Menabrak Khittoh, NU Jangan Tergoda Dukung Mendukung Capres-Cawapres
Tokoh intelektual Nahdlatul Ulama (NU) pengasuh Pondok Pesantren Seblak Cukir Jombang Jatim, Halim Mahfudz (Gus Im), menyatakan keprihatinan dengan sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang tergoda politik praktis jelang Pemilu dan Pilpres 2019.
Sebagai oraganisasi Islam terbesar di Indonesia, yang bergerak di bidang moral keagamaan, Gus Im mengatakan, seharusnya PBNU bersikap netral, dukungan terhadap capres-cawapres tertentu tidak diiskukan decara fulgar dan dipublikasian di media. Selain bisa merugikan NU secara kelembagaan, hal itu juga akan membingungkan umat.
Meskipun pada akhirnya pernyataan diluruskan bahwa dukung mendukung bukan sikap institusi PBNU, tapi menurut Gus Im sikap pribadi ulama dan kiai, yang kebetulan pengurus NU saat pelurusan itu sama saja, dan tidak ada artinya.
Sebab, hal ini terlanjur di publikasikan di media secara meluas, dan opini masyarakat sudah terbangun, PBNU mendukung Jokowi sebagai capres dan Muhaimin Iskandar, cawapresnya.
"Kalau begitu apa bedanya dengan ulama 212 dan ijtimak ulama yang mendukung capres Prabowo, serta merekomendasikan Ustad Abdul Somat dan Salim Segaf Aljufri sebagai cawapres," kata Gus Im, Selasa, 7 Agustus 2018.
Gus Im menilai bahwa peran politik moral NU jauh lebih penting dari pada peran politik praktis. Dengan memerankan itu, NU dapat menjadi rujukan banyak kalangan, tidak hanya kalangan politik namun juga kalangan lain untuk membangun negara yang demokratis.
Gus Im berpendapat, PBNU semestinya tetap berada di tataran high moral ground, bukan terlibat dalam politik pragmatis. Ia mengira hanya dengan cara itu, NU akan berbeda dengan golongan 212 yang sampai mengatasnamakan agama untuk mengklaim kepentingan politik.
Dia menyebut NU adalah satu-satunya lembaga yang bisa menyatukan warga yang terpisah oleh kepentingan pasca pemilihan presiden 2019 kelak. “Sekarang coba katakan siapa yang berada dalam political wisdom? Cuma NU," kata Gus Im.
Hal senada juga dikatakan tokoh muda NU, Zuhairi Misrawi, Ia mengingatkan bahwa momentum politik pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan sebuah ujian tersendiri bagi semangat khittoh PBNU. Dalam ujian ini PBNU dihadapkan pada godaan politik yang cukup besar.
“Saat inilah PBNU sedang diuji. Apakah akan tetap berpegang teguh untuk tetap pada tataran politik moral atau terjun pada olitik praktis,” ujar Zuhairi.
Momentum politik pemilihan presiden dan wakil presiden, oleh Zuhairi disebut sebagai ‘jebakan’ yang dapat menjerumuskan pengurus NU ke dalam perpolitikan praktis.
Ia juga mengingatkan bahwa warga dan pengurus PBNU semestinya berpegang teguh pada sembilan nilai politik warga NU yang pernah dicetuskan dalam Muktamar NU XVIII di Krapayak Yogyakarta tahun 1989.
“Saya justru melihat ini saatnya NU memberikan arahan, misalnya dengan menyodorkan poin apa saja yang perlu diperjuangkan oleh pemerintah ke depan,” kata Zuhairi.
Sementara itu, Sekjen PBNU A. Helmy Faishal Zaini mengatakan dukuangan ulama dan pengasuh pondok pesantren kepada Jokowi dan Muhaimin yang disampaikan melalui KH Said Aqil Siroj Ketum PBNU sifatnya pribadi.
"Dukungan itu dititipkan melalui Kiai Said, karena para ulama dan kiai itu melihat hubungan kiai Said dengan Presiden Jokowi cukup dekat," kata Hilmi. (asm)
Advertisement