Menakar Utang Pemerintah secara Proporsional
Benar adanya bahwa utang pemerintah Indonesia relatif kecil, bahkan relatif sangat kecil, dibandingkan dengan utang pemerintah kebanyakan negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Juga masih jauh di bawah batas maksimum yang ditetapkan oleh Undang-Undang Keuangan Negara sebesar 60 persen.
Negara pengutang paling besar adalah Jepang. Nisbah utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Jepang mencapai 253 persen dan Amerika Serikat 105,4 persen. Yunani yang dililit utang sehingga terpaksa meminta bantuan IMF dan Bank Sentral Europa, nisbah utangnya 178,6 persen.
Tetangga dekat Singapura yang sangat makmur sekalipun, yang perekonomiannya penuh gemerlap dan PDB per kapitanya 15 kali lipat Indonesia, nisbah utangnya di atas 100 persen.
Nisbah utang pemerintah Indonesia hanya 28,7 persen, lebih rendah dibandingkan dengan kebanyakan negara ASEAN dan hanya lebih tinggi dari Brunei Darussalam.
Berutang bukanlah aib. Hampir semua negara berutang, tak peduli negara kaya atau negara miskin, negara besar atau negara kecil, negara komunis atau pun negara liberal. Utang pemerintah merupakan unsur tak terpisahkan dari kerangka kebijakan ekonomi pemerintah, khususnya kebijakan fiskal.
Sekalipun suatu negara mengalami surplus anggaran, seperti Jerman, tetap saja negara itu menerbitkan surat utang. Tujuannya antara lain untuk menebus utang lama yang suku bunganya lebih tinggi (reprofiling), sehingga beban utang berkurang.
Jadi, perihal utang ini, persoalannya bukan berutang atau tidak berutang atau menghapuskan utang, melainkan bagaimana mengelola utang sebagai bagian tak terpisahkan dari pengelolaan ekonomi untuk mencapai salah satu tujuan makroekonomi jangka panjang, yakni pertumbuhan yang berkelanjutan.
Utang bisa juga dipandang sebagai alat untuk menempuh kebijakan antisiklikal. Jika perekonomian sedang lesu, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal ekspansif lewat stimulus fiskal dengan meningkatkan belanja dan atau menurunkan tarif pajak atau bahkan menghapuskan jenis pajak tertentu seperti yang ditempuh pemerintahan baru Malaysia di bawah Perdana Menteri Mahathir Mohamad.
Kebijakan fiskal yang ekspansif–yang mengakibatkan defisit anggaran itu–dibiayai oleh utang. Sebaliknya, jika perekonomian sedang memanas (over heating), pemerintah meredam belanja dan atau menaikkan pajak, sehingga terjadi suplus anggaran. Apakah karena itu pemerintah tak berutang? Bisa saja Pemerintah tetap menerbitkan surat utang untuk tujuan reprofiling.
Oleh karena itu, tidak perlu berambisi melunasi seluruh utang atau bebas dari utang.
Perkembangan dan Perubahan Struktur Utang Pemerintah
Sekalipun nisbah utang relatif kecil, peningkatan utang pemerintah Indonesia dalam empat tahun terakhir terbilang relatif pesat. Pada tahun 2014 utang Pemerintah sebanyak Rp 2.609 triliun dan per Maret 2018 sudah mencapai Rp 4.136 triliun, yang berarti meningkat sebesar 58,5 persen. Pada kurun waktu yang sama, nisbah utang naik dari 24,7 persen menjadi 29,8 persen.
Walaupun meningkat cukup pesat, dalam jangka panjang nisbah utang pemerintah Indonesia menunjukkan kecenderungan menurun. Puncak tertinggi nisbah utang terjadi pada tahun 1997 ketika krisis ekonomi yang amat parah.
Peningkatan utang yang relatif pesat selama pemerintahan Jokowi-JK antara lain disebabkan oleh kenaikan tajam pengeluaran yang tidak diiringi oleh peningkatan nisbah pajak (tax ratio) sebagaimana dibahas pada tulisan sebelumnya.
Selama masa Orde Baru, seluruh utang pemerintah adalah utang luar negeri, berupa utang bilateral dan utang multilateral. Setelah krisis 1997, pemerintah mulai berutang dalam bentuk surat berharga negara atau obligasi.
Perubahan juga tercermin dari komposisi utang luar negeri. Pada tahun 2010, utang luar negeri pemerintah dalam bentuk surat berharga baru sekitar sepetiga dari keseluruhan utang luar negeri. Sewindu kemudian berbalik menjadi lebih dari dua pertiga.
Perubahan juga tercermin dari komposisi utang luar negeri. Pada tahun 2010, utang luar negeri pemerintah dalam bentuk surat berharga baru sekitar sepetiga dari keseluruhan utang luar negeri. Sewindu kemudian berbalik menjadi lebih dari dua pertiga.
Kembali, jika dibandingkan dengan Jepang, bunga utang Indonesia relatif lebih tinggi. Selain itu, mayoritas surat utang pemerintah Jepang dipegang oleh rakyatnya sendiri, sehingga pembayaran bunga yang mengalir ke luar negeri sangat sedikit. Sebaliknya, surat utang Indonesia yang dipegang oleh investor asing tergolong relatif besar, bahkan paling besar ata setidaknya salah satu yang paling besar di dunia. Tak pelak lagi, kondisi ini membuat Indonesia lebih rentan terhadap gejolak eksternal.
[Diperbarui pada 10 September 2018, terutama penambahan data.]
*) Faisal Basri adalah ekonom Universitas Indonesia