Meneguhkan Jogja Sebagai Destinasi Wisata Musik Jazz
JOGJA - Para pecinta musik jazz, mestinya menjadikan Jogja sebagai daftar wajib kunjung untuk menikmati musik kecintaannya. Sejumlah pertunjukan musik jazz telah teragendakan dengan baik dan sudah berlangsung bertahun-tahun. Mulai yang tampil di pedesaan, di kawasan heritage, di gedung pertunjukan maupun di kampus.
Sejumlah pertunjukan musik jazz bisa disebut sudah identik dengan kota Jogja. Seperti Ngayogjazz, Prambanan Jazz, Economic Jazz Live atau kemudian dikenal dengan UGM Jazz serta Jazz Ben Senen.
Identik tidak hanya dari nama yang khas Jogja serta lokasi pertunjukan memang di Jogja. Identik ini berasosiasi pula dengan nuansa Jogja sebagai kota pelajar atau mahasiswa, yakni berisi penghuni dengan “kantong tipis”. Maka, yang paling "dekat" dengan Jogja adalah soal harga. Selama ini, Jogja dikenal sebagai kota dengan harga-harganya yang murah.
Banyak wisatawan mengakui, makan di Jogja itu, enak dan murah. Barang kerajinan atau suvenir di Jogja itu bagus-bagus, kreatif dan murah. Oleh-oleh di Jogja itu beragam dan murah. Celoteh yang menggambarkan murahnya Jogja mudah didengar di kerumunan orang yang baru keluar warung makan. “Makan segini banyak orang cuma habis selembar doang....”
Nah, untuk pertunjukan musik jazz di Jogja ini, harga murah juga menjadi ciri khas dan keunggulan tersendiri. Bahkan, ada lho pertunjukan jazz yang digelar gratis. Ya, menonton Ngayogjazz, pertunjukan jazz sehari penuh yang digelar di desa-desa wisata atau desa budaya, tidak dipungut beaya. Alias gratis!
Anda mau menikmatinya? Untuk tahun 2018 ini, Ngayogjazz digelar pada 17 November 2018 Di Desa Gilangharjo, Pandak, Bantul. Sejumlah musisi jazz lokal, nasional maupun mancanegara tampil di beberapa panggung yang digelar di Ngayogjazz. Ngayogjazz 2018 mengambil tema “Negara Mawa Tata, Jazz Mawa Cara.” Ngayogjazz dimulai pada pukul 10.00 WIB hingga selesai tengah malam.
Penonton Ngayogjazz yang datang dari luar kota hanya perlu bayar ojek ke lokasi pertunjukan. Dan itu pemandangan yang jamak terjadi saat Ngayogjazz dihelat. Jalur menuju desa tempat digelarnya Ngayogjazz akan banyak dijumpai pengendara motor dengan jaket hijau hitam dan helm berlogo ojek online. Penikmat Ngayogjazz bisa kulineran juga di warung-warung yang buka di lokasi.
Soal "stamina" pertunjukan ini, bisa dilihat dari keberlangsungan Ngayogjazz hingga tahun 2018 ini. Pertama kali digelar tahun 2007, pertunjukan ini terus bertahan sampai sekarang. Dengan penonton yang selalu berjubel. Kendati hujan saat berlangsungnya acara. Itu artinya sudah satu dasawarsa lebih.
Konser jazz yang juga identik dengan Jogja adalah Economic Jazz Live (EJL). Digelar pertama tahun 1987 dengan konsep "harga mahasiswa." Bahkan setelah "bermetamorfose" menjadi pertunjukan kelas dunia sejak 2011, harganya pun tetap "kelas angkringan." Bayangkan, kendati konser berisi kombinasi musisi jazz papan atas dunia dengan para musisi dan penyanyi terbaik nasional, konser tersebut bisa disaksikan dengan harga tiket yang sangat bersahabat.
Untuk tahun 2018 ini, tiket UGM Jazz berkisar antara Rp 200 (kelas silver) hingga Rp 800 (diamond) saja. Padahal yang tampil adalah Diva Pop Indonesia Ruth Sahanaya, Kunto Aji dan Legenda Pianis Dunia Bob James bersama kelompok Trio-nya Michael Pallazolo dan Ronald Otis. Ada pula Candra Darusman. Menonton konser tunggal Ruth Sahanaya atau Kunto Aji di tempat lain, bisa saja membayar jutaan. Yang ini, masih ditambah musisi kelas dunia yang punya nama, tiket termahalnya masih di bawah sejuta.
Tak pelak, UGM Jazz menjadi langganan para penggemar musik jazz. Pernah ada penonton yang datang dari Kuala Lumpur saat Casiopea tampil. "Kali ini ada yang dari Korea Selatan karena ingin lihat Bob James," kata Artha, project manager UGM Jazz 2018.
Penonton dari kota-kota dari luar Jogja, juga selalu menjadikan UGM Jazz sebagai langganan untuk "pulang kampung" bernostalgia dengan Jogja. Mereka yang pernah kuliah di Jogja, yang pernah menikmati pergelaran ini saat menuntut ilmu dulu, menemukan oase nostalgik. Apalagi tahun 2018 ini, UGM Jazz juga bernuansa nostalgia.
Ruth Sahanaya yang dipercaya Universitas Gadjah Mada (UGM) mendampingi Bob James, untuk tampil di Grand Pacific, Yogyakarta, Sabtu (3/11) ini merupakan penyanyi yang diundang saat konser ini digelar pertama tahun 1987. Mereka yang dulu "hidup bersama" lagu-lagu hits seperti "Keliru, Masa Kecil, Seputih Kasih,
Andaikan Kau Datang, Memori, Tak Kuduga, Sinaran dan Ingin Kumiliki, bisa mengenangnya kali ini.
Uthe, sapaan akrab Ruth Sahanaya akan diiringi band yang dipimpin Edwin Saladin. Ini juga nama beken di musik jazz tanah air. Dan, menarik untuk ditunggu pula, Uthe yang bernostalgia menyanyikan dua lagu diiringi Candra Darusman, pianis pop-jazz pendiri grup Karimata dan Chaseiro.
"Lagunya apa, rahasia....nanti saja di saat konser," seloroh Uthe sembari melirik Candra Darusman saat konperensi pers UGM Jazz di Royal Ambarrukmo lantai 8, Jumat sore (2/ 11). Dalam konferensi pers ini hadir pula Bob James bersama Michael Pallazolo (basis) dan Ronald Otis (drummer) serta Promotor UGM Jazz Tony Prasetiantono. Uthe mengaku selalu excited memenuhi undangan jazz kampus UGM.
Menikmati jazz khas Jogja yang murah atau gratis juga bisa dilakukan di forum Jazz Ben Senen (Jazz Tiap Senin). Jazz Mben Senen hadir di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta setiap hari Senin malam, mulai pukul 20 WIB.
Selain Sabtu-Minggu, Hari Senin menjadi hari yang juga menyenangkan bagi komunitas Jazz Mben Senen dan anak-anak muda pecinta jazz. Hari yang mereka tunggu untuk berkumpul sekaligus berkawan dan berkesenian. Menikmati musik jazz layaknya sebagai salah satu kebutuhan yang harus mereka penuhi. Rela berdesakan, duduk di tikar bukan sesuatu yang memberatkan mereka. Hal ini tercermin juga dalam tulisan yang tertuang dalam kaos yang mereka pakai. “Thanks God This is Monday“.
Tentunya mereka sungguh terhibur oleh alunan musik yang dimainkan oleh teman-teman mereka sendiri yang tergabung dalam Komunitas Jazz Mben Senen. Bahkan, kadang-kadang mereka memperoleh suguhan musik yang dimainkan musisi tamu luar kota. Kurang piye Dab?
Jadi, menikmati jazz di Jogja, bisa dijadikan agenda tahunan atau mingguan. Berwisata musik, menikmati musik berkualitas dengan "harga" dan suasana khas Jogja. Tentu penuh dengan romansa nostalgia. Monggooo. (Erwan Widyarto)