Menagih Kepedulian Walikota pada Pasar Tunjungan Surabaya
Kota Surabaya. Ibukota Provinsi Jawa Timur ini namanya semakin cemerlang. Banyak penghargaan yang diterimanya. Beragam jenis. Pelayanan publik terbaik. Unggul dalam tata kelola pemerintahan. Terbaru, Kota Surabaya terpilih menjadi Kota Terpopuler berdasarkan voting online dalam Guangzhou International Award 2018. Surabaya menyabet kategori Online Popular City setelah meraup sekitar 1,5 juta dukungan secara online dalam City of Your Choice.
Tentu patut diapresiasi berbagai penghargaan itu. Namun di tengah Kota Surabaya, di antara indahnya kembang pohon Tabebuya yang berwarna warni, juga kembang sejumlah pohon lainnya, ada yang tak serius ditata. Bahkan diabaikan: Pasar Tradisional.
Bisa jadi publik Kota Surabaya sendiri tidak tau seperti apa sebenarnya kondisi pasar dan masalah yang dihadapi para pedagang. Publik Indonesia, bahkan dunia, bisa jadi juga tidak tau. Badan atau lembaga yang memberikan begitu banyak penghargaan juga, bisa jadi, tidak mengendusnya. Barangkali terlalu terpesona oleh keindahan taman kota di sejumlah lokasi di dalam Kota Surabaya.
Dari seluruh pasar tradisional di Kota Surabaya terdapat lebih dari 14.000 stand. Belum termasuk pasar rakyat. Bisa dihitung, puluhan ribu jiwa yang menggantungkan nasibnya dari sana. Pemilik stand dengan keluarganya. Suplair. Juga mereka yang membuka usaha di sekitar pasar.
Salah satu di antaranya adalah Pasar Tunjungan di Jalan Embong Malang. Atapnya bocor. Pada musim hujan seperti saat ini, air tumpah dari lantai 3 hingga lantai 1. Kumuh. Tangga berjalannya mati. Listrik seadanya dengan kabel yang bergelantungan tak tertata. Malam hari tak ubahnya rumah hantu. Lahan parkir dipadati kendaraan orang yang bekerja di tempat lain. Jumlah pembeli bisa dihitung dengan jari. Jumlah pedagang yang membuka toko terus berkurang.
Kondisinya sangat kontras dengan pusat perbelanjaan terbesar di Kota Surabaya yang berada di seberangnya.
Kondisi yang mengenaskan itu sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Tak jelas apa yang mau dilakukan Pemerintah Kota Surabaya. Begitu juga PD Pasar Surya. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemkot Surabaya itu bertugas mengelola seluruh pasar di Kota Surabaya dan membina para pedagang. Tak jelas apa yang akan dilakukannya. Bahkan terus memungut retribusi atau Iuran Layanan Pasar (ILP).
Selain itu, berdasarkan surat direksi PD Pasar Surya ditetapkan bahwa mulai Januari 2018, para pedagang, juga seluruh pedagang di pasar lainnya di Kota Surabaya, dibebani PPn 10 persen. Dengan demikian, pedagang harus menanggung double PPn 10 persen, karena PPn 10 persen sudah termasuk dalam komponen ILP yang dipungut PD Pasar Surya sejak PD Pasar Surya ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), yakni badan usaha yang diwajibkan melakukan pemungutan pajak.
Pedagang Pasar Tunjungan pada 2016 pernah menggugat Walikota dan Direksi PD Pasar Surya ke PTUN Surabaya. Pada tahap mediasi dicapai kesepakatan. Gugatan pedagang dicabut. Pemkot Surabaya dan PD Pasar Surya bersedia melakukan revitalisasi. Tapi kesepakatan yang dituangkan dalam Penetapan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap itu bak angin lalu. Itu berarti Walikota dan Direksi PD Pasar Surya melakukan perbuatan yang melaawan hukum.
Lima kali Perkumpulan Pedagangan Pasar Tunjungan (P3T), organisasi yang menaungi pada pedagang Pasar Tunjungan, mengirim surat kepada Walikota. Mengeluhkan kondisi pasar yang buruk. Juga menagih janji revitalisasi. Tapi tak satu pun surat dijawab. Surat permohonan audiensi juga tidak direspon.
Tampaknya sangat sulit menagih kepedulian Walikota Surabaya terhadap nasib pedagang kecil. Menagihnya harus melalui jalur hukum. Maka P3T memutuskan menempuh langkah hukum, yakni menggugat secara perdata Walikota Surabaya dan Direktur PD Pasar Surya. Gugatan siap dilayangkan. Saat ini draft gugatan sedang disempurnakan. Intinya meminta agar revitalisasi Pasar Tunjungan segera dilakukan, sesuai penetapan PTUN. Selain itu, menolak pengenaan PPn 10 persen yang double, karena keputusan Direksi PD Pasar Surya merupakan tindakan tanpa dasar hukum yang sah dan cenderung sewenang-wenang.
Pasar lainnya memang sudah direvitalisasi. Tapi dikerjakan seadanya. Para pedagang harus menghadapi persaingan yang ketat dengan pusat perbelanjaan yang besar. Minimarket yang tumbuh bertebaran. Jarak antara minimarket yang satu dengan lainnya hanya puluhan meter. Harus bersaing pula dengan pesatnya belanja online.
Meski demikian, para pedagang pasar tradisional masih berupaya optimistis. Banyak konsumen yang fanatik berbelanja di pasar tradisional. Tentu saja harus didukung kondisi pasar yang nyaman. Tapi pada kenyataannya, justru terbalik faktanya. Sama halnya dengan pedagang Pasar Tunjungan, para pedagang di pasar lainnya juga harus tetap menanggung retribusi/ILP, serta double PPn 10 persen. Pedagang yang bermaksud membayar retribusi/ILP ditolak jika tidak disertai PPn 10 persen.
Dalam situasi seperti itu, kinerja PD Pasar Surya, badan usaha milik Pemkot Surabaya yang seharusnya bertanggung jawab menata pasar, membina para pedagang, justeru buruk. Kondisi keuangannya bermasalah. Selain dililit hutang pajak, juga korupsi. Pemkot Surabaya yang menaungi PD Pasar Surya juga tidak jelas sikapnya.
Itu sebabnya Kumpulan Pedagang Pasar Seluruh Surabaya (KPPSS), organisasi yang menaungi seluruh pedagang di pasar tradisonal di Kota Surabaya, memprotes lolosnya sejumlah nama direksi lama dalam rekrutmen direksi baru PD Pasar Surya. Kinerjanya sudah terbukti jauh dari harapan, mengecewakan, dan tidak berpihak pada para pedagang.
Ihwal keberatan itu, KPPSS telah menuangkannya dalam surat yang ditujukan kepada Walikota Surabaya, Badan Pengawas PD Pasar Surya, Ketua DPRD Kota Surabaya, Sekretaris Kota Surabaya, Asisten Perekonomian Pemkot Surabaya, Kepala Bagian Perekonomian dan Usaha Pemkot Surabaya, serta Tim Penguji Rekrutmen Direksi PD Pasar Surya.
*Jalil Hakim, perwakilan P3T