Mendoakan Non-Muslim, Adakah Dosa Turunan?
Seorang Yahudi yang telah beruban pernah datang untuk memerah susu unta untuk Baginda Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau kemudian mendoakannya اللهم جمله (Ya Allah, buatlah dia jadi tampan). Setelah itu rambut orang Yahudi tersebut kembali menghitam dan dia berumur lebih dari 90 tahun tanpa beruban.
(al-Baihaqi, Dala'il an-Nubuwwah)
Dosa Turunan?
Beberapa hari lalu saya menulis berdasarkan "ilmu titen" bahwa keburukan yang dilakukan seseorang kepada orang lain biasanya suatu saat akan kembali pada orang tersebut atau kalau tidak maka kembali ke anak atau cucunya.
Tak sedikit pembaca yang memahaminya seolah saya menetapkan dosa turunan dan sebagian lagi menyangka ya sebagai karma. Sebagian lagi bertanya mengapa yang salah orang tuanya tapi yang menerima keburukannya adalah keturunannya? Karena capek menjawabnya satu persatu, maka saya jawab dalam status khusus saja.
Dosa turunan tidak dikenal dalam Islam. Ia adalah konsep yang ada dalam agama lain. Demikian juga dengan karma, ini juga ajaran agama lain yang meyakini bahwa manusia bereinkarnasi dan bahwa amal perbuatan pada kehidupan sebelumnya berpengaruh pada kehidupan selanjutnya. Semua keyakinan ini salah besar dalam konsep Islam.
Empat Kali Firman
Allah Ta'ala dengan jelas dan tegas sebanyak 4x berfirman:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةࣱ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ
"Seorang pendosa tidak akan memikul dosa orang lain"
Artinya, bila misalkan seorang bapak mencuri, membunuh, memperkosa dan seterusnya, dosanya di akhirat hanya akan dipikul oleh bapak tersebut. Anak cucunya sama sekali tidak akan mendapat secuil pun beban dosanya. Saya kira ini sangat jelas.
Akan tetapi ada hal lain yang akan berdampak pada keturunan, yakni musibah. Semua orang selama hidup di dunia pasti diberi musibah, baik sebagai hukuman atau sebagai ujian. Jangankan orang zalim, para nabi dan rasul pun sama diberi kok, bahkan makin baik makin berat ujiannya, kata Nabi Muhammad dalam salah satu hadisnya. Hanya saja, bentuk musibah ini bermacam-macam.
Nah, dalam "ilmu titen" orang yang melakukan bentuk kezaliman pada orang lain biasanya bentuk musibah yang akan diterima olehnya atau keturunannya adalah yang sejenis dengan bentuk kezaliman yang dia lakukan. Dengan demikian orang tersebut akan merasakan efek perbuatannya sendiri pada dirinya atau pada orang yang dia kasihi sebagaimana korbannya di masa lalu dan keluarganya merasakan hal yang sama.
Musibah ini menjadi hukuman bagi pelaku kezaliman itu dan menjadi ujian bagi anak turunnya yang kebetulan mengalaminya. Bila anak turunnya mempunyai watak yang sama dengan orang tuanya (sama-sama zalimnya), maka musibah tersebut juga menjadi hukuman baginya juga. Biasanya, yang mengalami "musibah turunan" ini adalah anak yang mewarisi sifat orang tuanya, tidak berlaku untuk semua anak atau semua cucunya.
Perlu diingat, meskipun si anak menjadi anak shaleh bahkan menjadi waliyullah sekalipun, dia akan diberi musibah selama dia hidup di dunia. Jadi, musibah akan tetap menimpanya baik orang tuanya adalah orang zalim atau orang shalih. Hanya soal jenis musibahnya saja yang berbeda namun bebannya sama. Dengan demikian, hal ini tidak dapat disimpulkan terbalik bahwa apa yang menimpa keturunan adalah hasil perbuatan orang tuanya sebab meskipun orang tuanya baik sekalipun, seseorang akan selalu diberi musibah selama dia hidup.
Jadi, bedakan antara "dosa turunan" dan "musibah turunan". Yang pertama tidak ada dalam ajaran Islam. Yang kedua tidak bertentangan keberadaannya dengan dengan ajaran islam.
Semoga bermanfaat. (Abdul Wahab Ahmad)
Sumber: akun facebook abdul wahab ahmad.
Advertisement