Menari dan Berjoget, Pandangan Ulama Dulu dan Kini
Menari dan berjoget hampir setiap kali terjadi pada saat hajatan. Bahkan saat peringatan hari besar keagamaan pun tak lepas dari aktivitas demikian.
Ada catatan singkat tapi cukup indah diperhatikan soal ini. Berikut pandangan KH Husein Muhammad, ulama Pesantren yang dikenal sebagai sahabat dekat Gus Dur:
Aku melihat dewasa ada fenomena baru yang menarik meski aneh dan menjadi tak lagi tabu. Ialah "menari-nari" atau "Joged". Aktivitas ini digemari karena menghibur publik.
Hal yang menarik adalah bahwa tari dan joged tersebut dilakukan oleh perempuan-perempuan berkerudung lengkap atau berjilbab rapat dan berwajah cantik-cantik, bersolek indah. Mereka bukan hanya perempuan muda tetapi juga tua. Tari menari itu dihidangkan di depan publik pada berbagai momen dan acara, seperti resepsi pernikahan.
Mereka tampil dengan tubuh yang gemulai dan digoyang-goyang indah. Para penonton, sebagian, terbius dan tertarik lalu ikut bergoyang dalam ekspresi gembira.
Terhadap aksi-aksi ini aku melihat tak ada respon atau komentar apa-apa dari para pemuka agama. Berbeda dengan soal Jilbab atau Hijab. Aku tidak tahu apakah mereka setuju atau tidak. Dipandang baik atau tidak. Dahulu kala, sepanjang pengetahuanku, aksi seperti itu dipandang tak patut atau tak baik, karena bisa menarik secara seksual.
Hal lain yang juga menarik adalah "Tari Japin/Zapin". Konon tarian ini berasal dari Hadramaut, Yaman. Dibawa oleh para pedagang Arab sekaligus pendakwah agama Islam pada awal abad ke-15-16.
Sebagian besar mereka yang menari tarian ini mengenakan pakaian ala orang Arab. Berjubah, Tob Arab atau bergamis dan bersorban.
Belakangan sebagian mereka mengenakan sarung santri dan berpeci putih bersorban. Tarian ini dilakukan dengan seperti berjalan cepat, lenggak-lenggok, berputar, bolak-balik dan zig-zag. Diiringi musik tabuhan rebana. Mereka tampak asyik menari-nari Zapin ini.
Pesan Al-Quran
Pandangan ulama besar Indonesia, mufassir besar. Prof. Quraish Shihab mengatakan : "Tidak cukup untuk memahami Al-Quran hanya melalui terjemahan".
Wouw. Dan aku membaca karya masterpeace Imam al Ghazali : Ihya Ulum al Din. Katanya :
قال الغزالى فى الاحياء : فاعلم ان من زعم ان لا معنى للقرآن الا ما ترجمه ظاهر التفسير فهو مخبر عن حد نفسه وهو مصيب فى الاخبار عن نفسه ولكنه مخطئ فى الحكم برد الخلق كافة الى درجته التى هى حده ومحطه بل الاخبار والاثار تدل على ان فى معانى القرآن متسعا لارباب الفهم. .
Ketahuilah bahwa orang yang beranggapan bahwa al Quran hanya bisa dimaknai menurut makna literalnya (tersurat, harfiyah) maka dia adalah orang yang sedang memberitahukan keterbatasan pengetahuannya. Dia benar dalam hal pemberitahuannya itu untuk dirinya sendiri. Tetapi dia keliru jika hal itu harus diberlakukan untuk orang lain. Banyak hadits dan sumber dari sahabat Nabi yang menunjuklan bahwa al Quran itu memuat makna yang sangat luas bagi orang-orang yang cerdas dan pintar".
Aku bergumam sendiri : Ini sungguh luar biasa. Saat aku belajar di pesantren dan di PTIQ dahulu kala 1973-1979, aku diajari : Al-Qur'an mengandung banyak sekali kata bermakna metafora, majaz, kinayah, kiasan, "idhmar",(tersembunyi) dan sejenisnya. Kata perintah (amr) tidak selalu berarti harus/wajib dilakukan, malah bisa bermakna ancaman, dll. Kata "jangan" tidak selalu bermakna larangan keras. Ia bisa bermakna anjuran untuk menghindari, tak patut secara tradisi, dll.
Kata tanya (istifham) tidak selalu minta jawaban, malah justeru merupakan kritik keras (istifham inkari). Huruf-huruf hanyalah simbol atau kode. Dll.
Pengetahuan tentang makna-makna ini ditempuh bukan hanya melalui makna literal seperti dalam kamus bahasa, tetapi juga melalui kajian sastra, logika dan sejarah sosial, budaya dan peradaban.
(KH Husein Muhammad. 10.08.2024)