Menengok Desa Penugukan dan Mukut, Desa Transmigrasi yang Dikelilingi Sungai
Ingin menengok Desa Penugukan dan Mukut di Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan cukup mudah. Kalau di musim kemarau bisa ditempuh lewat darat dan lewat sungai. Kalau lewat darat, dari Palembang ke Sungai Lilin kurang lebih 110 km, dari Sungai Lilin ke Penugukan kurang lebih 45 km.
Namun begitu jika musim hujan tiba jalan dari Palembang ke Sungai Lilin banyak berlubang dan arus lalu lintas macet karena banyak dilewati truk-truk pengangkut hasil bumi. Sedangkan jalan makadam dari Sungai Lilin ke Penugukan dan ke Mukut lumpuh total tak dapat dilalui. Jalan berlumpur sejauh kurang lebih 40 km. Bisa membuat roda mobil terbenam.
Jika musim hujan angkutan jalur sungai menjadi primadona walau cukup membuat uji nyali. Kita harus menembus menyeberang atau mengarungi sungai yang lebarnya bisa mencapai 1,5 s/d 2 km dan terus menyusuri sungai sejauh puluhan kilo meter di bawah terpaan angin dan gelombang.
Apa yang membuat daya tarik orang berkunjung ke Penugukan dan Mukut? Ternyata di sana banyak perkebunan sawit dan kelapa yang mencapai puluhan ribu hektar. Dari sekian banyak itu, ada sekian hektar yang dikuasai perusahaan dan rakyat.
Untuk menuju ke Penugukan dan Mukut lewat jalur sungai diawali perjalanan darat dari Palembang sampai ke pelabuhan PU Tanjung Api-Api Banyuasin sejauh kurang lebih 45 km.
Dari Pelabuhan ini, penumpang menggunakan speed boat. Uji nyali pertama yang kita rasakan saat naik mobil angkutan umum dari Palembang ke Pelabuhan dengan kondisi jalan yang 70 persen bagus situasi sepi kiri kanan jalan umumnya masih hutan dan rawa-rawa.
Mobil dipacu dengan kecepatan tinggi sampai ke Pelabuhan PU. Sampai di Pelabuhan yang sederhana itu kita menunggu antrian keberangkatan speed boat. Walau keadaan di Pelabuhan ini sederhana jumlah penumpang yang hilir mudik cukup banyak mencapai ratusan orang mereka umumnya penduduk desa yang bekerja atau memiliki kebun sawit.
Bahasa yang sering terdengar dipakai mereka justru bahasa jawa selain bahasa Palembang. Seorang ibu yang mengaku asli Cilacap mengatakan dia bersyukur saat ini sudah memiliki kebun sawit sendiri tidak lagi jadi buruh. Sementara itu Pak Minto yang bersama kami di speed boat enggan menyebut asal daerahnya.
Dengan mantap dia mengatakan kalau sudah di sini semua wong Palembang. Dia mengaku senang hidup di daerah perkebunan. Kami yang naik speed boat kecil berpenumpang 9 orang terus menikmati perjalanan walau menerima terpaan angin dan percikan air Sungai Kenten yang cukup lebar itu.
Hati kami sempat ciut ketika speed boat yang kami tumpangi mesinnya sempat mati lebih kurang 10 menit. Melihat luasnya sungai dan merasakan ayunan ombak memang cukup mengerikan. Setelah mesin speed boat hidup terus dipacu dengan kecepatan kurang lebih 40 km/jam menyusuri tepi Sungai Kenten dan masuk ke anak sungai menuju ke pedesaan.
Dalam perjalanan di alur anak sungai yang lebarnya kurang lebih 50 meter kami merasakan ketenangan, gelombang air dan angin lebih bersahabat, meluncur di sungai lebih bisa dinikmati. Namun tiba-tiba di sebelah kanan kurang lebih 4 meter dari speed boat kami melihat seekor anak buaya mengapung.
Karena rasa takut membayangi kami semua tidak ada yang berani menatapnya. Buaya kecil yang ukuran kurang lebih 1,5 meter itu tidak bereaksi walau dilintasi speed boat. Keadaan yang menakutkan itu semakin menjadi karena saat itu kondisi air surut.
Kejadian yang kami lihat itu baru kami bincangkan pada malam harinya di tempat penginapan dan semua menyatakan melihat buaya tersebut. Esok harinya, hari Jum'at kami melanjutkan perjalanan ke Desa Mukut juga menggunakan speed boat. Rencana akan lewat darat dibatalkan karena jalan berlumpur tidak dapat dilalui kendaraan.
Perjalanan dari Penugukan ke Mukut melewati sungai yang sunyi dan warna air kehitaman cukup menakutkan. Bahkan menurut juru mudi speed boat yang kami pakai buaya di sungai itu terkenal ganas. Setelah sehari ke Mukut esoknya kami melanjutkan perjalanan untuk pulang ke Palembang kembali lewat sungai dan berhenti di Pelabuhan PU Tanjung Api-Api. (Ichwan Hadi/bersambung)
Advertisement