Menabrak Aturan, Oh... Negeriku
Setiap orang berhak merenungkan kondisi negerinya. Mulai dari rakyat jelata hingga kalangan elite di masyarakat. Dari guru hingga kalangan intelektual.
Kali ini, Gus Nadirsyah Hosen, yang tinggal di Australia, tetap menyempatkan diri untuk menyampaikan renungan-renungannya bagi Indonesia.
Indonesia dalam kondisi yang menjadikannya terus berpikir. Di antaranya, dalam tulisan berjudul "Nak, maafkan bapakmu....".
Prof. Dr. H. Nadirsyah Hosen, LL.M., M.A. (Hons), Ph.D adalah profesor di Monash University Australia. Namun siapa sangka, pria yang akrab disapa Gus Nadir ini dulunya adalah seorang santri kampung di sebuah pondok pesantren di Cirebon.
Lelaki terlahir pada 8 Desember 1973 itu tumbuh besar di lingkungan Nahdliyyin. Maka tak heran jika kini ia didapuk mengemban amanah sebagai Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) di Australia dan New Zealand.
Sejak pertengahan 2015, Gus Nadir mengajar di Monash University Faculty of Law hingga meraih posisi sebagai Associate Professor, setelah sebelumnya ia mengajar di Fakultas Hukum, Universitas Wollongong selama 8 tahun (2007-2015).
Gus Nadir merupakan putra bungsu Prof. KH Ibrahim Hosen, seorang ulama besar ahli fikih pendiri dan rektor pertama Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) dan Institut Ilmu Al-Qur’an. Sementara sang kakek, KH Hosen, merupakan seorang ulama dan saudagar berdarah bugis serta pendiri Mu’awanatul Khair Arabische School di Tanjung Karang, Lampung, pada awal abad ke-20.
Gus Nadir belajar tafsir, fiqih, dan ushul fiqih dari sang ayah. Dari jalur sang ayah pula ia memiliki sanad keilmuan melalui Pesantren Buntet Cirebon. Ia juga pernah belajar ushul fiqih kepada KH Makki Rafi’i Cirebon.
Berikut di antara renungan Gus Nadir:
Nak, maafkan bapakmu....
Nak, kalau kamu ikuti berita di tanah air belakangan ini, kamu akan mengerti betapa bapakmu ini tengah gelisah.
Selama ini bapak ajarkan padamu untuk bangga pada pencapaian, usaha dan prestasimu sendiri. Bukan bergantung pada siapa bapakmu. Bukan bergantung pada jalur “short-cut”.
Memang tak ada yang bisa memilih lahir dari rahim siapa; tak bisa memilih siapa orang tuamu. Tapi sebagai orang tua, bapak ajarkan pada kalian selama ini bahwa kalau mau mencapai sesuatu itu ya harus ikhtiar maksimal dengan mengikuti aturan main. Bukan menabrak aturan, apalagi mengubah aturan demi pihak tertentu.
Nak, hari-hari ini kita tengah dipertontonkan dengan jelas bahwa prestasi itu nomor dua. Kematangan diri itu nomor tiga. Yang nomor satu itu adalah kamu anak siapa!
Nak, maafkan bapakmu yang cuma dosen biasa. Yang sejak kuliah di Ciputat hingga ke luar negeri melulu mengandalkan beasiswa. Harta peninggalan kakekmu cuma tumpukan kitab. Bapakmu ini juga bukan pejabat. Cuma dapat duit dari gaji, honor ceramah, dan honor tulisan. Gak pernah dapat proyek. Tapi makanan yang kamu makan, Nak, bapak jamin itu semua halalan thayyiban. Alhamdulillah.
Maafkan bapakmu, Nak. Bapak tidak pernah bisa menjanjikan jabatan atau posisi apapun. Bapak mau kalian berjuang sendiri. Bapak cuma bisa beri kalian bekal pendidikan dan keteladanan serta doa setiap malam. Selebihnya, kalian berjuang sendiri. Bapak percaya dengan kalian. Kalian mampu!
ليس الفتي من يقول كان ابي ولكن الفتي من يقول ها انا ذا.
”Pemuda sejati itu bukan yg bangga bilang: ini lho bapakku, tapi: inilah aku!”
Sudah Nak, gak usah ikut pusing membaca berita dari tanah air. Saking gelisahnya, bapak jadi terpaksa melanggar janji untuk tidak bicara politik. Bapak cuma mau kamu dan generasimu tetap semangat belajar dan meniti karir. Gak terpengaruh dengan anak muda karbitan yang lewat operasi politik keji mau dinaikkan ke panggung kekuasaan hanya dengan mengandalkan bapaknya yang tengah berkuasa. Ah sudahlah!
Ingat ya Nak, kekuasaan itu tidak abadi. Dan sesiapa yang terlalu cepat dinaikkan tanpa kelayakan, nanti saat jatuh akan terasa sakit.
Tabik,
Bapakmu: Nadirsyah Hosen
Advertisement