Menapaki 123 Tahun Kiprah Suster Ursulin Mendidik di Malang
Dunia pendidikan di Malang tidak bisa lepas dari kiprah para suster ursulin yang datang dari Belanda, Jerman hingga Prancis ke sebuah daerah di Jawa Timur tersebut. Jejak-jejak membangun institusi pendidikan itu dapat dilihat di Galeri Ursulin Malang, Jalan Jaksa Agung Suprapto, Kota Malang.
Galeri itu dikarutori oleh Suster Lucia Anggraini, OSU, perempuan yang berusia sudah lebih dari setengah abad tapi masih tetap semangat. Ia adalah pendiri dari Galeri Ursulin Malang pada 22 Oktober 2022.
Ada banyak koleksi di galeri itu. Semua tersusun rapi dan terdokumentasi. Koleksi yang dimiliki mulai dari alat musik, koper, dokumentasi, pakaian, hingga perkakas makan para suster. “Para suster yang datang ke sini (Malang) membawa peralatan makanan. Ini umurnya sudah ratusan tahun,” ujarnya pada Selasa 12 Desember 2023.
Sejumlah suster tersebut datang ke Malang saat meletusnya Perang Dunia II. Mereka berasal dari berbagai macam negara seperti Jerman, Belanda hingga Prancis. “Saat Perang Dunia II, Jerman kan bermusuhan dengan pihak sekutu seperti Belanda, Amerika Serikat hingga Inggris,” katanya.
Namun para suster ursulin tersebut tidak terpengaruh oleh adanya Perang Dunia II. Mereka adalah peletak fondasi dibangunnya Sekolah Biara pertama di Malang pada 1900. “Ada kesepakatan dari para suster bahwa di ruang makan tidak boleh ada obrolan tentang perang,” ujarnya.
Pada periode 1900 hingga 1920 dimulai pendirian TK dan SD bagi pendidikan anak-anak perempuan di Malang. Berlanjut pada 1922 didirikan gedung asrama putri. Para suster itu datang ke Malang atas permintaan pejabat gereja.
Pada 1900an tersebut kata Suster Lucia, wilayah Malang sedang berkembang perkebunan kopi Belanda. Banyak orang Belanda juga menikah dengan penduduk lokal di tengah pesatnya perkebunan kopi. Anak blasteran ini kemudian yang menjadi murid dari Sekolah Biara.
“Mereka kami ajarkan mulai cara makan, cara berpakaian yang baik, musik, main drama, tonil, menyanyi,” katanya.
Pada masa-masa awal pendirian TK itu kata Suster Lucia, baru ada sembilan murid yang menjadi peserta didik di Sekolah Biara. Suasana pendidikan begitu tenang dan menggembirakan. “Ketika itu para suster mencoba merangkul murid dari pribumi untuk menjadi peserta didik. Tapi, saat diketahui oleh Belanda langsung disuruh pulang,” ujarnya.
Proses pendidikan tersebut sempat terhenti saat periode pendudukan Jepang tepatnya pada 1943. Para suster ursulin sebagai pendidik dibawa ke kamp tahanan di Solo. “Saat itu ada suster pribumi pertama yang tetap keukuh agar pendidikan di SD berjalan yaitu Suster Inigo Prawirataroena yang rela kehilangan pendengarannya setelah tentara Jepang menembakan pistol di samping telinga,” ujarnya.
Berlanjut pada Agresi Militer I dan II, Tentara Trip Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) membumihanguskan bangunan TK, SD dan SMP dari suster ursulin. “Tetapi para tentara sudah izin dan memberitahu terlebih dahulu, sehingga tidak ada korban jiwa. Mereka membakar untuk mengantisipasi bangunan dijadikan kamp kolonial Belanda,” katanya.
Pasca kemerdekaan pada 1951, bangunan pendidikan dasar tersebut dibangun kembali atas bantuan dari Kementerian Sosial RI dan baru rampung pada 1955. Materi pembelajaran juga sudah mencakup pendidikan formal.
“Akhirnya pendidikan berkembang dengan membuka SMP, SMA hingga SMK. Kami menerima semua siswa dari berbagai latar belakang dan agama,” ujarnya.
Momen inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya lembaga pendidikan Cor Jesu yang saat ini berada di Jalan Jaksa Agung Suprapto.Bahan ajar pun berkembang, mengikuti kebutuhan masyarakat modern di perkotaan. Ada jurusan Tata Boga hingga Desain Komunikasi Visual, untuk SMK. “Baru pada 1978 kami mulai membuka penerimaan siswa bagi laki-laki setelah keluarnya regulasi dari pemerintah,” katanya.
Cor Jesu sendiri berasal dari bahasa latin yang memiliki arti Hati Kudus Yesus. Lembaga pendidikan di Malang tersebut diharapkan dapat membawa dampak positif bagi pembangunan manusia di Indonesia.
Advertisement