Mencalonkan Diri Jadi Calon Wapres, Cara Cerdik Cak Imin Dongkrak Elektabilitas PKB
Survey terakhir LSI Denny JA mengungkap data menarik. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dipimpin A Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menduduki urutan keempat dalam perolehan suara jika pemilihan umum dilakukan sekarang.
Ia menyalip Partai Demokrat yang pernah menjadi pemenang pemilu 2009. Berada di bawah Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto, Partai Golkar, dan PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri.
Tiga partai yang disebut terakhir merupakan partai dengan modal besar. Prabowo adalah purnawirawan jenderal TNI yang juga mantan menantu Soeharto, penguasa Orde Baru yang berkuasa 32 tahun.
Partai Golkar merupakan partai penguasa Orde Baru pula. Ia adalah partai dengan sistem kaderisasi yang paling tertata, berpengalaman dalam kekuasaan paling lama, dan memiliki modal keuangan yang tak bisa diragukan.
PDI Perjuangan adalah partai kelanjutan PNI yang didirikan Presiden RI Pertama Bung Karno. Inilah partai yang masih mempunyai basis ideologi yang jelas dan solid. Tempat kaum nasionalis-marhaenis yang kini sedang menjadi partai pemerintah.
Lantas bagaimana PKB yang dipimpin politisi muda ini bisa menyalip partai yang pernah menjadi pemenang pemilu serta bersanding dengan partai-partai lama dengan sumberdaya politik maupun finansial yang cukup besar?
Rasanya ini menarik untuk menjadi kajian. Partai yang tidak punya media massa, tidak punya konglomerat yang menjadi sumber dana, dan tak "punya presiden" bisa menggalang suara sedemikian rupa, ternyata bisa mendongkrak suara.
Elektabilitas PKB
PKB adalah partai yang didirikan para rokoh NU dengan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai tokoh utamanya. Sejak awal, PKB menjadi jalur politik aspirasi warga Nahdliyin. Ia menjadi kepanjangan tangan NU di jagat politik.
Begitu mengikuti pemilu pertama paska reformasi politik 1998, PKB berhasil mendulang 13.336.982 suara atau 12,61% dan 51 kursi di DPR RI. Uniknya, dengan modal suara sejumlah itu, PKB berhasil mendudukkan Gus Dur menjadi Presiden RI pertama dari kaum Nahdliyin.
Gus Dur hanya menjabat sebagai orang pertama RI setengah periode setelah dimakzulkan MPR RI. Karena itulah, pada keikutsertaanya dalam pemilu untuk kali kedua, PKB turun perolehan suaranya menjadi 12.002.885 atau 10,61%. Di DPR RI, ia hanya meraih 52 kursi.
Setelah dilanda konflik berkepanjangan dan tak lagi dikomandoi Gus Dur, suara PKB anjlog menjadi 5.146.122 suara (4,94 persen) dengan jumlah kursi hanya 28. Itu terjadi pada Pemilu 2009 saat Presiden RI dijabat Susilo Bambang Yudhoyono lewat Partai Demokrat.
Dalam Pemilu 2014, suara PKB mulai merangkak naik. Di bawah kepemimpinan Cak Imin, PKB bisa meraup 11.298.957 atau 9,04 persen. Sudah mulai mendekati perolehan suara pemilu 2004 dan hanya kurang 3 persen untuk kembali seperti saat Pemilu 1999.
Dalam survey LSI Denny JA paska Pilkada Serentak 2018, PKB berada di nomor urut keempat dalam perolehan suara dengan 7,2 persen. Jika dibandingkan dengan perolehan dalam pemilu 2014 memang turun. Namun, ia berhasil menyalip peroleh Partai Demokrat yang dalam survey ini hanya bisa meraup 5,4 persen.
Menurut survey tersebut, secara berurutan PDIP mendapat 22,7 persen, Partai Golkar 15,8 persen, dan Partai Gerindra 15,2 persen. Dalam pemilu 2014, PDIP 18,95 persen, Partai Golkar 14,75 persen, dan Partai Gerindra 11,81 persen. Ini artinya, PDIP dan Partai Gerindra mengalami kenaikan tajam. Sedangkan Golkar merosot tajam.
Yang menarik jika dibandingkan antara hasil survey sebelum pilkada dan setelah pilkada serentak 2018. Dalam survey tersebut, yang berhasil mendongkrak perolehan suaranya hanya PDIP, Partai Golkar, Partrai Gerindra dan PKB. Sedangkan Demokrat malah anjlog, dari 5,80 persen menjadi 5,4 persen.
''Sebelum dan sesudah pilkada tak ada perubahan siginifikan dukungan partai. 3 partai teratas tetap PDIP, Partai Golkar dan Partai Gerindra,'' kata Denny JA. Namun, dia mencatat bahwa partai menengah ke bawah lebih banyak memenangkan pilkada.
Mengapa? ''Karena pilkada adalah pertarungan figur atau sosok. Suara partai di Pileg tidak bisa otomatis dikonversikan dukungannya kepada calon yang didukung. Partai tengah lebih jeli melihat calon potensial yang didukung masyarakat,'' katanya.
Jualan Capres dan Cawapres
Denny JA juga sempat melihat kecenderungan kenaikan elektabilitas Ketua Umum Partai paska pilkada. Ia mencatat bahwa tiga ketua umum pengusung Jokowi naik status baik dilihat dari pengenalan maupun kesukaan. Menurutnya, cawapres ideal Jokowi agar kuat diparlemen adalah Airlangga Hartarto (35,7 persen), Muhaimin Iskandar (21,5 persen), dan Romahurmuzy (16.0 persen).
Sayangnya, LSI Denny JA tidak melihat kecenderungan kenaikan elektabilitas partai dalam hubungannya dengan pencalonan ketua umumnya untuk menjadi calon presiden maupun wapres. Dia hanya melihat Prabowo sebagai ketum partai yang punya elektabilitas tertinggi di kubu non Jokowi.
Yang terkesan dari hasil survey ini, Denny JA hanya ingin mengunggulkan Airlangga Hartarto sebagai calon wapres paling ideal untuk mendampingi Jokowi. Tidak diperoleh konfirmasi mengapa ia lebih mengunggulkan Golkar dengan Katua Umumnya yang baru dalam kontestasi wapres pilihan Jokowi.
Meski demikian, bisa diduga bahwa pencalonan ketua umum partai dalam kontestasi wapres maupun cawapres mampu mendongkrak perolehan suara partai. Sebab, dengan demikian, strategi ini bisa menjadi instrumen dalam mengkonsoidasikan mesin partai.
Cak Imin, misalnya, sejak ia mendeklarasikan diri sebagai calon wapres Jokowi, alat peraga PKB dengan gambar Cak Imin bisa ditemukan di berbagai pelosok di berbagai daerah. Dengan demikian, instrumen ini bisa untuk mengingatkan terus pemilih akan keberadaan partai yang dipimpinnya.
Jika dilihat kecenderungan perolehan partai sejak reformasi politik, parpol pengusung presiden maupun wakil presiden inheren dengan perolehan suara partai dalam pemilihan legislatif. Cak Imin dengan cerdik melihat peluang ini dengan jauh-jauh hari mendeklarasikan diri sebagai calon wapres presiden Jokowi.
Dalam kontek ini, bisa diduga, pencalonannya sebagai calon wapres merupakan cara cerdik keponakan Gus Dur ini untuk mendongkrak elektabilitas partai yang dipimpinnya. Jika kemudian ia dipilih betulan sebagai cawapres, itu akan dianggapnya sebagai bonus alias rejeki.
Jangan-jangan, kengototan SBY mendorong anaknya AHY menjadi cawapres dalam Pilpres 2019 juga sekadar untuk menaikkan elektabilitas partainya yang terus merosot? Pertarungan sesungguhnya yang disiapkan adalah pilpres 2024. Siapa tahu? (Tim redaksi ngopibareng.id)