Kirim Pelajar Papua Belajar di Jawa, Ini Alasan Mendikbud
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia (RI) Muhadjir Effendy mengatakan perseteruan antarsuku dan ras di Indonesia patut disayangkan. Hal itu terjadi karena masih adanya stereotype di masyarakat.
Ia mencontohkan kasus stereotype berupa ujaran rasisme kepada mahasiswa Papua di Surabaya beberapa waktu lalu.
”Papua kemarin 'kan terjadi (rasisme). Karena persepsi negatif yang muncul. Hal itu kemudian di-stereotype-kan kepada semua mahasiswa Papua,” tuturnya saat menghadiri Simposium Nasional Penanaman Pancasila Sebagai Wahana Watak Bangsa, di Hotel Ijen Suites, pada Sabtu 14 September 2019.
Maka dari Muhadjir mengungkapkan Kemendikbud saat ini memiliki program bernama Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM). Dimaksudkan untuk mengurangi stereotype yang masih banyak terjadi di kalangan pelajar.
“Kita kirim siswa papua untuk belajar di Jawa supaya mereka saling berkenalan dan terhapuslah stereotype itu,” ungkapnya.
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang tersebut menjelaskan program ADEM tersebut sudah berjalan selama dua tahun.
Dilansir dari laman resmi Kemendikbud sejak pertama kali digulirkan pada 2017, sebanyak 350 siswa terbaik Papua dan 150 siswa terbaik Papua Barat dalam program ADEM sudah tersalurkan ke sekolah di berbagai wilayah di pulau Jawa.
Masih berdasarkan laman resmi Kemendikbud, yang menerangkan bahwa melalui program tersebut para peserta didik diharapkan bisa menyatu dan melihat keragaman selama di perantauan. Ini merupakan semangat bhineka tunggal ika yang harus dijaga sebagai kekayaan bangsa.
"Sehingga segala masalah dalam bangsa ini dapat cepat teratasi agar negara kita aman, tentram, damai, dan terhindar dari disintegrasi," ujar Muhadjir seperti dikutip dari laman resmi kemendikbud.go.id
Muhadjir menuturkan bahaya stereotype juga pernah menyerang dirinya saat bepergian ke luar negeri menggunakan pesawat terbang.
"Kan Indonesia itu pasti banyak mengirim pembantu rumah tangga ke luar negeri dan di pesawat saya dikira pembantu. Padahal sekelas menteri dianggap pembantu. Itulah bahayanya stereotype,” tuturnya kepada ngopibareng.id
Maka dari itu, ia menyarankan masayrakat agar selalu mendahulukan komunikasi terlebih dahulu dan memahami orang lain lebih dahulu.
“Hal itu kita semua lakukan supaya tidak menimbulkan stereotype yang mana nantinya akan memunculkan persepsi negatif,” tutupnya