Mendadak Mistik 1 Suro, Ini yang Semalam Banyak Dilakukan Orang
Suro, atau malam 1 Suro, begitu melekat dalam ingatan. Ibarat hayat dikandung badan. Bisa saja ini karena turun-temurun. Memungkinkan juga karena pengetahuan dan pergaulan sosial. Pendeknya, hari Suro ini menjadi sangat “istimewa”. Istimewa untuk apa saja.
Sejak setelah magrib (kemarin, red) mendadak mistik dimulai. Golden time-nya adalah pada tengah malam. Teng jam 12 persis. Saat itulah beragam ritual dilakukan. Bermacam-macam yang dilakukan. Tapi inilah yang paling banyak dilakukan orang
Tapa Mbisu
Mbisu itu bahasa Jawa. Indonesianya adalah bisu. Jadi tapa bisu itu mengunci mulut dengan tidak mengeluarkan kata-kata sak kecap pun. Satu kata pun. Ini berlangsung selama ritual dijalankan. Orang yang melakukan ini dapat dimaknai sebagai hal mawas diri. Berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh. Mawas diri dalam menghadapi tahun baru di esok paginya (hari ini, red).
Malam membisukan diri ini yang paling terlihat aktivitasnya adalah di Jogjakarta. Pelaku tapa mbisu ini melakukan aksi jalan kaki tanpa alas kaki. Lalu memutari Keraton Jogjakarta. Dimulai dari alun-alun kidul, pojok beteng kulon, alun-alin lor, pajok beteng wetan lalu kembali ke alun-alun kidul. Biasanya dilakukan 7 kali putaran. Atau kalau kuat bisa sak kesele.
Saat mbisu itulah sejatinya terletak esensi. Mereka berjalan sembari memohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah SWT dengan harapan diberikan yang terbaik untuk tahun-tahun sesudahnya
Kungkum
Kungkum. Berendam diri. Berendam di mana saja. Bisa di laut, di sungai-sungai atau tempuran sungai-sungai. Sendang-sendang. Mata air-mata air. Dan seterusnya. Atau, tempat-tempat yang dianggap khusus dan ada airnya. Mereka menghela dingin. Masuk air dan berendam sampai pagi. Sebagian orang mengibaratkan aksi ini adalah bagian dari mengehela ketabahan.
Ruwatan
Tradisi yang hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan di dalam hidupnya. Dalam cerita “wayang“ dengan lakon Murwakalapada tradisi ruwatan di Jawa ( Jawa Tengah) awalnya diperkirakan berkembang di dalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan batin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.
Ngirab Kebo Bule
Kirab Kebo Bule adalah tradisi yang dilakukan Keraton Kasunanan Surakarta. Di mana ada sekawanan kerbau (kebo) yang dipercaya keramat, yaitu Kebo Bule Kyai Slamet. Bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton. Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II.
Kirab itu sendiri berlangsung tengah malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung “kemauan” dari kebo Kyai Slamet. Dan yang menarik dan tidak masuk akal dari tradisi ini adalah ketika orang orang berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule.
Tak cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut mendapatkannya. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.
Ngumbah Keris
Ngumbah Keris adalah tradisi mencuci/membersihkan keris pusaka bagi orang yang memilikinya. Dalam tradisi masyarakat Jawa, ngumbah keris menjadi sesuatu kegiatan spiritual yang cukup sakral dan dilakukan hanya waktu tertentu. Lazimnya ngumbah pusaka dilakukan hanya sekali dalam satu tahun yakni pada bulan Suro. Oleh karena ngumbah keris mempunyai makna dan tujuan luhur, kegiatan ini termasuk dalam kegiatan ritual budaya yang dinilai sakral
Lek-lekan
Lek–lekan adalah tradisi yang biasanya dilakukan oleh warga warga di kampung. Biasanya para warga di kampung tersebut sudah menyiapkan acara masing-masing. Ada yang sekadar berkumpul dan lek-lekan di pos ronda, mengobrol di depan rumah atau makan-makan di gang.
Tirakatan
Ritual Tirakatan berasal dari kata Thoriqot atau Jalan, maknanya adalah kita berusaha mencari jalan agar dekat dengan Allah. Dengan kita melakukan ritual ini tanpa disadari ternyata kegiatan tirakatan ini juga telah meningkatkan kemampuan ketingkat yang lebih tinggi lagi, berupa keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, maupun kemampuan fisik dan pengolahan bathin kita untuk menghadapi berbagai cobaan dan tantangan yang kita hadapi. (idi)
Advertisement