Nadiem Jawab Pendapat Permendikbud 30 PPKS Legalkan Seks Bebas
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS) bukan untuk melegakan seks bebas di lembaga perguruan tinggi. Tetapi, Permendikbudristek PPKS hadir sebagai solusi atas berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup perguruan tinggi.
“Permendikbudristek PPKS ini adalah jawaban dari kegelisahan banyak pihak, mulai dari orang tua, pendidik, dan tenaga kependidikan, serta mahasiswa dan mahasiswi di seluruh Indonesia,” kata Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim dalam sambutan sosialisasi Permendikbudristek PPKS yang dibalut sebagai peluncuran Merdeka Belajar Episode Empat Belas: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual di Jakarta, Jumat 12 November 2021 malam.
Merujuk data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2020, pada kanal lembaga negara tahun 2015-2020, sebanyak 27 persen kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan tinggi.
Sementara itu, berdasarkan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota, sebanyak 89 persen perempuan dan 4 persen laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. Sebanyak 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen dari korban tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.
Terbitnya peraturan menteri ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran warga kampus melalui edukasi tentang kekerasan seksual sebagai upaya pencegahan, mewujudkan dan menguatkan sistem penanganan kekerasan seksual yang berpihak pada korban, dan membentuk lingkungan perguruan tinggi yang aman bagi seluruh sivitas akademika dan tenaga kependidikan untuk belajar dan mengaktualisasikan diri.
Terkait berbagai respon masyarakat yang mayoritas menyambut positif Permendikbudristek PPKS ini, Mendikbudristek menyampaikan, “Saya sudah mendengar respons masyarakat terkait regulasi ini dan terus akan berkomunikasi dengan berbagai pihak untuk mendengar dan menampung berbagai masukan. Bagi saya, beragam respons yang muncul itu adalah tanda yang baik, tanda bahwa masih banyak yang peduli dengan pendidikan Indonesia dan memikirkan masa depan generasi penerus kita,” jelas Menteri Nadiem sekaligus menekankan bahwa pendidikan adalah milik semua.
“Lahirnya Permen PPKS ini adalah momentum untuk menyatukan langkah kita melindungi anak-anak kita dari ancaman kekerasan seksual dan menjamin masa depan mereka,” katanya.
Merujuk pasal 5, yang termasuk tindak kekerasan seksual adalah verbal, nonfisik, fisik, dan melalui teknologi informasi dan komunikasi. Menteri Nadiem menjelaskan, “Permendikbudristek PPKS ini juga berupaya menghilangkan area “abu-abu” yang ada selama ini. Apa yang dimaksud dengan area abu-abu? Area abu-abu adalah aktivitas-aktivitas yang dipahami secara tidak hitam dan putih, apakah itu merupakan kekerasan seksual atau bukan”.
Mendikbudristek menilai, saat ini Indonesia berada pada situasi darurat kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Sebab, kekerasan seksual paling sulit dibuktikan, tetapi efeknya sangat besar dan berjangka panjang. Oleh karena itu, jika ada laporan kekerasan seksual, perguruan tinggi wajib melakukan penanganan yang meliputi pendampingan, pelindungan, pemulihan korban, dan pengenaan sanksi administratif.
Perlu Perbaikan
Ketua MUI Bidang Fatwa M. Asrorun Niam Sholeh, mengatakan MUI mengapresiasi peran Kemdikbudristek bdalam PPKS. Tetapi ketika perannya itu dituangkan dalam Pemendikbud ada pasal yang bertolak belakang dengan niat awal yakni, pemberantasan kekerasan seksual dalam perguruan tinggi.
Menurut Asrorun Niam, rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.
Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meski dilakukan di luar pernikahan yang sah.
"Pasal Ini ditolak oleh ormas Islam, sebab yang namanya kekerasan seksual atau seks bebas dalam ajaran Islam pun agama yang lain, tidak ada toleransi meski dengan dalih suka sama suka," kata Asrorun Niam dalam jumpa pers hasil Ijtihad Ulama ke-VII yang berlangsung selama tiga hari, secara daring pun luring.