Mencerdaskan Bangsa, Non-Muslim pun Rasakan Manfaat Muhammadiyah
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, lebih dari satu abad, andil Muhammadiyah sebagai pelopor di dalam pendidikan nasional. Ormas Islam terbesar di Indonesia -- setelah Nahdlatul Ulama --, telah mengayomi berbagai warga bangsa dari beragam latar belakang etnis dan agama. Bukan hanya bagi umat Islam, tapi juga non-Muslim.
“Pendidikan tantangannya adalah keterbelakangan. Hal inilah yang menajdi pilihan Kiai Dahlan. Kini ketika disebutkan Muhammadiyah yang diingat pertama kali adalah pendidikannya," tutur Abdul Mu'ti dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Sabtu 16 November 2019.
Di Waingapu NTT dan banyak pelosok di Indonesia, menurut Mu'ti, bahkan sekolah Muhammadiyah banyak yang berdiri lebih dulu dari sekolah negeri.
Sebelumnya, hal tersebut diungkapkannya dalam pengajian bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta mengambil tema “Muhammadiyah Mencerdaskan Bangsa: Pengalaman Belajar di Muhammadiyah” dengan menghadirkan alumni sekolah Muhammadiyah dari beragam etnis dan agama, Jumat 15 November 2019.
“Selain sejalan dengan tema Milad Muhammadiyah ke-107 di Yogyakarta, tema ini juga sejalan dengan misi Nabi yaitu menyampaikan ayat, mengajarkan ayat, dan juga penyucian," tutur Abdul Mu'ti.
Semua ini terkait dengan pendidikan, yang diharapkan masyarakat berubah dari jahiliyah menjadi berilmu.
"Kiai Dahlan merintisnya satu abad yang lalu,” ujar Abdul Mu’ti.
Dalam forum tersebut, salah seorang pembicara, komunikator terkenal Ponijan Liaw, yang juga Presiden Asosiasi Pembicara Public Indonesia (IPSA) menyampaikan kesan 37 tahun lalu saat dirinya bersekolah di SMP Muhammadiyah Desa Pon, Deli Serdang Sumatera Utara.
“Saat itu, kebanyakan dari etnis Tionghoa di tempat saya memilih sekolah Muhammadiyah karena selain namanya terkenal, kualitasnya juga bagus. Kami siswa non-Muslim tidak pernah dipaksa menjadi Islam.
"Saya mendapatkan rekor Asia di New Delhi sebagai komunikator terbaik se-Asia ini hasil dari ilmu yang diberikan oleh guru-guru saya di Muhammadiyah dulu,” puji Ponijan Liaw.
Kesan yang sama disampaikan oleh dua pembicara lainnya Desak Made Darmawati dan Syamsudin Namugur. Sebagai putra asli Papua, Syamsudin Namugur berterimakasih atas kerja tanpa pamrih pendidikan Muhammadiyah.
“Tahun 1980 Muhammadiyah ternyata sudah datang di Kokoda. Sampai sekarang banyak non-muslim yang antusias ingin sekolah di Muhammadiyah. Bahkan banyak dari orang kami yang lulus dari Universitas Muhammadiyah di Papua ini menjadi guru-guru terbaik yang mengabdikan diri ke pelosok untuk membangun kampung. Muhammadiyah cocok untuk orang Papua,” kesan Syamsudin Namugur.
“Ini membuktikan, Muhammadiyah tidak memandang latar belakang dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan juga tidak Jawa-sentris,” tutup pembawa acara Sekretaris LHKI PP Muhammadiyah Wahid Ridwan.