Mencari Cahaya, Gerak Para Pencari Kesejatian
Ibnu Atha'illah As-Sakandari, dalam kitab Al-Hikam, menjadi acuan khusus para pesalik (salik = pencari). Pencari kesejatian. Ada pesan indahnya.
لا تَرْحَلْ مِنْ كَوْنٍ إلى كَوْنٍ فَتَكونَ كَحِمارِ الرَّحى؛ يَسيرُ وَالمَكانُ الَّذي ارْتَحَلَ إلَيْهِ هُوَ الَّذي ارْتَحَلَ عَنْهُ. وَلكِنِ ارْحَلْ مِنْ الأَكْوان إلى المُكَوِّنِ، (وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى).
"Janganlah terus berputar-putar dalam siklus yang tetap, bagai sapi yang berputar mengelilingi batu giling. Tempat yang ia tuju adalah tempat ia berangkat. Bergeraklah dari alam semesta menuju Penciptanya. "Sesungguhnya kepada Tuhanmulah segalanya berakhir". (Ibn Athaillah).
Berkait dengan kejernihan hati, para sufi selalu menekankan agar kehidupan dihayati guna makin mendekatkan diri Allah subhanahu wa ta'ala (Saw). Berikut penjelasan KH Husein Muhammad, "Mencari Cahaya":
Ada beribu tanya yang selalu menyertai dengan gelisah pada relung hati. Bagaimana sesungguhnya makna dari hidup dan berkehidupan ini? Hendak kemanakah akhir dari perjalanan hidup manusia ini?. Kita sedang di mana?, sedang apa?. Lalu bagaimana kelak?. Mengapa ada banyak penderitaan?.
Mengapa tidak sedikit orang yang tak peduli pada pederitaan orang lain. Mengapa ada orang-orang yang mencatut agama dan nama Tuhan untuk menyakiti atau membuat derita orang lain, seagama maupun "liyan". Apakah agama diturunkan untuk ini?.
Lalu sebaiknya kita harus bagaimana?.
Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengejar dan mengganggu pikiran.
Aku mencari, menyusuri dan menjemput cahaya dari buku-buku yang ditulis manusia-manusia besar dalam sejarah dunia manusia, para genius spiritual, yang namanya abadi, yang terus disebut-sebut banyak orang di segala zaman, dan di banyak tempat, yang kata-katanya terus diperebutkan, diwiridkan, dikutip, serta dipuja-puji dan didoakan. Mereka disebut banyak orang sebagai lampu-lampu atau lilin-lilin yang menerangi jalan.
Beberapa di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib (w. 661 M), Ali bin Husein Assajjad (713 M), Abu al-Harits Al-Muhasibi (w. 875 M), Abu Yazid al-Bisthami (w. 877 M), Husein Manshur al-Hallaj (w. 922 M), Imam Abu Hanifah (w. 150), Imam Malik bin Anas, Imam al-Syafi'I, Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M), Ibnu Rusyd al-Hafid (w. 1198 M), Muhyi al-Din Ibn Arabi (w. 1240 M), Sana-i (w. 1131 M,), Syams Tabrizi (w. 1248 M), Maulana Jalal al-Din al-Rumi (w. 1273 M), Fakhr al Din al-Razi (w. 1209 M), Abu Hayyan al-Tauhidi (w. 1023 M), Abu al-Qasim al-Qusyairi ( w. 1073 M), Ibnu Athaillah al-Sakandari (w. 1258 M), Farid al-Din al-Athar (w. 1220 M), Abu Ishaq al-Syathibi (w. 1338 M). Ini hanya untuk menyebut beberapa saja.
Sesekali aku membaca pula kisah orang besar lain yang juga mengabdi demi penderitaan orang lain. Fatwa-fatwa dan nasihat-nasihatnya diikuti oleh banyak orang di dunia. Mereka antara lain Budha Sidarta Gautama, Socrates (w. 399 SM), Platon ( w. 347 SM), Aristoteles (3222 SM), untuk sekadar menyebut para bijak-bestari masa lalu. Atau Mahatma Gandhi, Daisaku Ikeda, Martin Luther King Jr, dan lain-lain. Lagi-lagi hanya menyebut beberapa saja.
Boleh jadi akan banyak orang, teman-temanku yang mempertanyakan : "mengapa mengagumi orang-orang itu"?. Bukankah mereka bukan Muslim, bukan muwahhid (atheis) ?. Aku memahaminya. Aku diam saja.
Aku ingin mengatakan bahwa mereka semua yang disebut di atas adalah para cendekia sejati, para filsuf, para hukama, Asyiqin” (para Perindu) dan Ghuraba, yakni para pengembara di belantara raya manusia yang sanggup menempuh dan menghadang badai gurun pasir, kelaparan dan terkucil, demi cintanya kepada kehidupan manusia.
Mereka berusaha mencari jalan bagi kehidupan bersama yang damai dan diliputi kasih sayang". Mereka adalah para ksatria yang hadir bagai kandil-kandil dalam gelap malam, yang terus hidup, menghidupi dan memberi makna intelektual dan spiritual kepada umat manusia dan yang selalu merindukan mereka.
Imam Ali bin Thalib, sang pintu ilmu pengetahuan dan spiritual, mengatakan:
روحوا القلوب واطلبوا لها طرف الحكمة فإنها تمل كما تمل الأبدان.
“Istirahkan hatimu, dan carilah keindahan-keindahan dalam kata-kata bijak bestari. Hati seperti tubuh sering bosan dan lelah”.
Manakala aku merenungkan dan mengambil pelajaran, cahaya dan cinta putih dari para bijakbestari itu, kedamaian tiba-tiba merasuk diam-diam dalam palung jiwaku.
Demikian pesan Islam dari KH Husein Muhammad. (04.01.21)