Ikan di Muncar Banyuwangi, Tak Lagi Moncer Seperti Dulu
Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, dikenal sebagai salah satu penghasil ikan terbesar di Indonesia. Komoditi perikanan yang paling banyak dihasilkan nelayan Muncar adalah lemuru atau lebih dikenal dengan ikan sarden. Ikan dengan nama latin sardinella lemuru ini menjadi sumber mata pencaharian belasan bahkan puluhan ribu masyarakat Muncar.
Melimpahnya ikan lemuru hasil tangkapan nelayan Muncar membuat wilayah ini menjadi jujukan investasi industri perikanan. Berbagai usaha bidang perikanan berdiri. Sebut saja pembekuan ikan, pabrik tepung ikan, dan pengalengan ikan. Kelezatan ikan lemuru kaleng asal Muncar bahkan sudah dinikmati di penjuru dunia.
Dinas Perikanan Kabupaten Banyuwangi mencatat ada puluhan perusahaan pengolahan ikan di Muncar. Rinciannya, 13 perusahaan pengalengan ikan, 41 perusahaan cold storage dan 17 perusahaan penepungan ikan.
Dalam beberapa tahun terakhir, ikan lemuru hasil tangkapan nelayan Muncar mulai menurun. Penurunan ini mulai dirasakan kurang lebih 10 tahun lalu. Jumlah tangkapan ikan nelayan Muncar terus berkurang. Tentu saja hal ini sangat berdampak bagi 13 ribu nelayan yang menggantungkan hidup sebagai nelayan.
Ketua Dewan Pengurus Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPC HNSI) Banyuwangi, Hasan Basri menyatakan, sumber daya ikan khususnya ikan lemuru sudah mulai berkurang. Kondisi ini menurutnya sudah terjadi sejak tahun 2011.
“Sumber daya ikan yang ada di laut semakin tahun semakin kurang. Sudah sejak 2011 sampai sekarang,” jelas nelayan berusia 57 tahun, saat berbincang dengan Ngopibareng.id, Jumat, 6 Januari 2023.
Pada masa kejayaannya, ikan lemuru tangkapan nelayan Muncar melimpah ruah. Menurut Hasan, panggilan Hasan Basri, pada masa itu seluruh kebutuhan pabrik pengalengan terpenuhi bahkan berlebih. Saat bahan baku untuk pengalengan ikan sudah terpenuhi, pasokan ikan dialihkan ke pabrik tepung ikan atau pengasin ikan.
Menurutnya, salah satu penyebab menurunnya jumlah tangkapan ikan nelayan Muncar adalah banyaknya nelayan yang menggantungkan pencarian ikan di selat Bali dan sekitarnya. Sehingga semakin banyak alat tangkap ikan yang bertebaran di Selat Bali.
“Total nelayan di Banyuwangi ada 27 ribu, nelayan Muncar sebanyak 13 ribu,” bebernya.
Di Muncar ada dua jenis nelayan. Pertama, nelayan kecil yang menggunakan perahu di bawah 5 GT dan nelayan besar yang menggunakan kapal Slerek dengan mesin berkekuatan hingga 30 GT. Nelayan kapal Slerek ini terbagi dua yakni Slerek dengan satu kapal dan dua kapal. Nelayan Slerek yang menggunakan dua kapal, masing-masing kapal berfungsi sebagai pemburu dan penarik jaring ikan.
Penurunan hasil tangkapan nelayan Muncar, menurutnya pernah mencapai di bawah 50 persen. Namun setiap tahun tingkat penurunan yang terjadi berbeda-beda. Naik turun. Jika dirata-rata menurutnya penurunan hasil tangkapan nelayan Muncar mencapai angka 40 persen.
“Fluktuatif, tapi kecenderungannya sampai 40 persen,” jelasnya.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tidak menampik terjadinya penurunan sumber daya ikan nelayan Muncar. Dinas Perikanan Banyuwangi mencatat produksi ikan Nelayan Muncar memang mengalami tren penurunan. Namun secara statistik tingkat penurunannya tidak terlalu tajam.
“Grafiknya tidak terlalu menurun setiap tahun. Angkanya naik turun, tapi trennya dirata-rata itu turun,” jelas Sekretaris Dinas Perikanan Kabupaten yang Suryono Bintang Samudra.
Suryono menjelaskan, untuk mengetahui secara persis penyebab turunnya hasil perikanan tangkap nelayan Muncar ini tidaklah mudah. Namun secara umum, faktor yang paling dominan menjadi pemicu adalah terjadinya pemanasan global dan juga fenomena alam La Nina yang kerap melanda.
Tahun ini, menurutnya, La Nina diperkirakan terjadi lebih panjang sampai empat bulan. Fenomena alam ini menyebabkan terjadinya perubahan suhu permukaan air laut dan menjadi salah satu penyebab terjadinya cuaca buruk.
Perubahan suhu membuat plankton yang menjadi salah satu sumber makanan ikan menjadi tidak normal. Jika musim panas, plankton tumbuh dengan baik sehingga ikan lemuru melimpah.
“Penyebab utamanya adalah musim yang tidak menentu,” bebernya.
Faktor lain yang dimungkinkan menjadi penyebab turunnya tangkapan nelayan Muncar yakni zona penangkapan ikan yang tersentral di Selat Bali. Pada saat yang sama, di Selat Bali alat tangkapnya sudah sangat banyak akibat semakin bertambahnya jumlah nelayan di Banyuwangi. Seluruh nelayan ini memburu ikan di sekitar Selat Bali yakni di wilayah perairan Muncar dan di dekat Bali.
“Jumlah nelayan naik terus di Banyuwangi. Tapi nelayan kecil. Kalau nelayan besar tidak ada perubahan, jumlah alat tangkap besar yakni Slerek tidak ada perubahan,” terangnya.
Dampak Penurunan Sumber Daya Ikan Lemuru
Beberapa tahun belakangan Dinas Perikanan Banyuwangi melihat perubahan perilaku nelayan khususnya nelayan kecil dengan perahu di bawah 5 GT. Cara nelayan menangkap ikan beralih dari menggunakan jaring ke menggunakan pancing. Perubahan perilaku ini terjadi pada hampir seluruh nelayan Banyuwangi tidak terkecuali nelayan Muncar.
“Kebanyakan nelayan banyak yang memancing. Jadi mereka banyak yang melakukan kegiatan penangkapan ikan tidak pakai jaring tapi pemancingan,” jelasnya.
Memancing ini menjadi hal yang baru yang dilakukan banyak nelayan Banyuwangi. Ditambah lagi banyak pemancing dari luar daerah yang membutuhkan perahu untuk memancing membuat nelayan tergiur untuk menyewakan kapalnya. Khusus di wilayah Muncar, perahu kecil banyak disewakan kepada fishing traveling, penghobi mancing dari luar Muncar.
Ibarat sambil menyelam minum air, dengan menyewakan perahunya, nelayan bisa merangkap sebagai nakhoda dan juga ikut memancing saat mengantar penyewa. Dengan demikian, nelayan bisa tetap mencari ikan dengan memancing tapi biaya operasionalnya ditangung penyewa perahu.
“Walaupun cuma dapat beberapa kilo tapi nilai ekonomisnya tinggi. Mereka tidak menghitung volume hasil tangkapan. Tapi nilainya ikan itu lebih tinggi,” katanya.
Perubahan perilaku nelayan menjadi nelayan ikan pancing ini juga dipengaruhi tumbuhnya dunia pariwisata Banyuwangi. Seiring tumbuhnya dunia pariwisata, semakin banyak rumah makan atau restoran yang menyajikan makanan hasil laut.
Kondisi ini juga diakui Hasan Basri. Nelayan Muncar dengan kapal di bawah 5 GT sudah banyak yang beralih menjadi nelayan pancingan. Mereka lebih memilik mencari ikan pancingan yang pasarnya lebih banyak dan secara ekonomi lebih menjanjikan.
“Sejak destinasi wisata mulai tumbuh sudah mulai banyak nelayan yang beralih ke nelayan pancing,” katanya.
Peralihan nelayan menjadi nelayan pancing ini, menurut Hasan Bisri merupakan salah satu dampak dari penurunan jumlah tangkapan ikan lemuru yang didapat nelayan Muncar. Nelayan melihat peluang pendapatan yang lebih baik dengan menjadi nelayan pancing akibat sulitnya mendapatkan ikan lemuru.
“Yang menjadi primadona itu ikan lemuru. Sekarang sulit untuk mencari lemuru itu,” tegasnya.
Dampak menurunnya sumber daya ikan lemuru turut memberikan dampak bagi industri perikanan yang ada di wilayah Muncar. Khususnya pengusaha cold storage dan pabrik tepung ikan. Sejumlah pabrik tepung ikan berhenti beroperasi akibat tidak adanya bahan baku ikan.
Kholifil, seorang penanggung jawab pencari ikan di perusahaan cold storage UD Putra Samudera, Muncar, menyatakan, saat ini banyak perusahaan cold storage yang tidak beroperasi akibat tidak adanya ikan. Kondisi ini, menurutnya terjadi setiap tahun. Apalagi pada saat musim hujan, ikan sangat sulit didapatkan.
“Ikannya yang tidak ada, kalau nelayan meskipun ada badai, meskipun ada ombak tetap berani,” kata pria 27 tahun ini.
Khofili yang sudah 10 tahun bekerja di perusahaan cold storage ini, kondisi paceklik ikan ini biasanya berlangsung selama 2-3 bulan. Antara bulan November sampai Februari. Jika tidak ada ikan, maka mesin cold storage tidak dioperasikan.
“Biasanya kalau ikan lagi banyak, stok ikan di cold storage dipenuhi kalau pas tidak ada ikan tinggal menjual saja stok yang ada,” ungkapnya.
Kondisi lebih buruk terjadi pada pabrik pembuatan tepung ikan. Berdasarkan data Dinas Perikanan Banyuwangi, di Muncar terdapat 17 perusahaan tepung ikan. Sebanyak 80 persen dari pabrik tepung ikan ini tidak lagi berproduksi.
“80 persen perusahaan penepungan ikan tidak berproduksi, bukan karena mereka bangkrut tapi karena memang bahan materialnya tidak ada,” tegas Khofili.
Saat ini sebenarnya mulai ada nelayan yang mendapatkan lemuru. Namun ukurannya kecil. Karena ukuran ikan di bawah kebutuhan, ikan lemuru ini tidak bisa digunakan sebagai bahan baku untuk penepungan ikan ataupun pengalengan ikan.
“Sementara tutup, berhenti operasional karena tidak ada bahan baku. Nanti kalau ada bahan baku beroperasi lagi,” katanya.
Ngopibareng.id sempat mengunjungi sebuah pabrik pembuatan tepung ikan di wilayah Muncar. Karena sudah lama tidak beroperasi kondisi mesin pengolahan tepung sudah memprihatinkan dan tampak mulai rusak. Pihak perusahaan tidak bisa berbuat apa-apa karena bahan bakunya yang memang tidak ada.
Untuk mengulas lebih dalam dampak menurunnya ikan bagi pengusaha pabrik tepung ikan, Ngopibaren.id sudah berupaya menghubungi pengurus Asosiasi Pengalengan dan Penepungan Ikan di Muncar. Namun hingga berita ini ditulis belum ada respons dari pihak pengurus APPI.
Upaya Meningkatkan Tangkapan Ikan Dan Melindungi Sumber Daya Ikan
Nelayan di Banyuwangi, didominasi nelayan kecil dengan perahu di bawah 5 GT. Dengan kapal jenis ini, fishing ground hanya sejauh 4 mil ke bawah. Apalagi zona penangkapan mereka hanya terbatas di selat Bali dan sekitarnya yang sudah padat tangkap. Sehingga mau tidak mau harus berebut dengan nelayan lainnya. Untuk mendapatkan ikan lebih banyak, nelayan diminta berani melakukan ekspansi ke zona penangkapan ikan.
“Kalau mereka berani berekspansi, mereka harus mencari ikan ke zona empat mil ke atas. Lebih luas lagi,” kata Sekretaris Dinas Perikanan Banyuwangi Suryono Bintang Samudera.
Dari sisi sumber daya ikan, Suryono menyebut Selat Bali hanya memiliki potensi sekitar 36 ribu ton ikan saja. Jika nelayan berani berekspansi ke pantai selatan maka potensi tangkapan ikan akan lebih besar lagi. Di kawasan pantai selatan Banyuwangi, menurutnya terdapat potensi ikan sebanyak 212 ribu ton.
“Yang tidak dikelola secara optimal itu yang di pantai selatan. Sayang sekali tidak dimanfaatkan,” katanya.
Untuk nelayan besar yang memiliki kapal di atas 5 GT bisa berburu ikan hingga sejauh 12 mil. Bahkan jika nelayan besar mau, akan lebih optimal jika memanfaatkan zona penangkapan ikan 12 mil ke atas. Namun, untuk mengambil peluang ini, alat tangkap yang ada saat ini perlu diperbaharui.
Alat tangkap yang dimiliki nelayan Slerek Muncar itu, menurutnya, masih banyak yang menggunakan dua kapal. Dari sisi alat tangkapnya metode tangkap ikan seperti ini menurutnya sudah tidak efektif dan efisien. Menggunakan dua kapal tentunya akan lebih boros.
“Kalau tidak musim ikan, tidak berani melaut, mereka rugi di biaya operasional. Kalau kapal yang sudah desainnya satu kapal berani berangkat,” ungkapnya.
Sementara itu, pemerintah pusat juga berupaya melindungi sumber daya ikan yang ada di perairan Indonesia dengan menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT). Dengan aturan ini, penangkapan ikan dilakukan dengan berbasis kuota.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Muhammad Zaini menyatakan setiap kapal nelayan akan diberikan kuota penangkapan ikan untuk masa tangkap selama satu tahun. Kuota ini didasarkan pengajuan dari nelayan pemilik kapal.
“Tujuan utama untuk melindungi sumber daya ikan. Kalau yang boleh diambil 10 ya 10,” tegasnya saat mengunjungi pelabuhan Perikanan di Banyuwangi Sabtu, 7 Januari 2023 lalu.
Dia menjamin seluruh nelayan termasuk nelayan dengan kapal kecil akan diberikan kuota. Karena kuota penangkapan ikan terukur ini berbasis kapal. Dia menegaskan berapa pun kuota yang diajukan nelayan akan diberikan. Dengan catatan harus sesuai dengan kemampuan tangkapnya.
Selama ini, produktivitas ikan yang dilaporkan nelayan banyak yang tidak sesuai dengan fakta. Nelayan yang sebenarnya misalnya mendapatkan tangkapan tiga ikan disampaikan hanya mendapat satu ikan saja. Dengan kebijakan penangkapan ikan terukur ini, hasil tangkapan ikan tidak bisa dimanipulasi lagi.
Sebab, jika dilaporkan mendapatkan sedikit, maka kuota yang didapat kapal tersebut pada tahun berikutnya juga kecil. Karena disesuaikan dengan hasil tangkapan yang dilaporkannya. Sebaliknya, jika dilaporkan terlalu tinggi, maka nelayan yang bersangkutan tidak akan mencapai kuota tersebut.
“Dan bayarnya lebih mahal,” tegasnya.
Kebijakan penangkapan ikan terukur ini, menurut Zaini, sudah diuji coba mulai Januari ini di zona III yaitu di Papua, Maluku sampai Kendari. Untuk daerah lain akan diterapkan secara bertahap dengan penerapan metode pasca produksi. Pasca produksi ini, kata dia, merupakan cikal bakal penerapan penangkapan ikan terukur.
“Penerapan mulai tahun ini, pertengahan bulan ini PP-nya selesai, perangkat bawahnya juga selesai. Mudah-mudahan akhir bulan ini bisa kita terapkan di zona III. Zona lain akan mengikuti semua,” ujarnya.
Di tingkat nelayan, HNSI juga berupaya untuk memulihkan sumber daya ikan di selat Bali. Selama beberapa tahun terakhir, HNSI telah melakukan penanaman terumbu karang, dan hutan mangrove. Bersama dinas terkait, pihaknya melakukan edukasi pentingnya hutan mangrove.
Hasan Basri menambahkan, para nelayan diberikan pemahaman agar tidak memakai alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti bom, potasium. Karena metode itu bisa merusak habitat ikan di laut.
“Kita berikan edukasi juga. Pemahaman tentang kondisi laut dalam rangka mengembalikan sumber daya ikan,” jelasnya.