Menemukan Diri Sendiri, Spiritualitas Terkini di Era Pandemi
"Ketika bertanya pelajaran apa yang diperoleh selama masa pandemi, saya menemukan banyak jawaban yang mengejutkan."
Demikian Kristin Samah, memberi komentar atas buku Denny JA, Spirituality of Happiness, Spiritualitas Baru Abad 21 Narasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Cerah Budaya Indonesia, 2020).
Pertanyaan itu ditujukan pada para peserta “Menulis untuk Kesehatan Mental,” yang diinisiasi untuk membantu orang-orang yang mungkin membutuhkan katarsis sebagai dampak kecemasan berlebihan memikirkan Covid-19.
Berikut catatan Kristin Samah:
Seorang ibu yang mengabdikan diri di sebuah panti asuhan mengaku tak bisa menghentikan air mata ketika mendengar anak-anak asuhnya meminta izin untuk berjualan. Anak-anak usia sekolah menengah pertama itu mau berjualan kopi dolce latte di depan panti, tempat mereka tinggal.
Andai saja permintaan itu untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, pastilah ia akan melarang. Namun keinginan berjualan didasari keinginan untuk membantu orang-orang tua di sebuah panti jompo yang pernah mereka kunjungi.
Dan sebuah kebahagiaan tak terduga, berkecambah di hati anak-anak, juga para orang tua yang menjadi pendamping. Mereka menyiapkan bahan, meramu kopi, mengemas, menjual, dan menghitung pendapatan, semuanya dilakukan dengan sukacita.
Kalau pun ada perdebatan, itu terjadi ketika memutuskan bingkisan apa yang akan dikirim untuk oma, opa, kakek, nenek, yangti, yangkung, yang sosoknya pernah mereka temui. Kebahagiaan yang muncul karena menyadari, dalam keterbatasan di panti asuhan, ketika dana operasional dipotong 40%, mereka justru memikirkan orang lain.
Lain lagi yang diceritakan seorang pria yang tidak pernah mengenal benih, pupuk, dan media tanam selama hidupnya. Melihat halaman rumah yang terlihat gersang, ia mulai berteman dengan toko online yang menyediakan tanaman-tanaman mudah perawatan. Setiap pagi, ia merasakan semangat baru.
Ia berkenalan dengan petunia, nemophila, blue eyes, morning glory, dan beberapa jenis tanaman bunga lainnya yang mekar di pagi hari, kemudian layu menjelang jam makan siang. Dari bunga-bunga yang dijual murah, ia belajar tentang makna kehidupan. Tidak ada keindahan yang bertahan selamanya. Semua ada kadaluwarsanya, termasuk popularitas, kejayaan dalam meraih karir.
Satu lagi kisah unik yang dialami seorang peserta adalah kegembiraannya ketika bisa bertemu dengan teman-teman lama, justru ketika tubuhnya tidak boleh kemana-mana. Reuni dengan teman-teman yang sehati-sejiwa bisa dilakukan kapan saja.
Ia seperti menemukan spirit baru karena pada teman-teman yang selama ini berjauhan jarak, bahkan tidak memiliki himpitan kepentingan maupun pekerjaan, justru ditemukan ketulusan persahabatan. Ia tak perlu memoleskan bedak tebal karena masing-masing sudah tahu buruk rupa tanpa make up.
Begitulah orang-orang menemukan dirinya sendiri di era pandemi. Kebahagiaan didapat bukan saat turun dari mobil mewah, kemudian petugas hotel atau mal membukakan pintu, melihat kilat sepatu mahal, sambil berpura-pura kerepotan membawa tas, sekadar menarik perhatian mata agar merek dapat terlihat.
Masih banyak kisah inspiratif yang ditemukan ketika peserta kelas “Menulis untuk Kesehatan Mental” berbagi pengalaman. Dalam keterbatasan ruang gerak, banyak orang justru menemukan betapa luasnya ruang ekspresi cinta kasih pada sesama. Keterpurukan justru membangkitkan solidaritas yang selama ini tergerus kesibukan, atas nama pekerjaan, termasuk gaya hidup.
Kisah-kisah itu seperti menjadi bukti kecil pada konsep flow yang dikembangkan Mihaly Csikszentmihalyi seperti dikutip Denny JA pada buku terbarunya, Spirituality of Happiness. Banyak orang melibatkan diri secara total pada aktivitas yang sedang ditekuni. Menemukan kebahagiaan yang tidak membutuhkan imbalan dari luar dirinya, karena motivasi melakukan kegiatan itu bukan berasal dari instruksi atau perintah melainkan muncul dari dalam dirinya.
Denny mengkategori kebahagiaan semacam itu sebagai prinsip ketiga dari spiritualitas baru: Passion. Terlibat sepenuh hati. Apa pun yang dilakukan, sentuhlah dengan sepenuh cinta.
Demikian catatan Kristin Samah, penulis dan konsultan komunikasi.
Advertisement