Mendidik Keadaban Generasi Milenial, Ini Tantangan Muhammadiyah
“Maka cara berfikirnya masyarakat milenial itu berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka tidak lagi menggunakan hal-hal yang manual,” jelas Haedar Nashir.
Masyarakat hidup sangat sarat dengan teknologi, saat ini menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks. Masyarakat banyak diatur oleh sebuah teknologi digital yang bukan hanya mengubah cara berfikir, tetapi juga mengubah perilaku. Kondisi seperti ini riil ada disekitar kita dan tidak bisa dihindari.
Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah mengatakan, generasi milenial itu sebenarnya banyak. Zaman ini kita hidup di tengah perkembangan teknologi digital. Masyarakatnya sangat menguasai teknologi digital.
“Maka cara berfikirnya masyarakat milenial itu berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka tidak lagi menggunakan hal-hal yang manual,” jelas Haedar, dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Senin (28/5/2018).
Haedar menilai, masyarakat seperti ini juga biasanya melompati zamannya. Mereka kritis pada berbagai hal, termasuk pada wilayah agama. Mereka juga yang memiliki orientasi saintifik sangat detail, pada cabang-cabang yang mereka ingin memasukinya. Seperti pada hal-hal yang mereka minati.
“Mereka tidak suka pada hal-hal yang bersifat absrak. Selain itu, masyarakat tersebut gandrung dengan inovasi," jelas Haedar di Universitas Prof. Dr Hamka (UHAMKA), dalam
Pengkajian Ramadhan Muhammadiyah tahun 2018.
Haedar mengatakan, bagaimana kita mendekati generasi ini dengan pendekatan keagamaan, merupakan suatu tantangan bagi Muhammadiyah.
“Sebab generasi ini dalam konteks mereka, berada dalam ruang sosial dalam arti yang luas, seperti ekonomi politik dan budaya, dengan tingkat mobilisasi yang sangat tinggi,” terang Haedar.
Menurut Haedar, ada beberapa persoalan ketika seseorang tergantung pada teknologi. Pertama, nalarnya akan instrumental. Mereka akan berfikir teknis dan sudah terprogram.
“Manusia di zaman teknologi, pola fikirnya instrumental,” terang Haedar.
Kedua, alam berfikirnya cenderung hedonis. Menyenangi hal-hal yang bersifat buatan. Melakukan hal-hal yang tidak biasa. Ketiga, masyarakat yang sangat berfikir rasional.
“Masyarakat seperti ini akan mengalami caos (mengalami disorientasi diri). Terkadang masyarakat seperti ini mudah panik, bisa gampang marah. Kemudian masyarakat ini juga mengalami kegersangan ruhani,” ucap Haedar.
“Orang itu akan mencari oase dalam dirinya yang sempat hilang, kemudian memenuhi kebutuhan dan kehausan dirinya,” imbuh Haedar.
Maka dalam menghadapi kondisi seperti ini, Muhammadiyah harus mengedepankan akhlak yang baik dan akhlak yang utama. Muhammadiyah harus mendidik keadaban, ini di atas tarbiyah.
“Dalam berbagai hal, baik sosial maupun politik, di sana ada perbedaan, di sana ada cara yang berbeda, tetapi kita harus tetap menjaga keadaban. Termasuk kita juga dalam menjaga agama yang kita yakini, harus dengan cara-cara yang beradab. Manusia wajar marah, tetapi marahnya kita jangan berlebihan, jangan sampai melakukan sesuatu yang tidak wajar,” tegas Haedar.
Pada akhir, Haedar mengatakan, untuk melakukan kebaikan yang beradab itu, maka kita harus meningkatkan kualitas manusianya, agar generasi milenial ini melanjutkan tradisi orang tua yang beradab.
“Maka para pendidik pun harus lebih bijak lagi dalam memberika keteladanan. Oleh karena itu, media sosial harus menjadi perhatian kita. Kita jua harus melakukan pembudayaan," pesan Haedar. (adi)