Mendikbud Nadiem Dinilai Tidak Memiliki Wawasan Filosofi Sejarah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dinilai tidak memiliki wawasan filosofi dan sejarah yang memadai dalam memimpin Kementerian Pendidikan Nasional selama ini. Penilaian itu disampaikan anggota Komite I DPD RI, Abdul Rachman Thaha, dalam keterangan tertulis, yang diterima Ngopibareng.id Kamis 22 April 2021.
Abdul Rachman Thaha mengaku kekhawatirannya semakin kuat bahwa Indonesia kian nyata mau dibawa ke era abai sejarah dan sekulerisme. Beruntun masyarakat dipertontonkan kecenderungan itu.
Sebelumnya, tentang peniadaan pendidikan agama. Lalu larangan bahkan terhadap sebatas imbauan bagi siswa sekolah negeri untuk mengenakan busana sesuai ajaran agamanya.
Lebih lebar lagi, perlakuan hukum yang diskriminatif terkait protokol kesehatan di masa pandemi. Juga, pemerasan Pancasila menjadi Ekasila, menunggangi pernyataan Bung Karno untuk menafikan sila pertama Pancasila.
"Sekarang, hilangnya nama KH. Hashim Asyari dari buku sejarah. Kalaulah dianggap semua itu adalah kebetulan. Pertanyaannya adalah mengapa semua kebetulan itu punya benang merah," ujarnya.
Dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I ditemukan 144 tokoh Indonesia Sementara itu, tokoh PNI, Boedi Oetomo, dan PKI paling banyak muncul di dalamnya.
Menurut Thaha, spesifik Nadiem Makarim, dalam catatannya memiliki torehan positif. Misalnya terkait critical thinking, creativity, communication, dan collaboration. Tapi Nadiem tak punya wawasan filosofi dan sejarah yang meyakinkan dalam cakrawala berpikirnya.
"Kendali kepempimpinannya juga rapuh. Hasilnya adalah muatan pendidikan yang mengarah pada materialisme gersang. Kebermaknaan hidup menjadi terkunci pada measurable, numeric productivity. Itu, jelas, bukan bangunan pendidikan yang kita idam-idamkan," ujarnya.
Karena itu, dirinya mengaku waswas bahwa dunia pendidikan nasional yang dinilai semakin kritis. Setelah dibekap pandemi, orang nomor satu di Kementerian pendidikan juga terlalu junior untuk mengurusi salah satu dimensi kehidupan yang paling fundamental.
"Saya enggan kaitkan itu ke isu reshuffle kabinet. Yang paling pokok adalah Presiden Jokowi sesungguhnya ingin meng-apa-kan anak-anak didik, guru, dan para pelaku pendidikan kita melalui tangan Menteri Nadiem. Kalau apa yang Menteri Nadiem lakukan--baik sengaja maupun tidak--adalah refleksi alam berpikir Presiden terkait dunia pendidikan kita, ini masalah serius. Sangat serius," katanya.