnya sambil tersenyum.
Inovasi dari Wonoanti
Wonoanti adalah sebuah desa yang hanya berjarak 15 kilometer (km) arah selatan dari pusat kota Trenggalek. Wonoanti berada di kaki Bukit Banyon, sebuah bukit yang kini dikenal sebagai "negeri di atas awan" karena beberapa kawasan berada di ketinggian yang seakan berada di atas gumpalan awan.
Selain keindahan dan kekayaan alam berupa pohon bambu yang melimpah. Warga Wonoanti juga dikenal banyak inovasi, mandiri dan pantang menyerah guna melestarikan usaha yang dilakoni leluhur mereka.
Jika kita berkunjung ke desa ini, maka hampir di setiap rumah menjadi pusat kerajinan. Tidak hanya tusuk sate, warga juga membuat aneka produk kerajinan bambu dan rotan.
Membuat bola takraw dan sangkar burung misalnya, sudah bertahun-tahun digeluti warga sebagai pekerjaan pokok. Sayangnya, tak banyak perajin bola takraw yang bertahan. Serbuan bola takraw plastik dari Tiongkok, lagi-lagi membuat mereka tak mampu bertahan dan terpaksa harus menekuni kerajinan lainnya.
Beruntung, desa ini memiliki warga pelopor bernama Sukatno. Melalui rumah kerajinan "Bambu Indah", Sukatno mengajak warga bangkit dan melawan dominasi kerajinan dari Tiongkok.
Laki-laki bertubuh subur yang rambutnya sudah memutih ini, hampir 26 tahun menggeluti usaha kerajinan bambu. Kini, sebagai pemilik "Bambu Indah", dia berhasil memimpin ratusan warga menjadi perajin.
Berbagai macam produk kerajinan telah dia hasilkan. Mulai dari kotak tisu, meja makan, meja kursi tamu, aneka mebel, tudung saji, vas bunga, besek, tempat rokok, sketsel, keranjang souvenir, gazebo hingga peralatan ijab kabul pengantin. Seabrek hasil kreatif itu, menjadikan warga Desa Wonoanti bisa bangkit dan meninggalkan kerajinan lama yakni membuat bola takraw.
Jenis bahan baku yang mudah didapatkan dari desa ini menjadikan kreativitas seakan tanpa batas. Bambu jenis apus, bambu ulung, bambu petung, hingga jenis ori tumbuh subur di desa ini. Sebagian besar tanah kosong juga ditanami bambu. Bahkan beberapa perguruan tinggi juga pernah mengirimkan mahasiswanya untuk Kuliah Kerja Nyata dan memberikan sumbangan berupa penanaman pohon bambu di lereng-lereng bukit.
Ketekunan Sukatno patut diteladani. Penerima Penghargaan Pemuda Pelopor Nasional Penciptaan Lapangan Kerja dari Presiden Soeharto pada tahun 1992 silam ini, mengaku hanya bermodal awal Rp500 ribu. Sekarang home industri yang dia rintis sudah berkembang dan memiliki perajin di 50 rumah sekitar workshop-nya. Satu rumah biasanya terdapat 3-4 orang perajin.
Kini, hasil kerajinan warga Wonoanti mampu menembus pasar manca negara. Keranjang buah misalnya, pernah dikirim hingga dua kontainer ke Brunei Darussalam dan Korea Selatan. Begitu juga pengusaha Amerika pernah minta dua kontainer wadah peralatan kecantikan. Saat ini, Sukatno juga mendapat pesanan keranjang pakaian dari bambu yang akan dikirim ke Timur Tengah.
"Permintaan untuk ekspor belum konsisten. Kadang banyak permintaan, tapi kami masih terbatas belum bisa menyediakan yang jumlahnya lebih dari dua kontainer," ujarnya. Satu kontainer biasanya senilai Rp50 juta. Jika permintaannya melebihi dua kontainer, perbankan sebenarnya akan sukarela meminjamkan modal, namun perajin binaan Sukatno hingga saat ini masih mengandalkan peralatan manual sehingga tetap tidak mampu memproduksi secara cepat dalam jumlah yang besar.
Order keranjang pakaian yang dipesan pengusaha Timur Tengah misalnya, hingga saat ini belum bisa dia sediakan. Bahkan saat ini Sukatno baru mampu membuat belasan keranjang saja. "Sedang mencari alat yang modern dan bisa membantu warga menganyam lebih cepat," ujarnya.
Bambu yang Menghidupi
Bagi warga Trenggalek, Kecamatan Gandusari dikenal pusatnya UMKM. Genteng khas Trenggalek yang sering dijumpai di beragam kota seperti Surabaya, bersumber dari Gandusari. Selain kehandalan gentengnya, Gandusari juga memiliki Desa Wonoanti yang dikenal karena kerajinan bambunya.
Mujianto, Kepala Desa Wonoanti mengatakan, kerajinan bambu di Wonoanti tumbuh subur di tiga dusun yakni Kedekan, Krebet dan Manggis. Dari tiga dusun ini, mereka memiliki kekhasan masing-masing. Jika Dusun Kedekan dikenal dengan tusuk satenya, maka Dusun Krebet dikenal dengan bola takraw dan sangkar burung. Sementara Dusun Manggis selalu penuh inovasi karena mampu menghasilkan beragam kerajinan berkelas ekspor.
"Tiga dusun ini penduduknya sekitar 950 KK (keluarga), seperempatnya berprofesi sebagai perajin. Awalnya mereka membuat tusuk sate dan bola takraw serta sangkar burung. Tapi yang bola takraw dan sangkar burung sudah mulai beralih ke kerajinan lain tapi tetap berbahan dasar bambu dan rotan," ujarnya.
Muhammad Siswanto Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro dan Perdagangan Kabupaten Trenggalek mengatakan, kerajinan berbahan bambu Trenggalek sebenarnya tidak hanya ada di Desa Wonoanti, Kecamatan Gandusari.
Di Kecamatan Tugu misalnya, sangat dikenal dengan kerajinan sesek (berbentuk lembaran dari anyaman bambu ori berukuran 3x2 meter.red). Bahkan sesek-sesek yang biasa digunakan untuk pembatas bangunan dan konser musik di berbagai daerah umumnya berasal dari kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo ini.
Untuk kerajian yang lebih unik juga banyak muncul di Desa Sugihan, Kecamatan Kampak. Dari Desa Wonoanti, Sugihan hanya berjarak sekitar 3 km.
"Di Kampak, kelompok pemuda bahkan membuat komunitas kerajinan berbahan bambu untuk hiasan yang lebih mahal dan unik," ujarnya.
Catatan Dinas Koperasi Usaha Mikro dan Perdagangan Kabupaten Trenggalek, kerajinan bambu mendominasi jumlah usaha kerajinan masyarakat di pedesaan. Data Indeks Desa Membangun Kabupaten Trenggalek pada 2014 menunjukkan jumlah industri bambu sebanyak 6.375 industri rumahan, sementara pada 2015 bertambah menjadi 6.390 industri, kemudian tahun 2016 sebanyak 6.500 industri dan pada tahun 2017 angka ini tumbuh menjadi 6.900 industri.
Selain industri berbahan bambu, industri batu bata menempati posisi kedua dengan jumlah 4.850 industri, dan posisi selanjutnya ditempati industri genteng sebanyak 1.600 industri. Sisanya adalah industri pembuat kerupuk, mebel, tahu, dan sebagainya.
Pada tahun 2016, industri olahan di Trenggalek mampu menyumbang hingga 14 persen atau setara Rp2 triliun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Trenggalek, dari angka global PDRB Kabupaten Trenggalek sebesar Rp14,91 triliun.
"Usaha rumahan yang masuk dalam sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) ini terbukti paling tahan terhadap terpaan krisis ekonomi. Bahkan pada saat industri besar mulai goyah. UMKM terus bergeliat dan memperluas pasar," ujar Muhammad Siswanto.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Trenggalek, industri pengolah bambu juga terus meningkat, jika pada tahun 2014 hanya 6.375 usaha rumahan, maka pada tahun 2015 tercatat 6.390 usaha, dan tahun 2016 menjadi 6.450 usaha.
Pada dua tahun terakhir, jumlah industri pengolah bambu, menjadi usaha yang paling banyak ditekuni warga Trenggalek dalam indeks industri kecil dan kerajinan rakyat.
Mengangkat Derajat Kota Gaplek Trenggalek
Trenggalek memiliki luas daratan sekitar 130 ribu hektare dengan dua pertiga wilayahnya adalah pegunungan. Jumlah penduduk Trenggalek tercatat mencapai 800 ribu sehingga per penduduk hanya menguasai 0,16 hektare lahan. Namun, sama seperti daerah lain, lahan tidak hanya untuk kebutuhan pangan, tapi juga untuk pembangunan infrastruktur dasar serta infrastruktur umum lainnya.
Kontur tanah berbukit menjadikan dataran Trenggalek banyak ditumbuhi ketela sehingga menjadikan Trenggalek selalu dikenal sebagai Kota Gaplek (ketela mentah yang dikeringkan.red). "Kalau mau makan gaplek ya datanglah ke Trenggalek. Inikan stikma yang merendahkan Trenggalek, harus dicarikan langkah agar warga Trenggalek lebih bangga pada daerahanya," kata Emil Elestianto Dardak, Bupati Trenggalek.
Ditemui di Pendopo Kabupaten Trenggalek, suami artis Arumi Bachsin ini mengisahkan panjang lebar tentang upayanya membangunkan Trenggalek. Bermula dari sebuah mimpi bagaimana Trenggalek memiliki satu saja brand besar seperti yang kini dikuasai perusahaan global.
"Coba bayangkan, saat ini di dunia hanya dikuasai 10 brand perusahaan global yang mengontrol produk dan menguasai pasar. Ada Nestle, Coca-Cola, Danone dan Unilever. Tentu kita tidak bisa melawan mereka. Yang harus kita lakukan adalah penguatan UMKM," ujarnya.
UMKM kata dia, harus bisa standing on the shoulder of giants, berdiri di atas pundak raksasa-raksasa ekonomi dunia. Caranya ? dimulai dari proses diversifikasi ke sektor hilir. Bambu harus dianyam, ikan harus diolah, singkong diubah jangan hanya jadi gaplek, begitu juga pisang harus jadi keripik.
Bupati berusia 33 tahun ini mengatakan, pekerjaan rumah (PR) pengusaha UMKM Trenggalek adalah pemasaran, baru kemudian berbicara modal dan produksi. Produk harus bisa bersaing secara harga dan kualitas. "Pak JK (Jusuf Kalla) mengajarkan, kalau ingin laku barang itu, maka harus cepat produksinya, murah dan berkualitas," ujarnya.
Sebagai ajang promosi, Emil melakukan berbagai langkah, misalnya dengan mengusulkan ke Kementerian BUMN agar membangun sinergi bisnis dengan UMKM. Selama ini, UMKM hanya mengandalkan penjualan melalui wisatawan yang berkunjung ke Trenggalek.
Selain itu, Trenggalek juga mulai memikirkan penggunaan brand. Namun brand ternyata tidak bisa berdiri sendiri sehingga diputuskanlah menggunakan communal branding atau merk milik bersama. Tanpa brand, maka batik khas Trenggalek pasti kalah jauh dibanding Batik Danar Hadi, Batik Keris atau Parang Kencana yang sudah ternama.
Communal branding ini merupakan kesepakatan di antara para perajin Trenggalek. Kerajinan dari bambu asal Trenggalek misalnya, kini menggunakan communal branding "Bambu Indah". Sementara untuk batik, disepakati bernama "Batik Terang ing Galih" (Terang di Hati.red), jadi batik buatan siapapun, asalkan berasal dari Trenggalek maka otomatis batik itu dinamakan "Batik Terang ing Galih".
Sebelum "Batik Terang ing Galih", awalnya sempat memakai nama "Batik Arumi" dengan meminjam nama istri sang bupati yang kebetulan seorang artis. Sayangnya nama "Batik Arumi" diprotes DPRD Trenggalek.
"Saya pernah mencoba ke Sarinah Department Store di Jakarta. Saya mulai perkenalkan kerajinan bambu dan batik hasil communal branding dan bersanding dengan Batik Danar Hadi, Batik Keris. Alhamdulillah kami laku keras, malah juara di Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional) mewakili Jatim," ujarnya.
Pemakaian communal branding, dengan sendirinya akan menciptakan single identity, serta bisa memiliki paten dan hak kekayaan intelektual. Guna menghargai para perajin, maka dimasukkan juga sub brand dengan menggunakan nama perajinnya di setiap karya batik.
Beragam hasil UMKM juga terus dipasarkan. Sebagai penghasil kakao atau buah coklat terbesar di Jawa Timur, ternyata juga belum banyak yang mengenal coklat Trenggalek. "Setelah dilantik jadi Bupati Trenggalek saya kaget. Kami punya kebun kakao seluas 4.300 hektare, tapi kenapa imagenya Trenggalek kota gaplek bukan kota coklat," kata emil.
Untuk membangkitkan industri coklat, Trenggalek kini membangun rumah coklat yang dilengkapi dengan aneka makanan olahan berbahan dasar coklat khas pegunungan Trenggalek. "Ke depan, orang kalau mau ke Trenggalek tidak lagi untuk makan gaplek. Kenapa ke Trenggalek ? ingin minum coklat panas Trenggalek," ujarnya bangga.
Selain Rumah Coklat, Trenggalek kini juga membuat rumah produksi susu dan diberi nama Susu Dilem Wilis. Kopi khas Trenggalek juga mulai dibenahi dan diberikan brand khusus.
Khusus untuk kerajinan turun temurun seperti kerajinan bambu, Pemerintah Kabupaten Trenggalek terus melakukan pendampingan agar para pelaku UMKM ini bisa lebih mandiri dan berdaya saing global.
Pemerintah kabupaten terus mengajak para perajin bambu ikut berbagai pameran. Tidak hanya di dalam negeri, bahkan hingga ke mancanegara. "Kini mereka sudah mulai mandiri, pesanan dari luar negeri sudah datang dengan sendirinya. Terakhir yang saya bangga mereka mendapatkan pesanan keranjang pakaian dari bambu yang akan digunakan di hotel-hotel di Timur Tengah," ujar Emil.
Beruntung, Trenggalek memiliki banyak wisata alam. Pantai-pantai di Trenggalek yang indah kini terus berbenah dan sektor UMKM juga ikut hadir menjadi penopang perekonomian warga sekitar lokasi wisata.
"Trenggalek, Treng itu artinya paling, dan Galek itu jauh. Dari pusat kerajaan Mataram kami memang jauh, begitu juga dari Singosari maupun Majapahit, kami jauh. Kini paradigmanya diubah. Kami boleh yang paling jauh, tapi kami adalah yang terdepan di Pesisir Laut Selatan," ujarnya.
Kencang di Promosi, Keteteran di Produksi
Kehadiran kepala daerah berusia muda dan artis, menjadikan kabupaten Trenggalek mulai dikenal. Banyak harapan digantungkan kepada pasangan kepala daerah muda ini. Sayangnya, gencarnya promosi yang dilakukan belum dibarengi dengan peningkatan kuantitas produksi.
"Saya melihat, pemerintah terjebak pada promosi. Mereka promosi di mana-mana bahkan hingga ke mancanegara. Mereka lupa, bahwa pelaku UMKM di Trenggalek ini masih minim modal dan belum terbiasa berproduksi dalam skala besar," kata Samsul Anam, Ketua DPRD Kabupaten Trenggalek.
Banyak perajin yang tidak mampu memenuhi derasnya permintaan pasar yang ujungnya pembeli-pun kecewa. Samsul lantas mencontohkan di Kecamatan Durenan ada sebuah desa yang dipasang plakat pusat kuliner dan kerajinan.
Faktanya, di desa ini hanya ada satu perajin topi, itupun skalanya masih kecil dan belum banyak dapat sentuhan dari pemerintah. "Saya pernah mengajak teman dari Yogyakarta ke sana, ternyata mencari kulinernya di mana tidak ketemu, ada hanya satu perajin topi," ujar Samsul.
Kalaupun ada usaha kecil yang berkembang, sebenarnya sudah jauh hari mereka bertahan dengan penuh inovasi secara mandiri. Perajin bambu di Kecamatan Gandusari misalnya, mereka sudah turun temurun jadi perajin sehingga tanpa sentuhan pemerintah-pun mereka bisa bertahan hidup.
"Saat ini yang mereka perlukan adalah sentuhan modal dan bantuan peralatan modern. Untuk promosi mereka sudah bisa jalan sendiri. Mereka juga sudah sering ekspor kerajinannya ke luar negeri. Tinggal pendampingan mencarikan solusi bagaimana meningkatkan kuantitas produksi," kata politisi dari PKB ini.
Masih kecilnya jumlah produksi menjadikan perajin bambu saat ini juga mulai kebingungan karena tidak kunjung mampu memproduksi keranjang pakaian permintaan pengusaha Timur Tengah. "Ini jadi problem, pesanan sudah ada, tapi perajinnya hingga saat ini belum mampu memenuhi jumlah yang diinginkan," ujarnya.
Sementara itu, Jamhadi Tim Ahli Kadin Jawa Timur mengatakan, problem minimnya produksi yang tidak sebanding dengan gencarnya promosi tidak hanya terjadi di Trenggalek, melainkan juga sedang menggejala di beberapa daerah lain. Ketika kepala daerahnya gencar berinovasi dan promosi, faktanya sektor UMKM tidak diimbangi dengan kemampuan untuk berproduksi maksimal.
"Mayoritas UMKM hanya bersifat kerajinan. Artinya, UMKM hanya eceran, bukan produksi banyak. Padahal, untuk bisa merambah pasar mancanegara dibutuhkan produksi massal dengan kualitas yang tidak boleh sembarangan," kata Jamhadi. Pameran ke luar negeri, kata dia, saat ini sudah cukup banyak. Tugas pemerintah tinggal fokus pada mendorong produksi secara maksimal.
Hal yang sama diungkapkan Kresnayana Yahya pakar statistik dari Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya. Menurut dia, masalah mendasar yang dialami UMKM adalah penguasaan teknologi. Inovasi dan keterampilan yang dimiliki sudah cukup baik dan bahkan melebihi keterampilan pelaku UMKM dari negara lain.
"Tiongkok itu UMKM sudah menggunakan teknologi modern. Baju misalnya, di Tiongkok itu sekali produksi bisa langsung 10 ribu baju, kalau di kita kan masih manual pakai mesin jahit manual. Jadi jangan heran beragam produk UMKM kita di pasaran harus bersaing dengan produk Tiongkok," kata dia.
Kresnayana menilai, kewalahan dalam menghadapi serbuan pembeli terjadi di hampir seluruh UMKM yang ada di Indonesia. Penyebabnya ?, karena dunia saat ini sedang bergeser. Konsumen mulai meninggalkan produk garapan pabrik dan tertarik produksi UMKM berbasis handmade.
"Produk pabrikan makin lama makin tidak unik. Di masyarakat handicraft makin jadi raja. Ada empati sosial bahwa produk yang dikerjakan secara handmade merupakan hasil kerja keras. Lebih dihargai. Dan ada juga kecenderungan produk berbau artistik, kultural jauh lebih tinggi nilainya dari kerjaan pabrik," kata dia.
Ini yang harus diantisipasi, pergeseran minat masyarakat yang cukup kencang namun di satu sisi, pelaku UMKM masih tampak tergopoh-gopoh tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar. Pelaku UMKM seperti di Trenggalek dan di daerah lainnya baik di Jawa Timur maupun Indonesia, harus terus bangkit, tidak gamang dan segera mendapatkan solusi untuk memenuhi membludaknya permintaan pasar. (man)