Mengambil Tugas Negara
Adalah Refly Harun, dengan lantang turun gunung dengan kalimat yang menggegerkan; Mengambil Tugas Negara.
Kalimat gagah itu sebenarnya menyimpan tafsir yang sarkastik, meskipun masih dalam derajat yang pantas. Refly yang tetap kritis meski pernah dikasih permen permen manis kekuasaan itu menegaskan bahwa mengambil kembali tugas negara dari yang tidak mampu dikerjakan oleh pemerintah merupakan langkah yang konstitusional.
Kalau pakar tata negara sudah bicara demikian itu artinya memiliki derajat kesahihan secara akademik. Refly menyampaikan hal itu saat acara perkenalan Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, Minggu 2 Agustus 2020.
Saat itu Refly hanya menyampaikan bingkai konstitusional atas perkumpulan ini. KAMI adalah sekelompok kaum intelektual, aktivis, tokoh masyarakat, mantan birokrat, mantan menteri, yang gelisah melihat kondisi bangsa ditangan Joko Widodo, lalu tergerak untuk menyelamatkan negara. Suatu respon yang wajar dan merupakan kewajiban setiap warga negara.
Secara konstitusional Refly mengatakan, tugas negara atau pemerintah ialah melindungi segenap bangsa, mencerdaskan segenap bangsa, mensejahterakan segenap bangsa.
Kalau sudah cerdas, sejahtera, terlindungi dia bisa ikut dalam perdamaian dan kedamaian dunia.
Namun pada faktanya, memang tidak semua penguasa pemerintahan mampu menjalankan tugas konstitusionalnya. Oleh karena itu perlu adanya partisipasi dari warga masyarakat.
“Jadi seandainya kemudian ada sekelompok orang yang mau berpartisipasi dalam “mengambil” tugas negara yang tidak mampu dikerjakan negara, itu adalah konstitusional,” tegas Refly.
Peristiwa berkumpulnya para tokoh itu tidak bisa dibilang enteng. Ini adalah sinyal kuat bahwa telah terjadi ketidakpercayaan yang luas dalam masyarakat bahwa Jokowi tidak mampu memegang amanah rakyat. Dalam negara demokrasi, kekuasaan politik itu diberikan atas dasar kepercayaan masyarakat. Dan, jika suatu ketika rakyat menganggap bahwa amanah telah diselewengkan, sehingga rakyat merasa perlu mencabut mandat itu atas dasar melindungi negara, maka hal itu wajar belaka.
Dan sungguh, jika Jokowi dinilai masyarakat sebagai tidak mampu, maka sebagai orang yang bermoral sedianya harus malu dan tidak memaksakan diri bertahan di kursi kekuasaan, yang sejatinya bersumber dari kepercayaan rakyat itu sendiri. Sebagai orang Jawa, saya yakin semakin yakinnya bahwa Jokowi memiliki rasa malu sekaligus rasa cinta pada bangsa ini.
Soeharto saja yang sudah 32 tahun dan menjadi rekor penguasa terlama di dunia modern dengan suka cita lengser prabon kerana ketidakpercayaan rakyatnya. Maka Jokowi sebagai orang yang dikenal baik baik, sholeh, sering puasa Senin Kamis, Pancasilais, rajin sholat, pastilah akan jauh lebih terhormat jika memilih jalan kesatria. Menyerah jika dirasa rakyat sebagai tidak mampu lagi menjalankan amanah rakyat tanpa pertumpahan darah. Sebab negara wajib melindungi rakyat dan seluruh tumpah darahnya demi keselamatan dan kesejahteraan mereka.
Perkumpulan KAMI itu tidak lagi sebuah kritik, tapi sebuah upaya kesadaran esoterik bahwa negara tidak mampu menjalankan amanah lalu mereka harus mengambil alihnya. Itulah logika dasarnya. Dari kejauhan, sayup sayup kita dengar dan lihat gerakan itu bukanlah gerakan politik, namun lebih sebagai peristiwa kebudayaan sebagai penanda bahwa di negeri ini masih banyak orang baik dan sadar harus berdiri tegak untuk membela negaranya yang compang-camping.
Perkumpulan itu harus dibaca sebagai respon peradaban sebuah negeri yang menderita akibat berbagai tekanan perekonomian yang terpuruk minus dibawah Nol, semrautnya penanganan wabah Covid 19, hilangnya moralitas kekuasaan, merebaknya ketidakadilan, keberpihakan rezim pada China yang berlebihan, isu komunisme yang bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara, hingga praktik partgulipat kekuasaan di seputar perampokan dana Asuransi Jiwasraya 17 trilliun, kasus Asabri 16 triliun, kasus dana prakerja dan lain-lain.
Sebagai presiden, Joko Widodo kerapkali mengeluh dan merasa jengkel dengan para menteri-menteri yang kerjanya lamban, tidak memahami keinginan beliau, dan kerap melakukan kesalahan-kesalahan elementer yang seharusnya tak perlu terjadi. Selaku orang Jawa, Pak Jokowi sungguh merasakan tekanan tekanan dari berbagai penjuru. Kondisi ini membuat Pak Jokowi sebenarnya ingin keluar dari.beban berat amanah negara yang dipikul dipundaknya.
Oleh karena itu, maka kehadiran para tokoh yang menyebut dirinya dengan KAMI, Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia itu menemukan perannya. Satu sisi Pak Jokowi ingin keluar dari tekanan-tekanan itu, sementara disisi lain terdapat sekelompok masyarakat yang bersedia untuk membantu mengambil alih tugas negara demi menyelamatkan negara. KLOP!
Namun dalam perkara politik dua tujuan mulia itu bukanlah perkara mudah. Pak Jokowi mungkin akan bersedia menempuh jalan kesatria daripada pusing memikirkan negara. Apalagi beliau sudah menunjukkan pengabdiannya pada negara selama 6 tahun berjalan ini. Hal itu sudah cukup baginya untuk membuktikan bahwa beliau mencintai bangsa ini. Berbagai jalan tol dari yang dahulunya tidak terbangun kini sudah terbangun. Sudah pantas kita beri penghargaan itu, dan pantas pula kita secata manusiawi memberikan kesempatan beliau untuk beristirahat sejenah melepas lelah.
Soal utang utang negara terkait infrastruktur itu biar dipikirkan penggantinya. Namun bagaimana dengan para pemangku kepentingan di sekitar Pak Jokowi. Ini tentu tidak mudah. Namun jika Pak Jokowi merasa harus memilih jalan kesatria, apa boleh buat. Mereka harus menerima keadaan demi menyelamatkan negara. Negara adalah jauh lebih utama daripada kepentingan orang- perorang.
Saya melihat ada.banyak keuntungan bagi Pak Komisi jika mengambil jalan sebagai kesatria utama. Pertama, Pak Jokowi akan menjadi auri tauladan yang baik sebagai kesatria sejati mandraguna. Beliau akan dikenang sebagai Presiden yang lahir dari rakyat biasa, bukan darah biru. Dan itu adalah prestasi yang luar biasa dalam sejarah bangsa Indonesia. Kelak para sejarahwan akan menulisnya denga tinta emas yang layak dikenang sebagai penanda demokrasi yang sejati. Rakyat Biasa bisa jadi Raja.
Kedua, dengan mengambil langkah kesatria, Pak Jokowi akan dinilai publik dan dunia internasional sebagai Bapak Infrastruktur Indonesia. Prestasi ini tidak banyak dilakukan oleh para kepala negara didunia, mungkin akan lebih kurang sama dengan Presiden Irak, Saddam Husein yang dikenal banyak membangun jalan hingga ke pelosok negerinya itu. Tentu saja ini akan diruang sebagai sejarah yang sulit dilupakan oleh seluruh bangsa.
Ketiga, mengambil jalan kesatria adalah langkah manusia terpuji dibanding hidup ditengah caci maki rakyat yang tidak bisa memahami sepenuhnya kesulitan-kesulitan yang beliau hadapi setiap hari. Jalan kesatria adalah langkah yang tepat sebelum citranya semakin memburuk di masyarakat. Jika terlambat, maka seluruh bangunan prestasi dibidang infrastruktur itu akan hilang dalam ingatan publik karena tergoda bujuk rayu orang orang sekitarnya yang haus kekuasaan dan tidak mengerti makna keselamatan bangsa dan negara.
Keempat, kapan kesatria adalah langkah yang historis sekaligus ketepatan yang diperintahkan oleh Rasulullah pada setiap pemimpin. Rasulullah Muhammad Saw, selalu menganjurkan bahwa setiap pemimpin harus memberikan contoh keteladanan yang baik agar mereka menjadi sosok yang mulia dalam sejarah manusia. Jalan kesatria akan menjadi model prosesi demokrasi masyarakat beradab yang akan berguna bagi proses pendewasaan suatu bangsa dalam mengurus negaranya.
Saya berkeyakinan penuh bahwa pemberani Pak Komisi akan lebih memilih jalan kesatria demi menyelamatkan bangsa dan.negara daripada menuruti orang orang dekatnya yang haus kekuasaan dan tak paham makna keselamatan dan kehormatan negara. Kepada para inisiator KAMI, saya berharap agar tetap menjaga ketertiban, keamanan negara dalam.situasi yang tidak sepenuhnya nyaman ini. Kepada mereka saya juga.menghimbau agar membantu Pak Jokowi menemukan jalan kesatria itu dengan melakukan audiens, ramah tamah, sumbang saran, dan pemikiran yang bersih dan konstruktif demi menyelamatkan bangsa dan negara kita tercinta ini.
Saya meyakini sepenuhnya Pak Komisi akan mendengar dan mengambil jalan kesatria itu sehingga beliau terbebas dari tekanan tekanan politik dan ekonomi dari berbagai kalangan. Bismillah, dengan mengharap Rahmat dab Taufiq serta ridho dari Allah SWT, saya meyakini bahwa Pak Jokowi mengambil jalan menjadi seorang kesatria sejati. Amin...
Wallahua'a'lam bis sawab.
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)