Mencium Istri saat Puasa, Beda Hukumnya bagi yang Muda dan Tua
Setiap kali menjalankan ibadah puasa Ramadhan, ada problem sehari-hari. "Mencium isteri apakah diperbolehkan ketika puasa?". Pertanyaan seperti ini muncul, meski kadang tak tersampaikan.
Untuk menjawab masalah bercumbu ketika puasa, KH Imam Nakhai, Dosen Senior Mahad Aly Al-Ibrahimy, Sukorejo Asembagus Situbondo memberi jawaban lengkap:
Dalam Al-Quran memang menyebut hanya tiga hal yang membatalkan puasa, yaitu al aklu, wa asy syurbu wa ar rafatsu. Itu kalau dibaca secara tekstual-harfiyah. Namun jika dibaca dengan pendekatan kontekstual-maqhashidiyah, ruh dan spirit dilarangnya ketiga hal di atas maka bisa diperluas kepada hal-hal yang senafas dan semakna dengan ketiga hal itu.
Tujuan utama makan bukan supaya kenyang, tetapi untuk mendapatkan energi yang optimal dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Dengan demikian, setiap sesuatu (infus misalnya) yang masuk dalam tubuh untuk tujuan mendapat energi dan nutrisi adalah semakna dengan makan yang membatalkan puasa.
Minum, bertujuan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang akibat aktivitas tubuh dan juga berfungsi membawa nutrisi ke dalam sel tubuh untuk menjaga sistem tubuh. Dengan demikian, setiap hal yang sama dan semakna dengan fungsi dan tujuan minum, bisa membatalkan puasa.
Nah kalau senggama, jima’ atau ar rafats apa tujuannya? Ya tujuan setidaknya dua hal, prokreasi (melanjutkan generasi umat manusia) dan rekreasi (untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan seksual). Namun tujuan ini sangat subjektif dan tidak definitif. Maka ulama berbeda-beda ketika mengidentifikasi apa saja yang semakna dan senafas dengan senggama atau jima’.
Adakah berciuman suami istri (qublah), berpelukan dan berguling-guling (mubasyarah), onani-masturbasi (istimna’) adalah hal-hal yang sama dengan senggama (jima’-rafast) sehingga membatalkan puasa dan berkewajiban membayar kaffarah seperti senggama? Bahasa usul fiqihnya, apa illah (rasio legisnya) yang menyatukan antara qublah, mubasyarah, istimna’ dan jima’ sehingga memiliki hukum yang sama?
Tafsir al-Qurtubi membahas panjang lebar perbedaan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama, seperti Imam Malik, menyatakan berciuman dan mubasyarah dilarang, dan “bisa” membatalkan puasa. Siapapun yang mencium istrinya atau berpelukan lalu ejakulasi, maka batallah puasanya dan wajib qada’. Inilah pendapat Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Astsauri, dan lain-lain.
Sedang menurut Alhasan Albashri, Atha’, Ishaq, Abu Tsaur, di samping wajib qada’ ia wajib bayar kaffarah. Berarti semakna dengan senggama.
Menurut ulama yang lain, mencium dan memeluk istrinya tidak dilarang, dan tidak membatalkan, kecuali berdampak ejakulasi. Sebagian ulama lain, memerinci. Jika ciuman dan pelukan itu kemungkinan besar menyebabkan dan akan merembet ke hal-hal lain yang lebih serius maka tidak boleh. Namun jika aman dari itu, maka boleh. Maka dibedakan antara pengantin baru dan pengantin tua, antara anak muda dan kakek nenek.
Nabi pernah ditanya anak muda, bolehkan saya mencium istri saya? tanyanya.
Nabi menjawab, "Tidak boleh!". Beberapa saat kemudian seorang kakek tanya pertanyaan yang sama. Nabi menjawab, boleh.
Mengapa beda, karena ciuman muda mudi berpotensi besar merembet pada yang lebih serius. Sedang ciuman kakek-nenek, pasti susahlah merembet kemana mana. Ciuman kakek nenek lebih sebagai cerminan kasih sayang, sedang ciuman muda mudi adalah nafsu.
"Bagaimana kalau ciuman dan pelukan muda-mudi sebagai bentuk kasih sayang, sementara ciuman dan pelukan kakek nenek sebagai nafsu. Saya menjawab… ah kalian jangan mengada ada. He he."
Demikian penjelasan Imam Nakhai, Dosen Senior Mahad Aly Al-Ibrahimi Situbondo dan Komnas Perempuan, seperti dilansir situs mahadali-situbondo.