Mencari Guru Zaman yang Sejati, Humor Sufi Negeri Kebenaran
Dalam literatur sufi, tak lepas dari khazanah kisah-kisah lucu yang kerap mempermainkan logika. Bagi yang berpikir jernih dan diiringi rasa iman, tentu dengan mudah memahaminya. Seraya berdecak hati dan mengoreksi diri.
Sebagaimana kisah berikut soal Negeri Kebenaran, yang dihimpun dari karya Idries Shah, yang menggeluti penelitian pada dunia tasawuf.
Ada seseorang yang yakin bahwa waktu jaga sehari-hari, sebagaimana yang kita saksikan, tidak mungkin sempurna.
Ia pun pergi mencari Guru Zaman yang sejati. Banyak kitab-kitab yang telah dibacanya dan banyak kalangan-kalangan yang telah diterjuninya, sehingga ia telah dapat mendengar ucapan-ucapan dan menyaksikan perbuatan-perbuatan dari berbagai guru. Ia melaksanakan perintah-perintah yang keras beserta latihan-latihan spirituil yang sangat menarik hatinya.
Ia sangat gembira karena mendapatkan pengalaman-pengalaman. Namun kadang-kadang ia bingung karena ia sama sekali tak tahu tingkatan apa yang telah dicapainya dan dimanakah atau kapankah pencariannya itu akan berakhir.
Mengkaji Tingkah Laku
Pada suatu hari ketika sedang mengkaji segala tingkah lakunya ia mendapati dirinya telah berada di dekat rumah kediaman manusia-manusia arif bijaksana yang sangat terkenal. Di dalam rumah itu ia bertemu dengan Khaidir, penunjuk-jalan rahasia yang menunjukkan jalan ke arah kebenaran.
Khaidir membawanya ke suatu tempat di mana ia dapat menyaksikan manusia-manusia yang sedang sangat berduka dan sengsara. Kepada mereka ia bertanya, siapakah mereka itu sebenarnya.
Mereka menjawab: "Kami adalah manusia-manusia yang tidak mengkuti ajaran-ajaran yang sejati, yang tidak setia kepada tugas yang dibebankan ke atas pundak kami, dan yang [hanya] memuliakan guru-guru yang kami angkat sendiri."
Kemudian ia dibawa pula oleh Khaidir ke suatu tempat di mana setiap orang mempunyai wajah yang berseri-seri dan berbahagia. Kepada mereka ia bertanya, siapakah mereka itu sebenarnya.
Mereka menjawab: "Kami adalah manusia-manusia yang tidak menuruti Petunjuk-petunjuk Jalan yang sebenarnya."
"Tetapi bila engkau telah mengabaikan petunjuk-petunjuk itu mengapakah engkau bisa berbahagia?" bertanya si pengelana.
"Karena kami lebih senang memilih kebahagiaan daripada kebenaran," jawab mereka, "seperti orang-orang yang memilih guru-guru mereka sendiri sebenarnya memilih kesengsaraan pula."
"Tetapi bukankah kebahagiaan itu adalah cita-cita yang paling tinggi dari ummat manusia?" bertanya pula si pengelana.
"Tujuan yang terakhir dari ummat manusia adalah kebenaran. Kebenaran itu lebih daripada kebahagiaan. Seseorang yang telah mendapatkan kebenaran dapat memiliki perasaan-perasaan yang bagaimanapun menurut keinginannya atau membuang semua perasaan-perasaan itu. Kami telah berpura-pura bahwa kebenaran itu adalah kebahagiaan dan kebahagiaan itu adalah kebenaran dan orang-orang percaya kepada kami. Dan hingga saat inipun engkau sendiri menyangka bahwa kebahagiaan itu pastilah sama dengan kebenaran. Tetapi kebahagiaan akan memenjarakan dirimu sebagaimana yang dilakukan oleh kesengsaraan."
Kemudian sang pengelana rnenemukan dirinya telah berada kembali di halaman itu dengan Khaidir di sisinya.
"Aku akan mengabulkan sebuah permintaanmu," kata Khaidir.
"Aku ingin mengetahui mengapa aku telah gagal dalam mencari dan bagaimana aku dapat berhasil," jawab si pengembara.
"Engkau telah menyia-nyiakan seluruh hidupmu," kata Khaidir, "karena engkau adalah manusia pembohong. Engkau sebenarnya mencari kepuasan pribadi walaupun engkau [sebenarnya] dapat [memilih] mencari kebenaran."
"Namun aku sedang mencari kebenaran itu ketika aku bertemu denganmu. Dan hal ini tak terjadi terhadap setiap orang."
"Ya, engkau telah dapat menemuiku karena ketulusan hatimu cukup besar untuk menginginkan kebenaran demi kebenaran itu sendiri walaupun untuk sesaat saja. Ketulusan hatimu yang sesaat itulah yang menyebabkan aku datang untuk memenuhi himbauanmu."
[sesaat kemudian] Kini si pengelana merasakan keinginan yang menggelora untuk menemui kebenaran meskipun ia akan tenggelam. Namun Khaidir telah beranjak pergi dan ia pun mengejarnya.
"Jangan engkau ikuti aku ", seru Khaidir, "aku akan kembali ke dunia yang penuh tipu, karena disitu[-lah] aku seharusnya berada untuk melakukan tugasku."
Ketika si pengelana melihat ke sekelilingnya, sadarlah ia bahwa ia tak lagi berada di halaman rumah sang guru arif bijaksana tetapi sedang berada di tengah-tengah negeri kebenaran.(Idries Shah)