Mencari Rezeki Halal, Profesional atau Sukarela?
Ketika ngaji bab ijarah (akad sewa) pagi ini, saya menjelaskan pada para santri bahwa keahlian mereka, apa pun itu, dapat dibawa untuk dua arah yang berbeda, yakni arah pekerjaan profesional atau sukarela.
Yang profesional berarti ada tarifnya dengan perjanjian kontrak yang jelas. Yang sukarela berarti pekerjaan tanpa kontrak atau pun harga. Disebut sukarela sebab tanpa adanya kontrak dan penentuan nominal upah di awal, maka secara fikih tidak wajib dibayar sebab dianggap sekedar membantu orang lain (tabarru')
Keahlian di sini umum, bisa berupa keahlian semacam tukang (dengan segala jenis jasanya) yang memang secara umum dibayar atau berupa keahlian semacam berceramah, bershalawat, menjadi qari' dan sebagainya yang seringkali tanpa kontrak atau penentuan harga di awal. Kalau arahnya ke pekerjaan profesional, maka tidak perlu ada rasa malu, sungkan atau tidak enak hati untuk menyebutkan berapa harga jasa yang hendak dilakukan sebab memang begitu seharusnya.
Silakan tentukan harganya dan boleh saja terjadi tawar menawar. Tapi tentu saja, pekerjaan profesional harus serba terukur baik dari segi waktu atau pun hasil dan dari sana profesionalisme seseorang diukur. Makin profesional, maka semestinya makin mahal tarifnya.
Arah Profesional dan Rezeki
Saya tekankan bahwa baik arah profesional atau pun arah sukarela, keduanya baik. Tidak ada yang dapat dikesankan buruk sebagai tidak ikhlas dan semacamnya sebab secara fikih (syariat), keduanya legal. Arah sukarela adalah baik sebab tujuannya adalah membantu orang hingga bisa diharapkan pahalanya di akhirat bila ikhlas.
Arah profesional juga baik sebab tujuannya adalah mencari rezeki halal sebagaimana diwajibkan oleh syariat, terutama untuk setiap laki-laki yang sudah baligh, sebagai nafkah bagi diri sendiri dan keluarganya.
Idealnya kalau bisa, setiap orang punya dua jenis kesibukan ini; yang profesional dan yang sukarela. Kalau hanya yang profesional saja, maka basah di kantong tapi kering di hati. Kalau hanya sukarela saja, maka basah di hati tapi kering di kantong. Kalau terpaksa memilih satu saja, maka saya sarankan fokus di kesibukan profesional sebab bekerja dan mencari nafkah itu hukumnya wajib sedangkan bersedekah membantu orang hukumnya "hanya" sunnah.
Kalau pertimbangannya demikian, mengapa hanya berupa saran bukan berupa kewajiban? Jawabannya, sebab bisa jadi yang dipilih adalah kesibukan sukarela tanpa pernah ada tarifnya tapi kenyataannya menghasilkan uang yang cukup untuk nafkah diri sendiri dan keluarga.
Semoga bermanfaat.
Akhir kalam
Ya, kalau rujukannya cuma jurnal memang begini jadinya. Kebanyakan jurnal berbahasa Indonesia yang bicara soal ilmu spesifik dalam Islam isinya tidak berbobot karena hanya merujuk pada sumber sekunder. Sudah sekunder masih harus tahun-tahun belakangan pula, di mana faktanya makin ke belakang makin banyak yang gak paham apa yang mereka omongkan tentang keilmuan spesifik itu.
Bagaimana mau paham, kebanyakan gak bisa baca kitab dengan lancar.
Kalau pun ada konten yang dianggap baru, seringkali bukan hal yang benar-benar baru tapi hal lama yang kebetulan banyak orang lain tak tahu sehingga mereka percaya saja ketika dikatakan bahwa itu baru. Sebab itulah, kritik-kritik dalam wacana studi islam yang ada di jurnal baru itu kebanyakan sudah ada jawabannya berabad-abad lalu tapi sayang orang sekarang tidak membacanya sehingga pengkritiknya dianggap hebat, padahal aslinya ketinggalan kereta.
(Abdul Wahab Ahmad, UINKHAS Jember dari akun facebook)