Menentang Kudeta Militer, Ini Sikap Dubes Myanmar untuk PBB
Duta Besar Myanmar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kyaw Moe Tun, membuat permohonan yang berapi-api kepada masyarakat internasional agar mengambil "tindakan sekuat mungkin" untuk mengakhiri kekuasaan junta di negara itu.
Suara Kyaw Moe Tun pecah dengan emosi saat dia berbicara menentang rezim militer yang menggulingkan pemerintah sipil terpilih negara itu dalam kudeta pada 1 Februari 2021 itu.
Sangat jarang seorang perwakilan memutuskan hubungan dengan penguasa negara yang mereka wakili saat berpidato di Majelis Umum PBB.
Duta Besar Myanmar itu bahkan memberikan hormat tiga jari yang telah digunakan oleh pengunjuk rasa pro-demokrasi selama demonstrasi jalanan melawan junta, setelah mengakhiri pidatonya dengan pesan dalam bahasa Burma.
"Kami membutuhkan ... tindakan sekuat mungkin dari komunitas internasional untuk segera mengakhiri kudeta militer, menghentikan penindasan terhadap orang-orang yang tidak bersalah, mengembalikan kekuasaan negara kepada rakyat, dan memulihkan demokrasi," pintanya, seperti dikutip France24, Senin 1 Maret 2021.
Kyaw Moe Tun, suaranya gemetar, pada Jumat lalu, meminta semua negara anggota untuk mengeluarkan pernyataan publik yang mengutuk keras kudeta tersebut selama pertemuan khusus di Myanmar.
Dia mengimbau negara-negara untuk tidak mengakui rezim militer atau bekerja sama dengannya dan meminta mereka untuk menuntut junta menghormati pemilihan demokratis tahun lalu.
Utusan itu juga mendesak negara-negara untuk "mengambil semua tindakan yang mungkin lebih kuat" untuk menghentikan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan terhadap demonstran damai.
"Kami akan terus memperjuangkan pemerintahan, yaitu dari rakyat oleh rakyat, untuk rakyat," katanya.
Aksi Anti-Kudeta Militer
Sementara itu, sedikitnya 18 orang meninggal dunia akibat aksi demo menentang kudeta di Myanmar pada akhir pekan lalu. Demikian dilaporkan Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Selain itu, sedikitnya 30 orang dilaporkan luka-luka dalam bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan.
"Jatuhnya korban tewas dikarenakan aparat keamanan menembakkan peluru tajam ke arah kerumunan pedemo di Yangon, Dawei, Mandalay, Myeik, Bago dan Pokokku," demikian isi pernyataan Kantor HAM PBB, seperti dikutip Associated Press, Senin 1 Maret 2021.
PBB menganggap jumlah korban meninggal tersebut merupakan jumlah tertinggi dalam satu hari.
Jika laporan yang diberikan HAM PBB itu benar, maka jumlah korban jiwa dalam gelombang unjuk rasa di Myanmar sampai saat ini sudah mencapai 24 orang.
Kantor HAM PBB juga menyatakan mereka mencatat ada sekitar seribu orang yang ditangkap aparat dalam unjuk rasa pada Minggu kemarin.
"Sekjen PBB mendesak warga dunia untuk bersama-sama memberikan sinyal tegas kepada militer Myanmar supaya mereka harus menghormati keinginan rakyat yang disampaikan dalam pemilihan umum dan menghentikan tindakan represif," kata Guterres melalui juru bicara, Stephane Dujarric.
Sebelumnya diketahui memang situasi di sejumlah kota di Myanmar pada akhir pekan lalu sangat mencekam. Bahkan sesuai laporkan awak media, sejak pagi hari polisi sudah membubarkan massa yang bersiap-siap berdemo dengan menembakkan gas air mata, peluru karet hingga melemparkan granat kejut.
Bahkan, sejumlah awak media yang hendak meliput juga ditangkap. Salah satunya adalah koresponden Associated Press, Thein Zaw.
Kelompok Koresponden Asing di Myanmar mengecam penangkapan sejumlah awak media yang hendak meliput aksi unjuk rasa oleh aparat keamanan setempat.
Sampai saat ini jumlah korban meninggal dalam unjuk rasa pada akhir pekan lalu masih simpang siur.
Sejumlah media massa setempat menuliskan ada 19 orang yang meninggal, dan sepuluh laporan lain tentang demonstran yang meninggal yang sampai saat ini belum bisa dikonfirmasi. Hal itu terjadi karena sulitnya akses internet, terutama di luar kota besar seperti Yangon.