Menag: Ijtima Ulama, Tradisi Indonesia Merawat Keberagamaan
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menilai Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan kontribusi strategis bagi penguatan pembinaan keumatan yang menjadi tradisi bangsa Indonesia.
Pandangan ini disampaikan Menag saat memberikan sambutan secara virtual pada penutupan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke VII. Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke VII mengusung tema Optimalisasi Fatwa untuk Kemaslahatan Bangsa.
"Ijtima Ulama adalah agenda nasional yang sangat penting dan strategis. Saya yakin forum ini telah menghasilkan rumusan-rumusan fatwa keagamaan yang sangat bermanfaat dan memberi maslahah bagi umat, baik dalam lingkup individu, keluarga, masyarakat maupun bangsa," kata Menag, Kamis 11 November 2021.
Menurut Menag Ijtima’ ulama Komisi Fatwa MUI adalah tradisi keberislaman yang sangat positif bagi bangsa religius seperti Indonesia. Sebab, ijtima' bertujuan untuk merawat pengembangan keilmuan dan penyelesaian masalah keummatan berbasis pada turats dan kajian sosial kebangsaan.
"Seperti kita ketahui, bahwa masalah keummatan belakangan ini terus berkembang dan sangat kompleks. Sehingga memerlukan solusi-solusi keagamaan yang progresif dan berwawasan masa depan. Apalagi masalah-masalah tersebut masuk dalam area ijitihadiyyah yang menjadi domain para ulama sebagai ahlinya (faqiih fid-diin)," ujar Menag.
Solusi Problematika Umat
Turut hadir di webinar penutupan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke VII ini, Ketua MUI Pusat dan daerah, Ketua Majelis Fatwa MUI, para akademisi dan tokoh Islam, pimpinan pondok pesantren serta pimpinan Ormas Keagamaan.
Di sinilah ulama dan cendekiawan, lanjut Menag, dituntut hadir memberikan solusi agar keberagaman umat tidak mengalami stagnasi (kejumudan) yang dapat mengancam masa depan umat. Apalagi di era disrupsi, di mana masail al-diniyyah (masalah-masalah keagamaan) menghadapi tantangan yang sangat serius. Dalam posisi ini, ulama menjadi bagian penting bagi pembangunan nasional.
"Peran strategis ulama begitu nyata sejak era sebelum kemerdekaan hingga kini. Kehadiran ulama merupakan anugerah luar biasa bagi bangsa ini bersama umara dalam merawat, membangun, dan mengembangkan masyarakat dan menjaga NKRI tetap kokoh," ujarnya. .
Menag menambahkan, mewujudkan dan merawat harmoni tentunya menjadi tanggung jawab bersama, dan bukan hanya tugas pemerintah. Perlu peran ulama dan ormas keagamaan yang lebih besar dan konkrit dalam pembangunan. Peran-peran tersebut perlu dioptimalisasikan agar kehidupan umat beragama yang sangat majemuk ini dapat semakin produktif.
Ada satu isu penting yang perlu mendapat perhatian para ulama dalam rangka meningkatkan kualitas harmoni umat melalui pengelolaa rumah ibadah, khususnya masjid dan musalla yang tersebar di seluruh pelosok negeri.
Pemerintah berkomitmen untuk terus memberdayakan masjid dan musalla sebagai pusat pembinaan dan pengembangan masyarakat Islam.
"Karena itulah, kami berharap MUI beserta stakeholders dapat bersama-sama memaksimalkan pembinaan masjid dan mushalla agar menjadi simpul-simpul harmoni, kesejahteraan, dan pusat pembinaan moral-spiritual," tandas Menag.
Langkah kongkret yang dapat dikawal oleh MUI secara langsung, jelas Menag, adalah bagaimana ikut aktif dalam menyosialisasikan pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musalla. Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa penggunaan pengeras suara merupakan salah satu wasilah untuk memacu tumbuhnya gairah keagamaan.
"Tetapi ada satu hal yang tidak kalah penting agar penggunaannya betul-betul mempertimbangkan aspek kenyamanan bersama, karena kita hidup dalam masyarakat yang beragam," kata Menag.
"Dalam konteks ini, peran para ulama penting untuk memberikan insight (wawasan) yang luas kepada para pengelola masjid dan mushalla agar lebih bijaksana dalam penggunaan pengeras suara untuk menjaga kenyaman bersama, baik dalam lingkup intern atau antar umat beragama," tutup Menag .