Menentang Non-Muslimfobia, Ini Apresiasi Mustafa Akyol pada NU
Perjuangan Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengusung Islam Nusantara ke pentas dunia, akhirnya mendapt pengakuan dari sejumlah kalangan di dunia. Khususnya, dalam ikhtiar untuk menciptakan perdamaian dunia, mengedepankan sikap moderat, tolerans di tengah masyarakat majemuk.
Cukup mengejutkan, pengakuan itu justru datang dari intelektual dunia. Seperti Mustafa Akyol, intelektual Turki.
Pengakuan penulis buku "Islam tanpa Ekstremisme", yang beredar di media soal, Rabu 6 November 2019. Berikut naskah aslinya:
“When that humanist idea is challenged at the expense of Muslims, we Muslims rightly complain about ‘Islamophobia’. But we should also challenge the non-Muslimophobia in our ranks. The NU deserves praise for addressing this deep-seated problem in the Muslim tradition.”
(“Ketika pandangan humanis tertantang dengan dirugikannya Umat Islam, kita berhak mengeluh tentang ‘Islamofobia’. Tapi kita juga harus menentang non-Muslimofobia di kalangan kita sendiri. NU berhak dielu-elukan atas langkahnya menohok masalah yang tertanam dalam didalam tradisi Muslim ini”).
Pengakuan dunia pun ditunjukkan dengan pengakuan para diplomat asing, yang selalu memberi pengakuan di PBNU Jakarta.
Terkait hal itu, perjuangan NU di pentas dunia aktif dilakukan Katib Am PBNU KH Yahya Cholil Staquf. Dalam berbagai forum, Gus Yahya -- panggilan akrabnya -- menegaskan pendirian dan sikap NU terhadap persoalan yang berkembang di dunia.
Nah, tentang pernyataan Mustafa Akyol, Gus Yahya menjelaskan, pandangan tersebut merupakan hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU), di Banjar pada Februari 2019.
Dalam Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, Munas Alim Ulama NU, mengusulkan agar NU tidak menggunakan sebutan kafir untuk warga negara Indonesia yang tidak memeluk agama Islam.
Para kiai berpandangan penyebutan kafir dapat menyakiti para non-Muslim di Indonesia. Dianggap mengandung unsur kekerasan teologis, karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tapi 'Muwathinun' atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara yang lain.
Munas NU tersebut, digelar di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis, 28 Februari 2019. Berikut catatan Gus Yahya:
"Setelah diumumkannya hasil Munas NU, serta-merta meruak perbincangan publik –baik perdebatan ilmiah maupun pertukaran caci-maki—mengenai sebutan “kafir” terhadap nonmuslim. Hal itu dipicu oleh cuilan informasi yang sama sekali tidak menjelaskan keutuhan hasil pembahasan salah satu topik yang memang boleh dianggap paling penting dalam munas ini, yaitu Bahtsul Masail Maudlu’iyyah (tematik) tentang “Negara, Kewarganegaraan, Hukum Negara dan Perdamaian”.
"Sebagai bagian dari jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, saya tidak berkecil hati dengan keributan tanpa arah itu. Sebab, Nahdlatul Ulama sedang menempuh upaya yang jauh lebih bermakna daripada sekadar bertukar kata ataupun bahkan membangun citra.
"Topik Bahtsul Masail di atas adalah topik raksasa karena signifikansinya terkait dengan masalah yang sedang menjadi pusat keprihatinan dunia. Yaitu konflik tanpa ujung yang merebak di mana-mana terkait dengan Islam, baik di kawasan-kawasan dunia Islam sendiri (Timur-Tengah, Afrika Utara dan Tengah, serta sebagian Asia Tenggara) maupun dunia nonmuslim (Eropa, Amerika, India, China, dan bagian Asia Tenggara lainnya).
"Konflik menyemesta dengan daya rusak tak terperi itu, jika tidak segera ditemukan jalan keluar, akan berujung keruntuhan bagi seluruh peradaban dunia.
"Jelas bahwa Islam dan Umat Islam tidak bisa dijadikan satu-satunya tertuduh. Seperti Tango, konflik tidak terjadi dengan aktor tunggal. Semua pihak yang terlibat berbagi kesalahan. Tapi, upaya mengakhirinya harus segera dimulai.
"Tidak ada waktu lagi untuk saling menunggu. Nahdlatul Ulama, dengan segala keringkihannya dan bertawakkal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berkehendak untuk ikut mengayunkan langkah menuju jalan keluar itu.
"Pada masa ketika melekatnya identitas agama pada negara masih menjadi basis dari format sistemik peradaban, konflik antar-agama relatif terbatasi sebagai konflik di antara negara-negara tertentu, dan hanya melibatkan kekuatan-kekuatan militer dari negara-negara yang bersangkutan, di medan-medan pertempuran yang terbatas. Bagi Kerajaan Islam seperti Turki Usmani, misalnya, norma permusuhan dan kewaspadaan kaum Muslimin terhadap non-muslim mengemban qashd syar’i (tujuan syari’at) terpeliharanya keamanan kaum muslimin sebagai warga kerajaan dari ancaman bahaya.
"Ancaman itu mungkin datang sewaktu-waktu dari kekuatan militer kerajaan-kerajaan non-Muslim di sekelilingnya, dengan penjagaan oleh para prajurit kerajaan di perbatasan."
"Di masa kini, ketika seluruh masyarakat di segenap belahan dunia diwarnai dengan keragaman, permusuhan dan konflik antaragama akan berujung kerusuhan sosial dengan skala dan sebaran yang tak terkendali, yang pada gilirannya akan meruntuhkan sama sekali segala sendi kehidupan bermasyarakat di seluruh dunia."
Demikian penjelasan Gus Yahya Cholil Staquf.
Advertisement