Menengok Perekonomian di Tahun Politik
Dua tahun ke depan disebut sebagai tahun politik. Jika pada 2019 rakyat kembali akan memilih presiden Indonesia berikutnya, pada tahun depan sebanyak 171 daerah akan berpartisipasi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Seharusnya tahun ini juga disebut tahun politik, karena ada 101 daerah yang menyelenggarakan pilkada.
Adanya kegiatan politik akbar tersebut tentunya akan memberikan pengaruh kepada perekonomian. Kendati sebelum-sebelumnya pilkada relatif berlangsung aman, namun tetap saja ada yang mempertanyakan bahkan mengkhawatirkan. Hal tersebut wajar saja mengingat pada tahun `non politik` tiga tahun terakhir ekonomi masih tumbuh di angka lima persenan.
Pemerintah sendiri tak tampak khawatir dan justru optimis sembari menyatakan ekonomi sudah menemukan momentum pertumbuhan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pilkada serentak 2018 tidak akan berdampak negatif terhadap perekonomian domestik.
"Sebanyak 171 pilkada tahun depan, malah menjadi berkah secara ekonomi. Setiap kali pemilu, selalu ada hal positif terhadap ekonomi," ujar Darmin.
Pada kuartal tiga tahun ini, investasi memang tumbuh lebih tinggi dibandingkan kuartal-kuartal sebelumnya yaitu mencapai tujuh persen. Sementara itu, ekspor juga tumbuh signifikan hingga mencapai 17 persen. Mungkin ini yang disebut momentum itu.
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyebut pada 2018 dan 2019 sebagai potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Tanah Air. Belanja barang oleh partai politik dan juga belanja pemerintah biasanya justru meningkat pada pilkada maupun pilpres.
Ia mencontohkan pada triwulan pertama dan kedua pada 2014 atau masa kampanya pilpres 2014 lalu, pertumbuhan konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT) mencapai lebih dari 20 persen.
"Ketika masa kampanye, pasti ada kegiatan konsumsi barang yang nondurable. Dua triwulan pertama 2014, pertumbuhan konsumsi nonrumah tangga (RT) di atas 20 persen, misalnya untuk beli kaus, t-shirt, banner, dan iklan TV. Itu yang membuat di atas 20 persen," kata Bambang
Pada pemilu anggota legislatif (pileg) dan pilpres 2014, ternyata indeks keyakinan konsumen juga tidak terganggu. Pengalaman Indonesia yang berhasil menggelar pemilu dengan sukses pada periode sebelumnya disebut memberikan persepsi positif.
Begitu pula dari jasa keuangan, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengungkapkan hal senada. Laju pertumbuhan ekonomi domestik di tahun politik justru akan lebih tinggi karena akan makin banyak aktivitas belanja (spending).
Wimboh tidak khawatir stabilitas ekonomi akan terganggu karena pilkada maupun pilpres dan meyakini pertumbuhan ekonomi akan tetap positif.
"Biasanya aktiviasnya malah banyak. `Spending` jadi banyak. Kalau soal ekonomi, jadi positif sebenarnya. Dan kita sudah pengalaman berkali-kali, jadi kami tidak terlalu `worry` ya," ujar Wimboh.
Pertumbuhan ekonomi saat ini memang masih berkutat di kisaran lima persen. Pada 2017, pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya mencapai 5,1 persen, di bawah target APBN-P 2017 sebanyak 5,2 persen. Sementara itu, pada 2018, pertumbuhan ekonomi ditargetkan mencapai 5,4 persen.
Indonesia dikhawatirkan bisa menjadi "ekonomi lima persenan" mengingat pertumbuhan kredit yang masih relatif melambat dalam beberapa tahun terakhir.
"Dengan pertumbuhan kredit hanya sekitar 8-10 persen, maka ekonomi Indonesia menjadi "ekonomi yang tumbuh lima persenan", bahkan sampai tahun 2019," kata ekonom senior Umar Juoro.
Pertumbuhan kredit memang masih memperlihatkan perlambatan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan kredit perbankan pada November 2017 mencapai 7,47 persen. Hingga akhir tahun, pertumbuhan kredit diperkirakan akan mencapai 8-9 persen.
Padahal, sebelumnya pertumbuhan kredit mampu tumbuh di atas 10 persen atau `double digit`. Kendati demikian, pertumbuhan kredit tahun depan diprediksi akan membaik.
Saat ini, bank disebut masih berhati-hati dalam menyalurkan kredit seiring dengan permintaan terhadap kredit yang berkualitas juga melemah. Bank juga masih sibuk dengan restrukturisasi tingkat kredit macet walaupun tingkatannya masih terkendali di level tiga persen.
Ketidakcocokan (mismatch) dana jangka pendek untuk penggunaan proyek jangka panjang, banyaknya proyek infrastruktur yang tingkat imbal hasil atau Internal Rate of Return (IRR) - nya rendah, permasalahan tarif, dan permasalahan struktural seperti pembebasan tanah, juga merupakan permasalahan yang tidak mudah dihadapi bank.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) malah memprediksi pertumbuhan ekonomi pada 2018 mendatang hanya mencapai 5,1 persen, di bawah target pemerintah 5,4 persen.
Dari sisi domestik, ekonomi Indonesia tahun depan masih akan bergantung pada kekuatan sektor konsumsi rumah tangga. Kontribusi komponen tersebut mengisi lebih dari 55 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
"Pemerintah harus mampu menjaga inflasi agar daya beli masyarakat tidak lagi melambat. Realisasi inflasi pada tahun ini sendiri diperkirakan lebih tinggi dari tahun sebelumnya karena kenaikan TDL dan harga gas," ujar ekonom INDEF Eko Listiyanto.
Selain itu, sektor fiskal pada tahun depan diharapkan menjadi tumpuan dalam memberikan efek ganda terhadap pertumbuhan, sehingga belanja-belanja prioritas harus terlaksana dengan baik. Belanja modal dan dana transfer ke daerah harus menjadi prioritas sehingga dapat mendorong aktivitas ekonomi.
Realisasi kredit perbankan pada 2018 juga diharapkan dapat lebih cepat menggerakkan sektor-sektor perekonomian. Harapan tersebut harus ditopang oleh kebijakan yang terintegrasi ke seluruh pihak, bukan hanya sektor keuangan.Kebijakan pemerintah di bidang harga juga harus dapat diminimalisasi, sehingga tidak kontraproduktif terhadap aktivitas sektor pembiayaan.
Kontribusi ekspor pada 2018 sendiri diproyeksi akan meningkat apabila tren harga komoditas global tetap berlanjut di 2018. Selain itu, peningkatan ekspor juga berpotensi semakin tinggi apabila pertumbuhan manufaktur terakselerasi dan Indonesia dapat secara agresif membuka peluang pasar baru di berbagai kawasan yang potensial.
Pilkada serentak 2018 yang berpotensi meningkatan konsumsi disebut juga akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun depan. Faktor Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018 juga dapat mendorong sektor pariwisata baik dari sisi konsumsi maupun transportasi. Pemerintah bahkan menyebutkan pilkada dan Asian Games akan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi sekitar 0,2 hingga 0,3 persen.
Namun, dari sisi global, beberapa isu dapat menjadi `batu sandungan` dalam upaya mengakselerasi pertumbuhan antara lain isu proteksionisme perdagangan AS, rebalancing ekonomi Tiongkok, dan penguatan dolar AS yang memicu pembalikan arus modal di negara berkembang. Selain itu, ada juga risiko geopolitik, dampak Brexit, referendum Catalonia, kondisi Timur Tengah, ketegangan di Semenanjung Korea dan ancaman terorisme, serta isu struktural di negara maju seperti penuaan populasi.
Kendati demikian, apabila pemerintah bisa terus memperbaiki sejumlah catatan kinerja ekonomi ke depan, tampaknya kekhawatiran terganggunya perekonomian di tahun politik tak lagi beralasan. (ant/wah)