Mendidik Anak dengan Kekerasan? Ini Keteladanan Kiai Sahal
Kekerasan dalam pendidikan (bullying) hingga kini masih sering terjadi di tengah masyarakat. Meski telah ada Undang-Undang atau peraturan yang mengatur bahkan memberikan hukuman bagi pelaku bullying.
Fenomena kekerasan dalam pendidikan terjadi karena banyak faktor. Tapi yang dominan adalah karena ketidaksabaran dan kearifan guru atas perilaku murid.
Berikut kisah KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfud, Rais Am PBNU (1999-2014) yang Pengasuh Pesantren Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah.
Suatu ketika seorang santri Kiai Sahal yang bernama Tamam yang sekarang menjadi salah satu kiai di daerah Pamotan Rembang pergi ke salah satu kiai untuk meminta ijazah ilmu hikmah. Seperti diketahui Kiai Sahal maupun kiai Kajen pada umumnya tidak suka terhadap ilmu hikmah. Kelancangan Tamam ini kemudian diketahui Kiai Sahal.
Setelah santri tersebut kembali ke pondok, Kiai Sahal hanya mendiamkan saja. Tak ada tegur sapa atau beruluk salam seperti biasanya oleh Kiai Sahal.
Di kemudian hari ketika mengkaji salah satu kitab dan kebetulan membahas tentang keharaman ilmu hikmah, barulah santri tersebut yang telah diperbuat. Kesadaran itu muncul tanpa harus ditunjukkan secara langsung kenapa beberapa hari ini ia didiamkan oleh Kiai Sahal.
Di lain waktu, santri Tamam pernah melakukan tindakan yang menurut Kiai Sahal tidak sesuai. Yang dilakukan Kiai Sahal hanya memberikan secarik kertas yang bertuliskan “al-aqil yafhamul isyarah”. Artinya, orang yang berfikir akan dapat memahami isyarat yang ada.
Ketika membaca tulisan di kertas itu bukan main perasaan bersalah yang berkecamuk di hati santri Tamam. “Itu saja saya sudah takut,” komentar santri Tamam mengenang hal itu.
Kiai Sahal dalam mendidik santrinya memang tidak pernah menunjukkan kemarahan secara langsung. Ia lebih suka menunjukkan lewat perantaraan isyarat-isyarat saja. Tetapi kenyataannya hukuman yang sifatnya “memukul” batin para santri yang bersalah dan melakukan pelanggaran itu, lebih efektif untuk memperbaiki sikap para santri ketimbang pukul fisik yang hanya akan menimbulkan perasaan dendam di dada para santri.
Sikap menghindari tindak kekerasan dalam pendidikan tidak hanya dilakukan di sekolah ataupun di pondok. Dalam keluarga pun Kiai Sahal menanamkan hal demikian. Ketika putranya, Gus Rozin tidak naik kelas misalnya, Kiai Sahal tidak lantas memarahi. Menurut Kiai Sahal seorang anak ataupun santri harus dilatih bertanggung jawab, apapun yang dilakukan, dia harus menanggung akibatnya. Hal itulah yang masih diingat oleh Gus Rozin. Nasehat yang hingga saat ini masih diingat betul ketika dirinya tidak naik kelas karena tidak lulus dalam ujian hafalan adalah saat makan malam bersama, Kiai Sahal menasehati gus Rozin: “Yen ora ngapalno yo ora apal, kabeh-kabeh wong yo kudu nanggung opo sing dilakoni.” (Kalau tidak mau menghafal ya tidak akan hafal, semua orang harus bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan). Demikian yang dikatakan Kiai Sahal Mahfudh.
Demikian seperti dimuat dalam Kiai Sahal: Sebuah Biografi (KMF Jakarta 2012).
Jauh hari sebelum negara ini membuat peraturan dan perundangan mengenai larangan kekerasan dalam pendidikan, Kiai Sahal Mahfudh telah melaksanakan prinsip-prinsip hukuman bagi murid yang melakukan pelanggaran aturan sekolah atau pondok. Bukan dengan menggunakan cara kekerasan fisik atau kekerasan psikologis, akan tetapi dengan cara-cara yang mendidik dan bijaksana.
Ketika murid terlambat datang ke sekolah misalnya, maka hukuman yang diberikan adalah disuruh membaca shalawat sebanyak 100 kali di depan kelas. Ketika tingkat pelanggarannya lebih serius, maka Kiai Sahal melakukan puasa bicara terhadap anak tersebut. Ternyata efek dari bentuk hukuman seperti ini sangatlah efektif dibandingkan dengan memberikan hukuman memakai cara-cara kekerasan.
Setiap anak memang ditakdirkan mempunyai karakter dan perilaku yang berbeda-beda. Ada yang mudah ketika diberikan pengertian . Ada yang sudah berkali-kali diberikan pengertian. Sayangnya, masih saja tidak mau mengikuti aturan. Di sinilah perlunya sistem hukuman untuk mengingatkan anak agar tidak mengulangi perbuatan tersebut. Ketika memberikan hukuman, maka tujuan utamanya adalah untuk mendidik. Dalam menghadapi anak yang susah diatur, kesabaran dan kearifan gurulah yang diperlukan untuk menghindari kekerasan dalam melaksanakan proses pendidikan.
Orang tua ataupun guru pada hakekatnya adalah seorang pendidik. Pendidik yang paling baik adalah memberikan contoh secara langsung sehingga bisa dilihat ditiru oleh anak atau siswa. Begitulah juga ketika orang tua atau guru memberikan hukuman jangan sampai menggunakan kekerasan fisik, ataupun kekerasan psikologis. Seorang pendidik dilarang membentak karena akan menimbulkan trauma, begitu juga dengan hukuman fisik seperti memukul.
Demikian semoga bermanfaat.
Advertisement