Menanti Jokowi-JK Jumatan Bersama Lagi
Jumat itu, di awal Januari 2015, saya melihat Presiden Joko Widodo (Jokowi) memasuki Masjid Istana. Dia berjalan pelan. Kepalanya tertunduk ke bawah.
Di belakangnya, ajudan menyertai. Mereka menuju shaf di barisan pertama. Untuk salat Jumat tentunya.
Shaf sudah penuh. Tapi, untuk presiden dan wakil presiden, pengurus masjid menyiapkan jalur khusus. Dengan kain hijau. Tak ada jamaah yang mendudukinya. Itulah jalan Pak Jokowi ke baris pertama.
Di sana, sudah ada Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Sekondan Pak Jokowi itu, sudah duduk terlebih dahulu. Takzim. Mulutnya komat-kamit. Sepertinya, berdzikir.
Pak Jokowi langsung salat sunah dua rakaat. Setelah salam, dijabatnya tangan Pak JK. Erat. Tak ada pembicaraan. Keduanya hanya bertukar senyum dan pandangan.
Tak lama, Prof Nazarudin Umar, mantan Wakil Menteri Agama dan Imam Besar Masjid Istiqlal naik ke mimbar. “Assalamualaikum warahmatulllahi wabarakatuh,” ucapnya. Adzan pun berkumandang.
Seusai salat, Pak Jokowi dan Pak JK meriung di depan masjid. Ngobrol, hanya berdua. Sebagian menteri melingkari. Agak menjauh. Sebagian masih sibuk pakai sepatu.
Tiga bulan seusai pelantikan, kekuasaan Pak Jokowi terlihat ringkih. Seperti cara jalannya masuk ke Masjid Istana itu. Tak ada raut kuasa dan wibawa.
Orang kampung itu tiba-tiba dapat pulung. Karir politik melesat, seusai posisi Gubernur DKI Jakarta dijabat. Populer, tapi dukungan politik tingkat tinggi belum meluber.
TNI dan Polri masih jauh dari genggaman, bak panggang dari api. Dukungan ekonomi dari kaum berpunya, juga belum nyata. Hanya Pak JK yang jadi sandaran bertanya.
Tapi itu hampir lima tahun lalu. Sekarang? Kebalikannya. Lihat saja, cara senyum Pak Jokowi. Senyum pasti.
Cara berjalannya saat pembukaan G20 di Osaka, Jepang pada Jumat, 28 Juni lalu, lebih kokoh. Setiap pose fotonya ciamik. Tak ada ragu di hati. Terlihat percaya diri.
Banyak pemimpin dunia yang memberinya selamat. Karena terpilih lagi menjadi presiden. Bahkan Presiden Donald Trump yang berpose senyum lebar dan mengacungkan jempol di sampingnya, dibalas kalem saja.
Cara berjalannya saat pembukaan G20 di Osaka, Jepang pada Jumat, 28 Juni lalu, lebih kokoh. Setiap pose fotonya ciamik. Tak ada ragu di hati. Terlihat percaya diri.
Memang, jualan Program Sertipikat tanah membuat rakyat makin girang. Jaringan jalan tol dirasa memudahkan mudik. Walau tarifnya membuat dompet tercekik. Karena ingin cepat sampai, tarif mahal diabai.
Entah selepas musim mudik. Semoga operatornya tak rugi, karena sepi. Uang hutang pembangunannya, juga semoga cepat terlunasi.
Urusan portofolio jaring kuasa, sudah berhasil dikunci Pak Jokowi. Konsolidasi “menguasai” TNI dan Polri sudah selesai. Kalau ada purnawirwan bersuara beda, hal biasa. Tapi bagi yang aktif, jalur komando sudah rapi. Tak ada “disersi” policy.
Kaum konglomerat juga sudah merapat. Terbukti saat diperintah membantu membangun Kawasan Mandalika di Lombok, tiada kata menolak. Semua seirama, dan berkata iya.
Urusan politik setali tiga uang. Mayoritas Ketua Parpol menempel. Tinggal Partai Gerinda dan PKS saja yang susah diajak jalan bersama. Meski, pendekatan ke Gerindra tak pernah sirna.
Sejatinya, oposisi penting bagi negeri. Ada penyeimbang kuasa. Ada yang mengingatkan. Kalau semua merapat ke pemerintah, bisa terasa sepi negeri ini.
Urusan partai memang runyam. Dulu, para petinggi partai bisa memaksa Pak Jokowi untuk urusan calon wakil presiden. Sempat bikin tegang. Bimbang bak di persimpangan jalan. Tapi Pak KH Ma’ruf Amin akhirnya ditetapkan.
Konsolidasi “menguasai” TNI dan Polri sudah selesai. Kalau ada purnawirwan bersuara beda, hal biasa. Tapi bagi yang aktif, jalur komando sudah rapi. Tak ada “disersi” policy.
Seharusnya, seusai penetapan dari KPU, Minggu, 30 Juni, Pak Jokowi bisa segera lari. Untuk menepati janji. Tapi dia tak perlu pusing, bila ekonomi kita akhirnya meroket ke samping. Setidaknya, perang dagang Tiongkok dan Amerika bisa jadi tameng.
Untuk urusan ekonomi, walau ada Pak Kiai, hanya Pak JK lawan bicara setara. Konon, Pak Jokowi memintanya tetap di Istana. Mantan Walikota Solo ini, tak bisa kelain hati.
Urusan posisi baru Pak JK juga bikin sakit kepala. Karena posisi wakil presiden, sudah tertinggi ke dua. Tak mungkin, Pak JK jadi menteri senior atau penasehat khusus. Bak turun pangkat. Apa kata dunia?
Kembali ke urusan Salat Jumat. Kabar dari teman yang bekerja di lingkungan Istana, biasanya, seusai Jumatan, Pak Jokowi dan Pak JK rutin makan siang berdua. Diskusi urusan negara.
Namun menjelang kampanye lalu, kebiasaan itu berganti. Karena mulai hari Kamis, Pak Jokowi terbang ke penjuru negeri. Sedang Pak JK, memilih Salat Jumat di Istana Wakil Presiden saja.
Saat mereka Salat Jumat bersama itu, saya berjarak empat shaf di belakangnya. Biasanya, saya punya kebiasaan buruk. Sesekali bermain ponsel, saat khutbah berlangsung.
Tapi siang itu, kebiasaan itu tak saya lakukan. Bukan karena serius mendegarkan. Tapi sibuk mengamati Pak Jokowi.
Urusan posisi baru Pak JK juga bikin sakit kepala. Karena posisi wakil presiden, sudah tertinggi ke dua. Tak mungkin, Pak JK jadi menteri senior atau penasehat khusus.
Iseng, karena ingin tahu, apakah Pak Jokowi juga main ponsel saat khotib berkutbah. Lantas mengupdate status di media sosialnya. Dan menulis, “Sedang Salat Jumat bersama Pak JK di Masjid Istana”.
Ajar Edi, kolomnis ngopibareng.id