Menelusuri Relief Saulah di Bukit Sumber Kuro Banyuwangi
Hari itu wilayah Kecamatan Licin, Banyuwangi, sedang hujan gerimis. Namun tak menyurutkan niat saya menelusuri lokasi Relief Saulah yang berada di sekitar kawasan bukit Sumber Kuro, Dusun Serampon, Desa Segobang, Kecamatan Licin, Banyuwangi.
Relief ini dikenal dengan nama Relief Saulah karena konon pembuatnya adalah Saulah. Pria yang diperkirakan berumur sekitar 30-an tahun.
Menurut warga setempat, Relief Saulah berada di balik bukit Sumber Kuro. Semangat saya bertambah kuat karena ada penduduk setempat yang bersedia menunjukkan jalan menuju ke lokasi situs tersebut. Maklum saja, saya benar-benar buta dengan wilayah itu.
Dia adalah Sahuri, 47 tahun. Kebetulan dia hendak menuju sawahnya yang satu jalur dengan tujuan kami. Dia pun melangkah memimpin perjalanan yang saya sendiri tidak tahu akan memakan waktu berapa lama.
"Nanti saya antar sampai surau di pinggir sungai. Setelah itu jalan sendiri ke sana. Saya tunjukkan arahnya saja," kata Sahuri sambil berjalan dengan sepatu bootnya.
Dari jalan Desa Segobang, kami menyusuri jalan setapak di antara hijaunya persawahan. Kondisi jalan setapak ini licin dan penuh lumpur akibat hujan yang sudah beberapa jam melanda tempat itu. Beberapa ratus meter kemudian perjalanan kami sudah sampai di bibir jurang yang sangat curam.
Langkah Sahuri berhenti. Dia menunjuk ke arah bukit indah di hadapan sana. Di kaki bukit itu tampak hamparan persawahan hijau yang menyejukkan mata. Terlihat sungai besar di bawah kami. Namun gemericik airnya sama sekali tak terdengar karena memang jaraknya yang sangat jauh di bawah sana.
"Ukirannya (relief) letaknya di balik bukit itu. Nanti lewatnya di sana," terang Sahuri sambil menunjuk ke arah bukit yang berada di kejauhan itu.
Sahuri memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan. Kami harus melangkah dengan hati-hati dan perlahan. Selain licin, jalannya juga sangat curam. Untung saja, beberapa puluh meter kemudian sudah tidak ada lagi tanah becek. Karena dasar jalan sudah berganti batu paras.
Paling tidak ini sudah mengurangi energi yang saya perlukan untuk menuruni jalan curam itu. Betapa tidak, dengan berat badan saya yang jauh melebihi berat badan ideal ini, cukup payah untuk menaklukkan jalur ekstrem seperti ini.
Akhirnya perjalanan kami tiba di dasar jurang. Di sana terdapat sebuah surau di pinggir sungai besar. Sayang kami tak bisa menikmati segarnya sungai itu, karena air sungai sedang keruh. Kami sempat berhenti sejenak untuk menghela napas. Saat itulah terdengar kalimat yang sangat membahagiakan dari guide kami, Sahuri.
"Saya antar sampai ke tempat ukiran (relief) itu, saya kasihan. Takutnya tersesat," katanya.
Kalimat itu seperti mengobati lelah yang saya rasakan. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Menyeberangi sungai melalui jembatan kecil. Setelah itu kami kembali menelusuri area persawahan yang tadi tampak dari bibir jurang.
Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara gemericik air. Saya sempat penasaran dari mana asal suara itu. Beberapa langkah pertanyaan itu terjawab. Tepat di sebelah jalan setapak, persisnya di bawah rimbunnya pepohonan bambu tampak air terjun yang cukup indah. Ketinggian air terjun itu kurang lebih 7 meter. Tapi lagi-lagi kami tak bisa menikmati lebih lama air terjun itu, karena harus fokus ke tujuan kami, yakni bukit Sumber Kuro.
Kami mulai memasuki area bukit Sumber Kuro. Cukup terjal dengan sisa tenaga yang kami punya. Tidak terasa sudah lebih dari dua kilometer kami lewati. Pendakian bukit ini harus ditempuh melalui jalan yang sangat kecil. Sahuri menyebut yang sedang kami lewati ini adalah jalan pintas. Ada jalan lain yang tidak terlalu terjal, tapi jaraknya lebih jauh.
Di sini, kami harus ektra hati-hati. Jika terpeleset bisa berbahaya. Risikonya jatuh ke jurang. Belum lagi rawan tertimpa buah durian. Karena di sepanjang jalan setapak itu, di kiri kanan banyak ditumbuhi pohon durian yang buahnya sewaktu-waktu bisa jatuh.
Setelah kurang lebih satu kilo meter perjalanan, kami sampai di sebuah sungai kecil. Sahuri berhenti di pinggir sungai itu. Kemudian dia menunjuk ke tebing yang berada di sebelahnya.
"Kita sudah sampai, ini ukiran (relief)-nya," kata Sahuri sembari membersihkan tumbuhan liar yang menutupi relief itu.
Sejenak saya terdiam, seolah tak percaya sudah melihat langsung Relief Saulah. Ada relief bergambar mirip patung sepasang raja dan ratu. Salah satu relief tampak menyatukan telapak tangannya di depan dada. Sementara satu lagi meletakkan telapak tangan di bagian dada dengan posisi lengan bersilang.
Pada bagian kanan patung itu terdapat semacam tangga. Di ujung tangga, terdapat ukiran yang mirip bunga melati. Di bagian kiri terdapat relief tulisan Arab gundul terbaca Ahmada Saulah. Persis di bawah tulisan Arab itu terdapat tulisan 'Saulah'.
"Kalau dulu tempat ini dikenal dengan nama Sumber Kuro. Sejak adanya relief ini akhirnya disebut dengan Saulah," katanya.
Relief ini berada di tebing batu paras yang berbatasan langsung dengan sungai kecil. Kemiringan tebing ini sekitar 70 atau 80 derajat. Dimensinya, tinggi sekitar 3 meter, sedangkan lebarnya sekitar 6 meter.
"Dulu ini ukiran tertutup tumbuhan. Saat pertama kali ditemukan bersih sekali, tidak ada lumutnya seperti sekarang ini," jelas Sahuri.
Setelah puas menikmati keindahan Relief Saulah, kami memutuskan untuk pulang. Karena hari sudah mulai sore. Sebelum pulang, kami sudah mengabadikan Relief Saulah dengan kamera ponsel. Sambil menempuh perjalanan kembali ke Desa, Sahuri menceritakan siapa Saulah.
Sahuri menuturkan, Saulah adalah pemuda asli Dusun Serampon, Desa Segobang, Kecamatan Licin. Pada era pemerintahan Presiden SBY, pemuda yang dikenal pandai dan rajin mengaji ini menyendiri ke Bukit Sumber Kuro.
Tahun berganti akhirnya ditemukanlah relief tersebut. Karena ada tulisan Saulah pada relief tersebut, masyarakat setempat meyakini relief itu buatan Saulah. Selain itu warga ada yang pernah melihat Saulah di sekitar tempat itu.
"Ada juga masyarakat yang bilang Saulah meminjam cangkul dan parang pada warga," kata Sahuri.
Di tengah perjalanan, kami bertemu seorang ibu-ibu bernama Isniyah, 50 tahun. Perempuan ini sejak pagi menjaga pohon durian. Kebetulan buahnya sudah saatnya jatuh. Kami pun berjalan beriringan. Kebetulan juga dia hendak pulang. Setelah mendapatkan penjelasan dari Sahuri, Isniyah pun ikut bercerita yang dia ketahui tentang Saulah.
"Dia masih muda, waktu itu dia belum menikah. Anaknya sangat baik," jelasnya.
Mereka berdua menyatakan, tidak ada masyarakat yang tahu persisnya kapan relief tersebut dibuat. Warga menemukan Relief Saulah ini secara tidak sengaja pada pertengahan tahun 2019 lalu. Kala itu Relief Saulah tertutup rimbunnya tumbuhan. Oleh warga, tumbuhan yang menutupi kemudian dibersihkan.
"Tapi saat itu Saulah sudah tidak ada di tempat itu. Bahkan, sampai sekarang tidak ada yang tahu dimana dia berada. Ada yang bilang sekarang bertapa di sebuah gunung," jelas Sahuri.
Tak terasa akhirnya kami tiba di perkampungan. Kami pun pamit untuk pulang. Kami sempat menanyakan kepada beberapa warga tentang keberadaan Saulah. Jawabannya semua sama. Tidak ada yang tahu. Ada juga yang menjawab Saulah sudah mukso atau menghilang.