Nasib Penjara Koblen, Jadi Pasar Buah atau Kosong Lagi
Tanah becek bekas hujan sejak malam hingga pagi di Surabaya masih menghiasi lapangan besar yang dikelilingi pagar tembok yang menjulang dari batu karang. Kira-kira tingginya 10-15 meter dengan atap geteng merah yang sudah berlumut. Luas tanah lapang itu sekitar 3,8 hektar. Nuansa semakin sendu, sebab siang itu mendung gelap di wilayah Bubutan.
Nuansa sendu juga terlihat di beberapa raut wajah orang yang berada di dalam tanah lapang itu. Ada lebih dari 200 kios pedagang sayur dan buah di dalam tanah lapang bekas Penjara Koblen.
Penjara yang dibangun pada tahun 1930 oleh Kolonial Belanda itu memang tak lagi berfungsi. Tak ada sisa-sisa bekas jeruji besi maupun tempat pesakitan tahanan penjajah. Kini hanya tersisa pagar tembok dan satu menara penjaga tahanan, yang juga dibangun dengan bahan serupa pagar. Tingginya pun tak jauh beda, hanya terpaut 5 meter lebih pendek saja.
Ada beberapa pintu masuk ke dalam tanah lapang itu. Yang paling besar dan sering dilewati adalah pintu yang berada tepat di belakang Mal BG Junction. Pintu itu tak jauh dari Kantor Koramil TNI wilayah setempat. Bahannya dari besi yang disilangkan satu sama lain dengan tinggi kurang lebih 7-10 meter, khas penjara kolonial.
Melangkah masuk pagar utama di belakang BG Junction itu, beberapa orang yang berada tak jauh dari gerbang terlihat bingung dan ketakutan. Mereka menilai orang asing yang datang ingin mengobrak-abrik wilayah itu. Ada pula beberapa awak media yang datang untuk mengambil gambar.
Selain itu, mereka juga mengira ada staf dari Pemkot Surabaya atau lembaga tertentu yang akan memberi kabar buruk. Mereka memang lagi sensitif terkait izin pengelolaan tanah tersebut. Maklum, mereka pedagang kecil yang menggantungkan diri dari berjualan sayur mayur.
"Assalamualaikum, permisi," kata yang pertama kali dikeluarkan oleh tim Ngopibareng.id yang berkunjung ke bangunan Cagar Budaya itu.
Tak disangka, pemuda berbadan tegap menerima kedatangan Ngopibareng.id dengan ramah dan terbuka.
"Dari mana? Wartawan ya mas?," tanyanya.
Saat ditunjukkan ID Card Ngopibareng.id dan alasan berkunjung, pemuda itu mempersilahkan untuk duduk di kantor penjagaan Pasar Sayur Koblen. Dengan raut wajah yang sumringah, ia berbicara tentang isu yang sedang riuh itu sembari menikmati secangkir kopi dan sesekali menghisap rokok lalu mengepulkan asapnya ke udara.
"Saya itu senang Mas, kalau ada wartawan yang masuk ke sini, salam dan kulonuwun dulu. Jadi tidak perlu 'nggedak' atau mencatat nama dan memfoto KTP. Soalnya, dalam 2 minggu terakhir ini sering wartawan datang tanpa permisi. Main ambil foto dan video, lalu nyelonong pergi. Makanya saya dan teman-teman sering minta identitas untuk dicatat. Kalau kayak begini, permisi dulu, ya monggo (silahkan) ayo kita bicara sambil ngopi dan merokok saja," kelakar pria yang bernama Hassan itu. Ia merupakan salah satu penjaga yang juga saudara pengelola pasar, Anwar Sadat.
Nasib Suram Para Pedagang
Perbincangan dimulai dengan membahas riuhnya persoalan di media dan di gedung DPRD Surabaya tentang perizinan pasar di Penjara Koblen. Awalnya, Hassan menolak untuk memberikan keterangan soal rencana pencabutan izin pengelolaan tanah sebagai pasar. Dia malah menyarankan lebih baik langsung menghubungi Anwar Sadat dan I Wayan Archana sebagai 'kepala' pengelola wilayah itu. Memang, dua orang tersebut sering muncul di media untuk memberikan keterangan.
Tak hilang akal, pertanyaan dialihkan soal nasib para pedagang jika izin pengelolaan yang sudah diterbitkan, dicabut oleh Pemerintah Kota Surabaya. Sikap Hassan langsung berubah 180 derajat. Dengan senang hati ia menceritakan nasib rekan sejawatnya jika tak boleh berjualan di tanah itu.
Menurut Hassan, penolakan izin oleh para anggota dewan itu sangat tak masuk akal. Sebab meski ini bangunan cagar budaya, namun tak ada lagi bekas penjara yang bisa dikunjungi atau dijadikan museum sejarah kota. Yang tersisa hanyalah tanah lapang dan satu menara pantau penjara.
Hassan lantas balik bertanya, "Apa yang mau ditunjukan ke warga kalau jadi tempat wisata? Posisi ruang penjaranya saja sudah tidak ada dan kita juga tidak tahu toh?.
Menurut Hassan, selama ini niat keluarga besarnya sangat tulus untuk membantu para pedagang yang terkena relokasi Pasar Keputran beberapa tahun lalu, agar kembali berjualan. Lokasi jualan baru ini bukan di pinggir jalan atau trotoar. Melainkan tanah lapang yang selama ini tak pernah terurus. Kini, niat baik ini malah ditolak oleh para anggota legislatif.
"Kita itu mau membantu. Ini pedagang banyak KTP Surabaya, ada yang dari Madura, ada juga yang dari Malang. Kita mau kota ini kan cantik dan bersih tidak ada PKL yang jualan sayur di pinggir jalan. Makanya kami tampung ke sini. Ya sejak beberapa tahun lalu kami sudah lakukan," kata Hassan.
Ajukan Izin Sejak 10 Tahun Lalu
Menurut Hassan dan sesuai data dari DPRD Kota Surabaya, pengelola Pasar Koblen sudah mengajukan izin pengelolaan tanah sebagai pasar sejak 2011, 2014, dan 2016. Namun gagal semua. Akhirnya pada akhir 2020 lalu, izin dari Pemkot Surabaya keluar, dan memberi lampu hijau bagi mereka untuk mengelola tanah di bekas Penjara Koblen itu.
"Kita sudah lama menunggu. Lha waktu izin sudah keluar, kok malah minta dicabut. Selama ini ya memang tidak ramai mas, bagaimana mau berdagang wong tidak ada izin. Jadi banyak dari mereka, di sini juga sebagai gudang atau terminal sayurnya lah. Setelah di turunkan dari pick up, di bawa ke pasar lain tempat mereka jualan. Kalau yang jualan di sini ya ada, untuk keperluan warga sekitar kan. Tidak banyak juga yang buka lapak langsung, kebanyakan ya cuma nge-pool (pengepul) saja," beber Hassan.
Raut wajah Hassan tampak menahan emosi ketika disinggung terkait penolakan izin dari anggota dewan, khususnya Komisi B DPRD Kota Surabaya. Menurutnya, mereka tidak tahu sejarah panjang dan susahnya pengelola untuk mendapat izin. Mereka juga tidak tahu niat baik pengelola menampung PKL untuk mempercantik kota.
"Makanya, yang menolak di dewan kan cuma segelintir. Paling satu dua orang saja. Itu yang saya bingung. Mereka ini kenapa," tegas dia.
Harapan Hassan dkk kini hanya berada di tangan Pemkot Surabaya. Ia ingin pemkot tak mencabut izin itu, demi berputarnya ekonomi pedagang kecil di tengah pandemi. Sayang kedatangan Ngopibareng.id tidak tepat, selain Hassan tak ada pedagang atau para kepala pengelola.
Menurut Hassan, pedagang biasanya mulai datang pukul 20.00 WIB hingga puncaknya pada dini hari. Sedangkan para kepala pengelola pasar, sedang libur karena akhir pekan. Kopi yang mulai habis dan rokok yang tersisa dua batang serta hujan yang mulai turun memaksa kami untuk mengakhiri pembicaraan. Hassan pun bersedia memberikan nomor handphone pribadinya untuk bisa dikontak kemudian hari.
Advertisement