Menakjubkan! Penciptaan Langit dan Bumi, Penuturan Sayidina Ali
Rasulullah Muhammad shallahu alai wa sallam (S.a.w) bersabda bahwa Sayidina Ali bin Abu Thalib, karamallahu wajhahu (kw) bagaikan “pintu ilmu beliau”. Tak heran bila uraian kalimat Sayidina Ali bin Abi Thalib menjadi penjelas yang memudahkan kita memahami ajaran Rasulullah Saw.
Sayidina Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat di antara Khulafaturrasyidin -- setleah Sayidina Abubakar Ash-Shiddiq, Sayidina Umar bin Khatthab dan Sayidina Utsman bin Affan, radhiyallahu anhuma.
Di tengah suasana kalut kita menghadapi Pandemi Covid-19 alias Virus Corona, ada baiknya kita merenungkan kembali ungkapan Sayidina Ali bin Abi Thlib. Khususnya, terkait dengan "Penciptaan Langit, Bumi dan Malikat". Berikut nukilan dari kitab Nahjul Balanghah.
“Segala puji bagi Allah yang tiada pembicara mana pun mampu meliputi segala pujian bagi-Nya.Tiada penghitung mana pun mampu mencakup bilangan nikmat karunia-Nya. Tiada daya-upaya bagaimanapun mampu memenuhi kewajiban pengabdian kepada-Nya. Tiada pikiran sejauh apa pun mampu mencapai-Nya, dan tiada kearifan sedalam apa pun mampu menyelami hakikat-Nya.
Sifat-Nya tidak terbatasi oleh lingkungan, tidak terperikan oleh ungkapan, tidak terikat waktu, dan tidak menjumpai kesudahan.
Dicipta-Nya semua makhluk dengan kuasa-Nya. Ditebarkan-Nya angin dengan rahmat-Nya. Ditenangkan-Nya getar bumi dengan gunung-gunungnya.
Adapun pokok pangkal agama adalah makrifat tentang Dia (Allah). Namun takkan sempurna makrifat tentang-Nya kecuali dengan tashdiq (pembenaran) terhadap-Nya. Takkan sempurna tashdiq terhadap-Nya, kecuali dengan tauhid dan keikhlasan kepada-Nya. Takkan sempurna keikhlasan kepada-Nya kecuali dengan penafian segala sifat dari-Nya.
Karena setiap “sifat” adalah berlainan dengan “yang disifati”, dan setiap “yang disifati” bukanlah persamaan dari “sifat yang menyertainya”. Maka barang siapa melekatkan suatu sifat kepada-Nya, sama saja dengan seseorang yang menyertakan sesuatu dengan-Nya. Dan barangsiapa menyertakan sesuatu dengan-Nya, maka ia telah menduakan-Nya. Dan barangsiapa menduakan-Nya, maka ia telah memilah-milahkan (Zat)-Nya. Dan barangsiapa memilah-milahkan-Nya, maka ia sesungguhnya tidak mengenal-Nya. Dan barangsiapa tidak mengenal-Nya, akan melakukan penunjukan kepada (arah)-Nya.Dan barangsiapa melakukan penunjukan kepada-Nya, maka ia telah membuat batasan tentang-Nya.
Dan barangsiapa membuat batasan tentang-Nya, sesungguhnya ia telah menganggap-Nya berbilang. Dan barangsiapa berkata:”Di manakah Dia?”, maka sesungguhnya ia telah menganggap-Nya terkandung dalam sesuatu. Dan barangsiapa berkata: “Di atas apakah Dia?”, maka sesungguhnya ia telah mengosongkan sesuatu dari (kehadiran)-Nya.
Dia (Allah) maujud bukan karena suatu ciptaan. Bukan pula muncul dari ketiadaan. Dia “ada” bersama dengan segala sesuatu namun tidak dengan suatu kesertaan; Bukan pula Dia lain dari segala sesuatu disebabkan keterpisahan darinya. Dia adalah Pelaku, namun tanpa (menggunakan) gerak ataupun alat. Maha Melihat, meskipun sebelum adanya suatu makhluk apa pun. Sendiri, disebabkan tak adanya sesuatu yang dengannya Ia merasa terikat, ataupun gelisah bila ia terpisah dari-Nya.
Dimulai-Nya ciptaan-Nya tanpa pola sebelumnya, atau kebimbangan yang meliputi-Nya, atau pengalaman yang diperoleh-Nya, atau gerakan yang dibuat-Nya, atau keinginan jiwa yang mendorong-Nya.
Diwujudkan-Nya segalanya pada waktunya. Disenyawakan-Nya antara beraneka ragam bagiannya. Ditanamkan-Nya setiap watak dan tabiatnya, lalu dikaitkan-Nya dengan “bayangannya”.
Telah diketahui-Nya semuanya sebelum bermula.Dikenal-Nya batas-batas dan akhir kesudahannya.Diliputi-Nya segala liku-liku yang menyertainya.
Dicipta-Nya ruang angkasa raya. Dibelah-Nya segenap arah dan lapis-lapis udaranya. Lalu dialirkan kepadanya air yang saling berbenturan arusnya, bergulung-gulung dalam ketinggiannya. Diterbangkan-Nya ‘badai angin yang meniup kencang, menggoyang dan mengguncang, menjadikannya bagai alas yang menahan air itu dari kejatuhan, dan menambatnya erat-erat di atas permukaannya. Udara di bawahnya terbuka, dan air di atasnya memancar kuat-kuat.
Dicipta-Nya pula angin “pendorong” yang terus-menerus berembus kencang lagi amat jauh jangkauannya. Lalu ditugaskan-Nya sebagai “penggerak” air deras yang memancar dan “pengguncang” gelombang lautan yang luas. Kemudian mengaduk dan mcngacaukannya laksana dalam tempayan. Membadai dahsyat dalam kehampaan tiada terhingga, mencampuradukkan antara yang tenang dan bergelombang, sehingga menjulang tinggi “lidahnya”, dan terhempas jauh buih-buih-nya.
Lalu diangkat-Nya dalam hawa yang terbelah dan udara yang terbuka, dan dibuat-Nya tujuh lapis langit, yang terbawah bagai gelombang padat, dan yang teratas bagai atap yang tinggi, tanpa tiang penyangga atau pasak pengikat.
Dia pun menghiasinya dengan hiasan bintang-bintang bersinar cerah.Dan menjalankan kepadanya “pelita” terang-benderang serta bulan bercahaya, dalam peredaran melingkar, kubah berjalan dan lengkung bergerak.
Dan dibuat-Nya celah antara langit-langit yang tinggi, lalu dipenuhi-Nya dengan berbagai kelompok malaikat-Nya. Di antata mereka ada yang terus bersujud tak pernah rukuk. Ada pula yang terus rukuk tak pernah berdiri tegak. Ada lagi yang berbaris rapi tak pernah Berpisahan. Atau bertasbih selamanya tak pernah jemu. Tiada diliputi lelapnya mata, lupanya akal, lesunya tubuh atau hilangnya kesadaran.
Di antara mereka ada yang diserahi amanat wahyu-Nya, “penyambung lidah” kepada Rasul-rasul-Nya, dan berpulang-balik menyampaikan ketetapan dan perintah-Nya. Dan di antara mereka ada yang “kakinya” dengan teguh berpijak di bumi terendah, dan “lehernya” menjulur di langit teratas. Anggota tubuhnya melampaui segala penjuru. Pundaknya kukuh serasi dengan (“tiang-tiang”) penopang ‘arsy. Mereka memikulnya seraya menundukkan pandangan mata di bawahnya, berselubungkan sayap-sayapnya,terdinding antara mereka dan makhluk lainnya oleh tabir keperkasaan dan tirai kekuasaan-Nya. Tiada pernah mereka menggambarkan Tuhan mereka walau hanya dalam angan-angan. Tiada pernah menyifatkan-Nya dengan sifat-sifat makhluk apapun. Tidak mengaitkan-Nya dengan ruang atau menunjuk-Nya dengan pandangan.”
*) Sumber naskah: Buku Mutiara Nahjul Balaghah, terjemah Muhammad Al-Baghir, Penerbit Mizan, Bandung, 1993.
Advertisement